Wednesday, April 11, 2012

Final SUCI dalam DEBU Session 2 = Srimulat or OVJ



Ada pertanyaan menarik dari Isjet, saat kami duduk berdampingan menyaksikan final Stand Up Comedy Indonesia di Theater Tanah Air, TMII. Saat itu Isjet menanyakan perbedaan dari lawak, humor, lelucon, komedi serta perbedaan dari pelaku pecinta tawa tersebut dari pelawak, badut, komedian serta comic?
Memang harus diakui, pertanyaan dadakan tersebut sangat sulit untuk dijawab apalagi saat itu sedang tidak membawa kamus besar Bahasa Indonesia yang biasa kujadikan rujukan arti sebuah kata kalimat. Namun, secara intuisi bisa kujawab (dalam hati) jika dari semua pembentukan istilah baru itu merujuk pada peng-kasta-an pada pelaku dan panggung dunia tawa di Indonesia. Comedy dan Comic rencananya diposisikan sebagai kelas dan kasta tertingginya.
Untuk sementara waktu, aku cukup mengamininya. Para finalis SUCI sesi pertama cukup mengejutkan dan benar-benar memberikan warna baru. Ada Ryan yang bergaya gaul bak mahasiswa, Mo Sidik yang penuh aura tawa, Akbar yang kritis, Wisben si jago Sulap yang kocak dan filosofis  dan beberapa nama lain yang secara kualias bahkan mampu mengalahkan host acara tersebut sendiri yaitu Panji dan Raditya Dika.
Bahkan ide jenius sulap kocak Wisben mendadak terbajak entah sengaja atau tidak oleh stasiun TV lain (TransTV) dengan acara Magic Comedy-nya. Sedangkan Wisben hanya gigit jari tidak mampu menampilkan banyak atraksinya karena acara talkshow Kelakar di KompasTV bersama Akbar tidak banyak waktu atau kesempatan untuk unjuk kebolehannya.
Besar harapan untuk mendapatkan kejutan dan hiburan yang berbeda pada finalis SUCI 2 yang pada kali ini saya kembali mendapatkan kesempatan untuk menyaksikan langsung behind the scene di markas mimin-momod Kaskus, Menara Palma Kuningan. Sayang seribu sayang, apa yang didapatkan jauh dari yang diharapkan. Konsep ‘high class’ dengan penggunaan kata berbahasa Inggris seperti ‘Stand Up Comedy’ dan ‘Comic’ sama sekali tidak terlihat dari acara yang digelar hari Sabtu (08/04) itu.
Entah mungkin di sebabkan acara tersebut hanya dianggap sebagai acara ‘pemanasan’ para comic sebelum acara final sesungguhnya hingga membuat para comic tampil ala kadarnya (kalau tidak mau disebut asal-asalan) atau memang pihak tim kreatif acara tersebut sudah terpaku dengan konsep baku stand up comedy yang dibawa Raditya Dika saat mengikuti kursus pendek stand up-nya semasa kuliah di Australia hingga takut untuk mendobrak pakem standar ala Radit?
Padahal, beberapa tema comic sangat menjanjikan seperti Ari Wibowo sang pengacara yang mencoba mengulas kekocakan dari sudut pandang hukum beserta pasal-pasalnya. Walau sebenarnya hal ini pernah diangkat Doyok dalam acara Ketoprak Humor, namun jika yang mengangkat hal tersebut adalah ahlinya tentu akan tampil lebih sempurna. Atau Imot, comic asal Yogya yang mencoba mengambil tema BadBoys Jogya dimana memang di Yogya sempat muncul adanya gank Qsruh dan Joxin yang sangat terkenal dan bubar setelah diomelin Sri Sultan HBX.
Sayang, tema dan materi yang menarik tersebut rusak, salah satunya oleh pemakaian kostum yang disetting oleh tim kreatif yang malah menurunkan ‘kasta’ Stand Up Comedy itu sendiri. Pakaian dipaksakan di kocak-kocakan dan lucu, tak berbeda jauh dengan kontes pelawak di stasiun telivisi lainnya beberapa tahun yang lalu. Nah, kalau sudah begitu apa bedanya comic dan pelawak?
Belum lagi gaya dan ritme puchline-nya ketebak sekali, kemungkinan tim kreatif atau comicnya bermain aman agar kelak tidak terlalu dikritik juri saat tampil di finalnya. Kalau boleh jujur, para comic ini dipaksa menghilangkan jati dirinya. Bisa dibilang, semua tema tampak seperti dejavu. Sepertinya kayak banyolan lama saja.
Padahal menurut saya pribadi, sesuatu yang lucu akan menjadi tidak lucu saat diulang kedua kali. Kecuali hal lucu itu mampu di repacking dan atmosfir panggung mampu diolahnya menjadi tetap lucu, tak berbeda dengan mas Tukul Arwana yang sukses dengan EAAA-EAAAA-nya.
Jangan heran, selama acara beberapa Kompasianer dan Kaskuser yang hadir tampak mencoba menahan ngantuk dan menguapnya. Bahkan kompasianer sebelah sayapun dengan jujur mengatakan, kalau saja posisinya duduknya tidak tepat berhadapan dengan para comic, tentu dia sudah tertidur pulas di samping istrinya yang kebetulan juga hadir menemaninya.
Walau aku tidak mengantuk, namun kekecewaan hadirnya sesuatu yang baru pupus hingga acara itu berakhir. Bayangan adanya tukang gambar ala Pak Tino Sidin versi comic atau dancer kocak tinggal bayang-bayang saja. Rasanya, jika acara tersebut adalah berupa tulisan dalam blog kompasiana, tentu langsung aku rating ‘MENGECEWAKAN’.
Yah, semoga saja semua kekecewaan ini agar terbayar pada hari Rabu, 11 April 2012 besok di Gedung Usmar Ismail, Kuningan. Semoga (lagi), tim kreatif dan para comic sudah menemukan form dan setting yang unik dan mampu menghibur  seluruh rakyat Indonesia yang sedang letih dengan segala tetek bengek dan tetak benerannya kerumitan ekonomi dan politik yang tidak henti-henti. Hingga beberapa hari kemudian, aku jadi tidak sungkan untuk memberi rating ‘AKTUAL’ kepada mereka.