Tuesday, April 10, 2012

Panggil Saja Megu, Jangan Ragu Apalagi Begu



.
.
.
.
"Aku berangkat, kakak!" seru Megumi sambil menutup pintu rumah.
"Hati-hati ya…!" seru kakaknya tak kalah kencang dari dalam rumah.
Megumi berjalan santai menuju sekolahnya. Hari ini adalah hari pertama masuk sekolah. Megumi adalah siswi pindahan dari Osaka. Sebenarnya dia orang Tokyo, hanya saja waktu umur 7 tahun, orang tuanya pindah tugas dan Megumi serta kakaknya terpaksa pindah rumah juga. Tapi 2 tahun yang lalu, tepatnya ketika Megumi baru lulus SMP, kedua orang tuanya meninggal karena kecelakaan ketika berangkat menuju perpisahan di sekolah Megumi.
Saat itu Megumi merasa sangat terpukul. Kehilangan ayah dan ibu sekaligus di hari dia lulus dari SMP dengan nilai terbaik, adalah hal terburuk sepanjang masa. Selama berhari-hari dia tak henti-hentinya menangisi kepergian orang tuanya. Tapi setelah kakaknya memberi kepercayaan padanya, dia merasa lebih baik.
Dia yang baru lulus SMP dan kakaknya yang mahasiswa baru, membuat mereka harus bekerja keras untuk menghidupi diri mereka sendiri. Kakaknya bekerja paruh waktu di café dekat rumahnya dan biasanya dibantu oleh Megumi. Gaji mereka cukup untuk makan selama sebulan, walaupun hidup mereka tak terlalu mewah juga.
Setelah 2 tahun di Osaka, mereka mendapatkan pesan dari bibi yang ada di Tokyo agar mereka pulang ke sana. Bibinya sudah menyediakan rumah untuk mereka berdua dan juga sebuah pekerjaan. Rumah itu dulu adalah rumah Megumi dan kakaknya. Bibinya bilang, waktu mereka akan pindah ke Osaka, ayah Megumi membiarkan bibinya tinggal di sana, tapi seiring berjalannya waktu dan bibi Megumi pun bisa membeli rumah sendiri dan mempunyai usaha yang cukup berjalan, dia ingin berbalas budi pada keluarga Megumi lewat Megumi dan kakaknya. Sekarang Megumi dan kakaknya membantu mengurus toko bunga yang dikelola bibinya. Hidup mereka sekarang jauh lebih beruntung dan tercukupi.
Megumi sampai di depan gerbang masuk sekolahnya. SMA Okazaki, itulah nama sekolahnya. Sambil tersenyum senang dia memasuki area sekolah. Kemarin kakaknya sudah mengurus kepindahan Megumi, jadi sekarang dia hanya perlu mencari kantor guru untuk menanyakan dimana kelasnya. Tapi sekolah ini cukup besar, dan membuat Megumi sedikit ragu untuk berkeliling. Bukan karena takut tersesat, sebab dia mempunyai kemampuan ingatan fotografis, kemungkinan tersesat sangatlah sedikit. Hanya saja dia takut waktunya terbuang banyak dan dia bisa terlambat masuk kelas.
"Gomen kudasai… A, anou… Bisa bantu aku?" tanya Megumi pada seorang gadis sebayanya yang sedang duduk di bawah pohon dekat lorong. Bertanya sebenarnya agak buruk, tapi setidaknya Megumi ingin mendapatkan teman di hari pertamanya masuk sekolah.
"Kau siapa? Murid baru?" gadis itu balik bertanya dan berdiri di depan Megumi sambil mengamatinya.
"I, iya… Aku baru pindah dari Osaka… Kemarin kakakku sudah mengurusi kepindahanku, aku harus ke kantor guru… Bisa tolong antar aku? Aku takut bel akan segera berbunyi…" pinta Megumi.
"Baiklah, ikut aku…" gadis itu berjalan di samping Megumi sambil menggandeng tangannya.
"Terima kasih…" Megumi tersenyum. Teman pertamanya adalah orang yang baik dan ramah, dia bersyukur akan itu.
"Sumimasen ga, onamaewa?" tanya Megumi setelah mereka berjalan di lorong-lorong kelas. Sepanjang dia berjalan, banyak anak yang menatap heran padanya. Mungkin hal itu dikarenakan mereka belum pernah melihatnya. Tapi Megumi tidak merasa terganggu dengan tatapan itu, karena dia yakin mereka tak berniat jahat.
"Atashi no namae wa Honjou Akame desu, murid kelas 2… Kau sendiri?" Akame balas bertanya.
"Watashi wa Minami Megumi desu… Akame-san, yoroshiku…" kata Megumi sambil tersenyum.
"Yoroshiku…"
"Hei, kita sudah sampai…" kata Akame sambil berhenti di depan pintu yang bertuliskan 'kantor guru'. Perjalanan menuju kantor guru ternyata tidaklah memakan cukup waktu. Megumi jadi sedikit malu, seharusnya dia tadi mencari dulu baru bertanya.
"Ii yo, Arigatou gozaimasu Akame-san… Sumimasen…" kata Megumi.
"Daijoubu desu…" Akame pergi meninggalkan Megumi.
Megumi membuka pintu itu dengan perlahan dan melihat ke dalam. Banyak orang di sana.
"Gomen kudasai… Saya siswi baru di sini…" kata Megumi.
"Oh, kamu… Ke sini…!" panggil seorang guru laki-laki dari sudut ruangan.
"Hai!" Megumi berjalan menuju meja guru tersebut.
"Kau Minami Megumi? Aku wali kelasmu yang baru… Kelasmu di 2B…" kata guru itu ramah.
"Benarkah? Arigatou gozaimasu, sensei…"
"Namaku Toura Oguri… Baiklah, bel sudah berbunyi, segera persiapkan dirimu, kita akan menuju kelas barumu…" kata Toura-sensei setelah mendengar bel sekolah berbunyi.
"Hai…"
.
"Perkenalkan ini siswi pindahan, namanya Minami Megumi..." kata Toura-sensei sambil mempersilahkan Megumi untuk memperkenalkan diri.
"Watashi wa Minami Megumi desu, panggil aku Megu… Yoroshiku…" sapa Megumi sambil membungkukkan badan.
Toura-sensei menyuruhnya duduk di bangku kosong baris ke 4 dari pintu kelas. Megumi berjalan tenang menuju bangkunya. Dan setelah duduk, ternyata di samping kanannya adalah tempat duduk Akame, yang sekelas dengannya.
"Akame-san…" panggil Megumi lirih.
"Oh hai Megu…" Akame tersenyum.
Dan pelajaran pun dimulai dengan tenang.
.
.
"Kau tinggal di mana, Megu?"
"Oh, aku tinggal bersama kakakku di rumah kami yang lama… Dekat perempatan setelah jalan besar di depan…"
"Berdua saja?"
"Iya, orang tuaku meninggal karena kecelakaan dua tahun yang lalu… Karena itu, kami kembali ke rumah kami yang lama…" jelas Megumi sambil mengunyah roti isinya.
"Gomen, membuatmu mengingat hal itu…" kata Akame lirih.
"Tidak apa-apa Akame-san…"
"Panggil aku Akame saja ya, aku juga memanggilmu Megu kan?" pinta Akame.
"Baiklah…"
Mereka lalu melanjutkan makan roti di bawah pohon di sudut taman sekolah. Setelah menyadari bahwa mereka sekelas, dengan sekejap mereka sudah menjadi teman akrab. Megumi sangat senang dengan sikap Akame yang ramah dan tidak keberatan jika Megumi bertanya seputar sekolah. Mungkin ini akan jadi hari yang menyenangkan.
Megumi masih mengunyah roti isinya, dia mengedarkan pandangan ke kelas-kelas dan beberapa siswa yang berkeliaran di sana. Sekolah ini bukan hanya luas dan megah, tapi juga bersih dan nyaman. Seragam yang dia gunakan pun terlihat sangat rapi. Sekolah yang nyaris sempurna.
Tengah asyiknya dia melihat pemandangan menyenangkan di sekolahnya, matanya berhenti pada satu titik. Dia menangkap seorang siswa laki-laki yang sedang duduk sambil membaca buku di bawah pohon yang tak jauh darinya. Orang itu kelihatannya sedang sendirian dan tak menunggu seseorang. Entah kenapa, Megumi merasa ada yang janggal dengan anak itu. Dia putuskan untuk bertanya pada Akame.
"Akame… Siapa nama orang itu? Dia sekelas dengan kita, kan?" tanya Megumi sambil menunjuk ke arah siswa tadi. Megumi masih ingat dengan jelas, bahwa siswa itu duduk di samping kiri belakang Megumi. Dengan ingatan fotografisnya dia ingat wajah semua teman sekelasnya walau dia hanya melihat sekilas ketika salam perkenalan.
"Kau ingat ya, padahal tadi kau langsung duduk…" Akame berkata dengan nada heran.
"Ini karena aku mempunyai kemampuan ingatan fotografis… Aku bisa mengingat apa pun yang baru aku temui dalam sekali lihat…" jelas Megumi canggung.
"Sugoi…" Akame terkejut.
"Lalu, siapa namanya?" ulang Megumi.
"Amakusa Ryuu…" jawab Akame singkat.
'Amakusa Ryuu?' ulang Megumi dalam hati.
"Seperti apa orangnya?"
"Seperti yang kau lihat, dia suka menyendiri dan jarang berbicara, dia juga pintar… Tapi dia orangnya dingin… Tak banyak anak yang mau berteman dengannya…" jelas Akame.
"Eh? Kenapa?"
"Entahlah… Kau tertarik dengannya?"
"Aku tidak tahu, aku hanya merasa aneh…" kata Megumi ragu. Dia memandang sekilas pada Ryuu.
"Hmp…" Akame bergumam sambil tersenyum penuh arti pada Megumi.
.
.
Butiran salju-salju kecil berjatuhan dari langit yang biru. Turun bebas dengan tenang dan mendarat di dedaunan pohon ginko, namun ada juga yang membentuk lautan es di jalanan, walaupun itu tidak tebal. Ini adalah awal musim dingin, menurut ramalan cuaca, salju baru akan turun besok dengan jumlah yang cukup banyak. Mungkin ini permulaan dari musim dingin yang indah itu.
Semua anak keluar menuju gerbang sekolah. Beberapa dari mereka banyak yang berjalan bergerombol. Ada beberapa yang sedang memperbincangkan tentang salju yang baru turun, tapi ada juga yang membicarakan hal lain.
Megumi berjalan berdampingan dengan Akame. Sejak tadi mereka asyik membicarakan tentang keseharian masing-masing. Megumi menjadi tahu bahwa Akame ternyata anak seorang pengusaha restoran yang cukup ternama di Tokyo. Akame juga anak yang pintar dan tahu banyak hal. Dia cantik, berkulit putih dengan rambut hitam yang di kuncir di belakang, dia memakai kaca mata dengan frame abu-abu, membuatnya terkesan seperti gadis dewasa dan pintar. Megumi sangat mengaguminya. Sebenarnya Akame memang anak yang cukup dewasa pemikirannya, jadi dari penampilan luar, sepertinya akan banyak laki-laki yang menyukainya.
"Hati-hati pulangnya ya… Aku yakin dengan ingatan fotografismu itu, kau tak akan lupa jalan pulang!" seru Akame sambil melambaikan tangan dan tertawa pada Megumi.
"Iya! Kau juga hati-hati…"
Megumi berjalan pelan menyusuri jalanan yang masih dihiasi oleh salju kecil yang meleleh di tangan. Jalan ini lumayan sepi, tapi Megumi tak begitu khawatir. Setelah berjalan beberapa lama, dia menoleh ke belakang. Berharap dia tak berjalan sendirian, karena itu akan terasa membosankan. Mungkin saja dia bisa bertemu siswa lain yang sebaya dan bisa diajak berteman.
Megumi menoleh, dia melihat sesosok orang sedang berjalan santai di belakangnya. Jarak antara dia dan orang itu sekitar 10 meter. Setelah Megumi mengamati sekilas orang itu, dia yakin bahwa orang itu adalah Amakusa Ryuu. Dia tak akan lupa, dengan wajah dan seragamnya. Seragam semua siswa memang sama, tapi dia bisa tahu bahwa itu Ryuu tanpa menjelaskan dengan detail. Dia hanya tahu, itulah masalahnya.
Handphone Megumi bergetar, dia berhenti berjalan dan memeriksa. Tepat ketika dia membuka handphone, Ryuu berjalan melewatinya. Megumi merasa ada aura yang aneh dari Ryuu. Jadi sekilas dia lihat Ryuu, lalu kembali berfokus pada handphonenya. Ternyata ada pesan dari Akame, tadi Megumi memang sudah memberi tahu nomor ponselnya pada Akame.
'Ada apa?' pikir Megumi sambil membuka pesan.
Megu, kau bilang bibimu punya toko bunga… Bisa kirimkan satu bunga untukku?
Dari Akame Honjou.
Megumi tersenyum senang membaca pesan itu. Lalu dengan sigap dia membalas.
Tentu saja!
Megumi menutup handphonenya dan kembali berjalan. Setelah beberapa langkah, dia tiba-tiba teringat dengan Ryuu. Sepertinya benar apa yang dibilang Akame bahwa dia dingin, sebab ketika tadi Ryuu melewatinya, Ryuu seperti tak menyadari kehadirannya. Ryuu hanya berjalan tanpa mengalihkan pandangannya.
'Di awal musim dingin, bertemu orang seperti dia…' pikir Megumi.
.
.                  
Bagaimana bunganya? Kau suka?
Megumi mengirim pesan pada Akame untuk memastikan apakah Akame menyukai pemberian darinya itu. Sekarang dia sedang membantu kakaknya di toko bunga. Kakaknya sudah pulang dari kampus dan membantu sejak satu jam yang lalu. Megumi sangat menyukai pekerjaan ini. Setiap hari dia bisa melihat berbagai bunga yang indah. Pekerjaan yang sangat menyenangkan.
Aku suka… Ini bunga Geranium kan? Kenapa mememberiku bunga ini?
Dari Akame.
Megumi tersenyum puas. Dengan cepat dia mengetik balasannya.
Bunga Geranium mempunyai arti persahabatan… Aku harap kita bisa menjadi teman baik, Akame…
Selang beberapa menit, pesan balasan dari Akame datang.
Aku kira jika persahabatan kau akan memberiku bunga mawar kuning, ternyata tidak… Kau sudah tahu banyak tentang floriography ya? Tentu saja kita akan bersahabat…
Megumi senang mengetahui reaksi dari Akame. Dia harus berterima kasih pada kakaknya yang memilihkan bunga itu.
Aku tahu itu dari kakakku…
Megumi menutup handphonenya dan duduk di kursi kasir sambil memegang bunga Gloxinia. Saat ini yang ada di toko hanya dia, bibi, dan kakaknya. Pegawai yang lain sedang mengantarkan pesanan. Kakak Megumi yang sedang menata beberapa bunga yang baru datang, membuka pembicaraan pada Megumi.
"Bagaimana hari pertamamu? Baik atau buruk?" tanya kakaknya tanpa memandang Megumi.
"Eh, baik kok… Aku menemukan teman yang baik di sana…"
"Oh ya? Syukurlah… Siapa?"
"Honjou Akame, anak pemilik restoran Ayagi… Dia pintar dan dewasa... Dia juga ramah dan sederhana… Gadis yang menyenangkan…"
"Hee… Begitu…" desah kakaknya.
"Apa hanya dia yang kau temui hari ini?" tanya bibinya yang muncul dari ruangan tempat menaruh pembungkus-pembungkus bunga. Dia keluar sambil membawa satu pembungkus, mungkin dia akan merangkai bunga untuk pesanan.
"Sebenarnya ada satu orang lagi…" kata Megumi sambil menggumam.
"Siapa?" sambung bibinya.
"Amakusa Ryuu…" sebut Megumi lirih.
"Seperti apa orangnya?"
"Dia dingin dan terkesan tak peduli… Tapi Akame bilang, dia anak yang pintar…" jelas Megumi dengan ragu.
"Kau bertemu di mana?"
"Di perjalanan menuju rumah… Dia berjalan di belakangku… Tapi ketika aku berhenti, dia melewatiku begitu saja… Sepertinya rumahnya ada di arah yang sama denganku…"
"Mungkin dia benar-benar orang yang dingin, Megu…" kata bibinya.
"Aku rasa tidak… Mungkin karena aku siswa baru, makanya dia tak mengenaliku…" balas Megumi. Dia tak ingin berperasangka buruk terhadap orang baru ditemuinya. Bahkan Megumi belum mengenal sepenuhnya, dan belum pernah bicara langsung. Dia rasa menilai orang tanpa mendalami karakter adalah hal yang salah.
"Itu sebabnya, kau memegang bunga Gloxinia?" tanya kakaknya sedari tadi diam mendengarkan percakapan Megumi dan bibinya.
"Eh? Memangnya kenapa dengan bunga ini? Apa ada arti spesial?" Megumi yang tadi asal mengambil bunga, tak mengetahui bahwa dia memegang bunga Gloxinia. Megumi belum banyak tahu tentang bahasa bunga atau biasa disebut dengan floriography. Tapi beda dengan kakaknya yang sudah mendalami bidang ini, entah untuk apa.
"Gloxinia mempunyai arti cinta pada pandangan pertama… Apa kau merasa begitu pada Ryuu, Megu?" goda kakaknya sambil tertawa.
"Tidak kok… Aku hanya asal mengambil… Bukan berarti itu menggambarkan perasaanku!" elak Megumi dengan wajah merah karena tersipu malu dan melempar bunga tadi ke meja di depannya. Megumi berpikir, mulai sekarang dia harus berhati-hati dalam mengambil bunga, karena arti dari bunga itu bisa membahayakannya dari ancaman godaan kakaknya.
"Sudahlah, aku hanya bercanda… Kalau dia benar-benar orang yang dingin, beri dia bunga Agnus castus yang artinya dingin…" jelas kakaknya.
"Apa iya aku harus memberinya kaktus?" Megumi ragu dengan pendapat kakaknya.
"Tidak juga… Kau bisa memberinya yang lain…" balas kakaknya.        
"Apa?"
"Cinta…"
"Eh?"
"Kalau kau memberikan cintamu padanya, dia mungkin akan meleleh dan berubah menjadi lilin yang menghangatkan tubuh!" goda kakaknya.
"Kakak…"
.
.
Megumi berjalan cepat menuju kelasnya. Kurang dari lima menit, pelajaran akan dimulai. Dia bisa celaka jika sampai terlambat. Dia tak mau, image'nya sebagai siswa baru rusak hanya karena dia terlambat. Ini semua gara-gara dia kesiangan bangun. Dan sialnya, kakaknya pun juga begitu, jadi antara mereka tak ada yang saling membangunkan.
Megumi kesiangan karena semalam dia tak bisa tidur, dia memikirkan tentang Ryuu. Entah kenapa bisa begitu, tapi yang jelas Megumi memang memikirkannya. Hal yang dikatakan kakaknya dan juga Akame turut mewarnai jalan pikiran Megumi tentang Ryuu. Tentang Ryuu yang dingin tapi pintar, juga tentang sikapnya yang misterius. Megumi merasa ada yang salah dengan Ryuu. Dan sudah dia pikirkan semalaman pun, dia belum tahu kesalahan apa itu.
Sempat berpikir untuk dekat dengan Ryuu. Karena ada dua sisi di pikiran dan hatinya, bahwa dia ingin berteman dan juga sedikit penasaran. Aneh memang, mendekati seseoarng hanya untuk mengetahui kesalahan dalam kehidupannya. Tapi bagaimana pun juga, ada sesuatu dalam diri Ryuu yang harus dia pecahkan.
Terlalu banyak berpikir, tanpa sadar Megumi menabrak seseorang di koridor menuju kelasnya. Keduanya sama-sama terjatuh kesakitan. Megumi memegangi bahunya, sedangkan orang yang ditabrak memegangi punggungnya. Megumi yang sadar segera berdiri dan berniat minta maaf. Di dalam hati dia mengumpat, kenapa bisa seceroboh ini. Dia sempat khawatir bahwa orang yang ditabraknya akan memarahinya habis-habisan dengan alasan umum 'jalan tidak pakai mata'. Bisa-bisa jika hal itu terjadi, dia akan mendapatkan musuh pertama di hari keduanya masuk sekolah.
"Ah, maaf… Aku tidak sengaja…" kata Megumi dengan nada cemas sambil menunduk. Hatinya terus berdoa semoga orang ini tak salah paham padanya. Tapi di satu sisi, dia juga agak bingung kenapa berlebihan memikirkan Ryuu sampai-sampai dia akan mendapat masalah.
"Iya… Tidak apa-apa…" kata orang itu dingin.
Dari suaranya Megumi tahu bahwa orang ini laki-laki. Dengan perasaan was-was, dia mendongakkan kepala. Maksud hati, ingin melihat korban dari kecerobohannya. Siapa tahu, Megumi bisa menebus kesalahannya suatu saat nanti. Saat kepalanya hampir sejajar dengan wajah si korban, sebab laki-laki ini ternyata lebih tinggi darinya, Megumi membeku seketika. Orang yang ditabraknya, tak lain adalah…
'Ryuu…'
Megumi tak berani menatap mata bahkan wajah orang yang di hadapannya sekarang. Orang yang ditabraknya karena sedang asyik memikirkan orang lain, ternyata adalah orang itu sendiri. Betapa terkejutnya Megumi sampai dia hanya bisa diam dan tak lagi memikirkan tentang telatnya dia masuk kelas. Matanya menatap lantai dengan pikiran yang tertuju dalam satu titik.
'Ryuu… Amakusa Ryuu di depanku sekarang…' hanya itu satu-satunya kalimat yang muncul dalam pikiran dan hatinya. Dengan susah payah, dia berkutat dengan kalimat itu. Tanpa tahu kalimat selanjutnya.
Ryuu menatap heran pada Megumi. Dia tahu bahwa Megumi adalah murid pindahan yang baru datang kemarin dan sekelas dengannya. Dia juga tahu, kalau Megumi adalah gadis yang pulang dengannya kemarin di bawah salju-salju kecil yang turun dari awan biru. Megumi yang tak berani menatapnya, membuat Ryuu enggan berlama-lama di sana. Sehingga dia putuskan pergi meninggalkan Megumi yang masih sendirian tertunduk sambil berpikir.
Ryuu berlalu begitu saja di depan Megumi. Megumi hanya bisa menatap hampa kepergian Ryuu. Dia tak tahu kenapa semuanya terasa aneh dan semakin aneh. Matanya seakan tak mau lepas sampai Ryuu hilang karena masuk kelas. Sampai saat itu, Megumi baru sadar bahwa dia tadi sedang bermasalah dengan bel masuk kelas yang hampir berbunyi. Megumi berlari menuju kelasnya dan sejenak melepaskan Ryuu dari pikirannya.
.
.
"Kenapa murung begitu? Ada yang salah?" tanya Akame.
Ketika masuk kelas tadi, raut wajah Megumi sedikit aneh. Megumi yang Akame kenal kemarin adalah anak yang ceria dan murah senyum. Awalnya Akame berpikir bahwa ada masalah dalam kehidupan Megumi. Tapi pada saat pelajaran dimulai, Megumi terlihat biasa saja dan seperti tak punya beban berat. Megumi tetap aktif dan tak berbeda. Hanya saja, ketika jam istirahat, Megumi kembali memunculkan raut wajahnya itu. Oleh karenanya, Akame mengajak Megumi ke taman sekolah untuk menanyakan keadaannya. Akame ingin membantu, apa bila Megumi sedang kesulitan.
"Tidak ada…" jawab Megumi singkat.
"Kau sakit? Atau lapar?"
"Tidak, Akame…"
"Lantas kau kenapa? Berbagilah denganku!" desak Akame. Sebenarnya Akame agak canggung juga, karena memaksa teman barunya untuk bercerita. Tapi Akame benar-benar ingin membantu. Dan jika Megumi tak mau bercerita, Akame mungkin akan menurut.
"Tadi aku bertemu dengan Ryuu…" kata Megumi sambil menatap wajah Akame. Dia memutuskan untuk berbicara, setelah diam beberapa saat.
"Eh?"
"Waktu aku hampir terlambat, kami bertabrakan di koridor kelas… Kemarin juga aku bertemu dengannya waktu pulang sekolah…" Megumi mulai menjelaskan.
Akame diam sambil menatap Megumi. Dalam hatinya, dia senang karena Megumi mau berbagi. Tapi di sisi hatinya yang lain, berbeda.
"Lalu?" hanya kalimat singkat, yang mampu keluar dari mulut Akame.
"Sebenarnya sih, itu bukan masalah besar… Tapi entah kenapa aku terus memikirkan tentang dia…" kata Megumi tersenyum canggung. Merasa dia begitu bodoh. Membesarkan masalah sekecil itu.
"Kau dapat apa dari analisismu?" tanya Akame.
"Aku tidak tahu… Aku masih bingung… Anou Menurutmu, dia orangnya seperti apa?"
"Kan kau sudah tanya itu, kemarin…"
"Oh, benar juga ya…" Megumi menunduk. "Tapi aku merasa ada yang salah…" gumamnya, pada dirinya sendiri.
"Tidak ada yang salah, Megu…" Akame tersenyum.
"Eh?" Megumi tak menyangka kalau Akame akan mendengarkan gumamannya tadi.
Karena kata-kata Akame itu, dia kembali berpikir. Memecahkan misteri terbesarnya saat ini. Tentang Ryuu. Semuanya tentang Amakusa Ryuu. Sempat terbesit untuk mendekati Ryuu, tapi dia menolak. Dia takut Ryuu akan membencinya jika dia bertindak kelewatan. Ditambah lagi, sudah dua kali bertemu, Ryuu tak pernah mengenalinya. Tapi di sudut hatinya, dia ingin berteman dengan Ryuu. Sangat ingin. Sampai-sampai dia merasa lebih ingin menjadi teman Ryuu dari pada mendapat teman seluruh sekolah. Tapi itu konyol.
Setelah berpikir, Megumi merasa kekonyolan tak selamanya akan merugikan. Mungkin tak apa-apa, kalau dia menuruti keinginan hatinya. Itu bukan hal yang buruk. Dan akhirnya Megumi putuskan untuk menjadi teman Ryuu.
.
.
Cuaca yang sangat cerah. Salju kembali turun. Namun kali ini dengan volume yang lebih banyak dari pada kemarin. Salju yang turun dari langit, menghiasi pinggiran jalan. Warna putih mulai bercampur dengan warna-warna kota. Membuat kontras di sana sini.
Angin kecil berhembus pelan meniup batang-batang pohon yang daunnya tertutup salju putih. Memberi kesan dingin yang menusuk tulang. Awan putih dilandasi langit biru, masih terus dengan senang hati memuntahkan isi perutnya menjadi butiran-butiran es kecil. Menjadikan suasana yang damai dalam awal musim dingin.
Megumi berjalan agak terburu-buru, sambil matanya terus melihat kanan kiri secara bergantian. Retinanya berusaha mencari sesosok orang yang ingin ditemuinya sekarang. Jika kemarin orang tersebut melewati jalan ini, seharusnya kemungkinan akan bertemu hari ini masih ada. Kecuali jika kemarin, orang itu berniat mampir ke suatu tempat dan bukannya pulang. Habislah sudah usaha Megumi bila kenyataan kedua yang harus dia terima.
Napasnya yang menggebu dan memunculkan asap putih dari dalam mulutnya, membuat Megumi berhenti sebentar dari acaranya berlari. Keringat dingin bercampur suhu yang nyaris minus, membuat tubuh Megumi menjadi sedikit aneh. Dia memutuskan untuk berjalan dengan tenang sebelum dia pingsan di tengah kota karena kehabisan napas di udara dingin.
Sambil merapatkan jas seragamnya, matanya masih mencari sosok itu. Depan belakang sudah dilihatnya. Tapi orang itu belum tampak juga. Megumi berdesah kecewa. Niatnya untuk menemui Ryuu dan memulai hubungan yang baik, nampaknya harus ditunda jika hari ini mereka tak bisa pulang bersama. Padahal seluruh hatinya sudah menerima rencana baik itu. Hanya saja, belum terlaksana.
Di bawah pohon ginko yang daunnya mulai habis, seorang laki-laki berdiri diam mengawasi dengan mata menerawang. Rambutnya diterbangkan dengan lembut oleh angin kecil yang berhembus. Matanya dengan sigap melihat seorang gadis yang sedang kedinginan dan sepertinya mencari seseorang. Entah kenapa, penglihatannya hanya terfokus pada objek itu. Objek yang sangat dikenalnya. Yaitu gadis yang bertabrakan dengannya tadi pagi dikoridor kelas. Megumi.
Dengan langkah bimbang, dia memutuskan untuk pergi dari tempat persembunyiannya. Karena sebenarnya dia sudah pulang duluan dan sengaja menunggu di balik pohon ginko untuk melihat gadis itu. Gadis yang entah kenapa selalu muncul dalam pikirannya sejak pertama kali dia melihat. Gadis yang member sensasi aneh dalam hatinya.
Perasaan cemas menyelimutinya. Berharap gadis itu tak melihatnya saat dia berjalan di depannya. Sambil memasukkan tangannya ke saku celana, dia berjalan lurus. Dalam hati dia sempat ingin agar salju muncul dengan lebat sekarang agar sosoknya tak dapat ditangkap oleh mata gadis itu. Tak peduli kedinginan karena dia hanya memakai seragam sekolah.
Megumi yang menyadari orang yang dicarinya muncul dari balik pohon dan berjalan lurus didepannya, segera berjalan cepat agar bisa mengejar. Apa pun itu, dia harus menemui orang itu sekarang. Hatinya sudah terlalu memaksanya. Dan dia tak bisa menghindar lagi. Megumi mempercepat langkahnya, tinggal 5 meter lagi dia bisa berjalan di samping orang itu. Tanpa ragu, dia berjalan di samping orang itu. berdesah sebentar dan mulai mengajak bicara.
'Ini dia, Ryuu…' pikirnya dalam hati.
Ryuu yang sedikit kecewa karena harapannya tak terkabulkan, memutuskan untuk menatap lurus ke arah depan tanpa mempedulikan keberadaan gadis di sampingnya.
"Amakusa-kun… Kau Amakusa Ryuu-kun kan?" sapa Megumi lirih.
Ryuu dengan ragu menoleh pada Megumi. Padahal niatnya adalah tak mempedulikan. Tapi tubuhnya secara paksa menolak. Tapi tekat Ryuu untuk tak mempedulikan juga besar. Jadi dia sedang bergelut dengan tubuh dan hatinya. Namun akhirnya dia hanya menoleh sekilas dan memberi tatapan dingin. Sedingin salju yang sedang turun.
"Aku Minami Megumi, siswa baru yang sekelas denganmu… Salam kenal…" Megumi berusaha memberikan kesan terbaik pada Ryuu. Bagaimanapun juga, tujuannya adalah ingin berteman. Teman yang baik.
Namun Ryuu tetap diam saja. Tanpa ekspresi yang jelas. Entah Ryuu tak mendengar atau tak mau mendengarkan Megumi. Megumi sebenarnya bingung juga, harus bagaimana sekarang. Dia menatap Ryuu dengan tatapan senang. Entah kenapa dia merasa senang, padahal dia sedang dicampakkan oleh Ryuu. Tapi dia senang karena bisa bertemu dengan Ryuu dan berbicara walaupun sepihak, dan berada sedekat ini.
Tanpa sadar Megumi sudah sampai ke rumahnya. Karena terlalu senang memandangi Ryuu yang berjalan dia sampingnya, dia tak tahu kalau rumahnya sudah di depan mata. Dia sendiri menjadi tahu bahwa jalan yang diambil Ryuu adalah jalan yang sama dengannya. Meskipun Megumi sampai lebih dulu. Dia berpikir, dia pasti akan bisa bertemu dengan Ryuu setiap hari. Dan pulang bersama. Dia merasakan kesenangan yang berlipat ganda.
"Baiklah, ini rumahku… Kita berpisah sampai di sini…" kata Megumi lembut sambil menunjukkan pagar rumahnya. Dia tetap memberikan kesan ramah di saat-saat akhir, dan memberi senyuman serta lambaian tangan Ryuu yang masih berdiri mematung. Lalu dia masuk ke dalam rumah.
Ryuu menghentikan langkahnya dan memandang Megumi yang sudah masuk ke dalam rumah. Dia mengamati rumah itu dengan seksama. Lalu melangkah pergi dengan tatapan yang dingin.
.
.
Tsuzukete
.
.