Monday, March 4, 2013

Gadis Berkalung Perak

“Pagi, mbak Ratna”
“Eehh…. Mas Baha. Selamat pagi juga. Gasik banget ya buka kiosnya”
.
Aku membalas dengan senyum kecil lalu melangkah menuju kiosku yang berada tepat di samping counter pulsanya. Mbak Ratna selalu sudah buka saat aku melintasi kiosnya. Entah jam berapa ia berangkat dari rumah.
.
Pernah aku buka jam 8 pagi, ia sudah buka. Kalau aku buka lebih pagi lagi kayaknya ngga sanggup, malas bangun dan mandinya. Dingin sekali seminggu ini kalau ingin mandi pagi.
.
Duapuluh menit cukuplah sudah untuk sekadar beberes dan rapi-rapi, awningdoor pun kubuka. Dan aku duduk di meja kerjaku, menyelesaikan beberapa pekerjaan pesanan kemarin-kemarin. Jam 8.30 biasanya akan melintas sebuah mobil Jazz putih dengan seorang gadis manis berkaos biru muda di dalamnya. Dan benar saja, ia pun melintas dengan anggunnya.
.
Nama panggilan gadis itu Dia. Aku tahu lewat pertemanan di sebuah akun sosmed dan Dia memajang foto profilnya saat berdiri di depan Jazz putihnya dan kaos biru muda favoritnya. Segala sesuatu tentang Dia aku tahu dan aku tahu itu benar adanya. Yang jahat justru aku, tak pernah menampilkan aku apa adanya. Dia percaya semua yang aku tulis dan aku ceritakan.
.
Tiga hari ini Dia jarang melintas, entahlah. Dia jarang update status dan terakhir katanya mau ada acara penting dalam hidupnya.
Aku pun disibukkan dengan pesanan kalung, gelang dan cincin dari beberapa klien. Kebanyakan langganan yang pesan. Sebagian ada klien baru.
.
Sebuah motor Thunder berhenti di muka kiosku. Sepertinya hendak memesan sesuatu.
.
“Permisi, mas. Saya mau pesan kalung perak. Bisa? Seorang teman merekomendasikan gallery perak ini kepada saya. Katanya buatannya halus”
“Oh, bisa. Silahkan duduk, Pak. Ini model-modelnya. Silahkan dipilih”
.
Pria itupun memilih sebuah model. Pilihannya jatuh pada model klasik dan minimalis.
.
“Inisialnya PW. Berapa harganya? Oh ya, saya pesan dua buah”
.
Kami pun berunding harga dan akhirnya pria itu sepakat dengan harga yang aku tawarkan.
.
“Kalung ini akan aku berikan untuk tunangan saya. Dan kalau berkenan, bolehlah datang ke pesta kami. Ini undangannya. Kapan bisa jadi kalung ini?”
“Terima kasih sudah mengundang saya. Saya akan datang nanti. Kalung akan selesai di hari ke lima”
.
Sebelum melangkah pergi, pria itu menyampaikan pesan.
.
“Nanti tunangan saya yang akan ambil kalungnya”
“Okey. Jangan lupa bawa nota pemesannya, Pak”
.
Dan hari pun bergulir dengan cepatnya. Kalung pesanan pria itu pun jadi sudah.
.
Sekitar jam 9.00 muncul Jazz Putih  dan gadis berkaos biru muda itu, kali ini berhenti di muka kiosku. Dia? Mau apa dia kemari. Belum sempat aku menyelesaikan tanda tanya di kepala ini, Dia sudah masuk ke kiosku.
.
“Maaf, mas. Saya mau ambil pesanan kalung perak. Inisialnya PW. Ini notanya”
“oh… eh…. Ah…. ya… ya…. Sebentar saya ambilkan pesanannya”
.
Aku begitu gugup ketika berada di hadapan Dia. Aku kenal Dia, sebaliknya ,sepertinya Dia tidak tahu aku siapa.
.
“Kalau tak salah mas diundang juga ya oleh tunangan saya? Datang ya, boleh kok sama pasangan mas….. mas Baha kan?. Saya akan pakai kalung ini saat pesta nanti”
.
Aku hanya mengangguk hingga Dia pergi dan masuk ke mobilnya lalu menghilang dari pandanganku.
Dan hari-hari berikutnya begitu kelabu. Sapaan mbak Ratna saat aku duduk di meja kerja tak terdengar jadinya.
.
“Oh, mbak Ratna. Maaf aku tak dengar…”
“Sibuk ya? Atau sedaaang…..”
“Apaan sih. Biasa aja kok. Banyak pesanan nih, jadi agak butek kepalaku”
.
Ratna melihat undangan yang tergeletak di meja.
.
“Siapa ini yang menikah? Teman kamu ya?”
“Iya”
“Ditinggal kawin ya? Kaciaan…”
.
Begitulah, kami memang sering bercanda. Dan hari yang kelabu perlahan-lahan sedikit sirna oleh candaan mbak Ratna, janda beranak satu.
.
Dan hari pernikahan Dia pun tiba. Aku datang sendiri saja. Sengaja agak telat datangnya biar tak terlalu ramai dan bisa langsung salaman dan pulang.
.
Kulihat Dia dan pria itu begitu bahagia. Aku melangkah dengan sangat berat mendekati pelaminan untuk memberi salam. Aku siapkan sebuah kado kecil berupa cincin dengan panggilan namaku di sosmed, Raja.
.
“hey, mas Baha kan? Si pengukir perak itu. Terima kasih sudah datang. Nih lihat, kalungnya kami pakai”
.
Ya, aku lihat kalung itu. Entah aku harus bagaimana, sedih atau gembira, marah atau bahagia. Dan aku pun turun menuju meja makanan, semua rasa di tubuh ini membuatku lapar tak terkira.
.
Aku menghampiri lapak Fettuccini kesukaanku, dan sepertinya masih ada yang bisa dimakan. Aku ambil piring besar dan kuminta Chef di situ untuk menyajikan untukku.
.
Tanpa sadar ada seorang gadis dua hasta di sisi kananku. Dia juga sedang memesan fettucinni. Aneh, tak banyak yang suka dengan makanan ini. Dia pun menoleh ke arahku. Aku hanya tersenyum, dia pun membalas senyumku. Kok wajahnya mirip sama Dia ya?
.
Dan….. hey…… dia memakai kalung, bukan kalung biasa, tapi kalung perak dengan inisial PW. Siapa dia?
.
“Hay….. suka fettuccini juga, ya?”
“Iya, nih….. dan kamu sepertinya penggemar berat. Porsinya besar banget”
.
Aku hanya tertawa.
.
“Yang menikah itu kakakmu, ya?”
“Oohh…. Benar, Dia kakakku. Kami kembar. Kamu siapanya Dia?”
“Aku diundang oleh pengantin pria saat pesan kalung tempo hari. Namaku Baha, Baharuddin Rajalopa”
“Saya Putu Widia…… Hmmm….. panggilan kamu….. Raja?”
.
Aku mengangguk, dan salju pun turun di ruang pesta perkawinan ini. Salju yang hanya bisa kami rasakan berdua.
.