Saturday, February 4, 2012

Nasi Goreng Terakhir Buat Levi

Seorang gadis berkaos merah berpayung hitam berjalan gontay ke arah lapak nasi goreng di tepi jalan Rasuna Said, tepat di emper dekat pagar pintu masuk Kedubes Malaysia. Dia lihat hanya ada dua orang pemuda pemilik lapak, tak ada pembeli. Yang seorang berdiri mematung tak bergeming di depan gerobak sedang asyik memainkan ponselnya, yang lainnya yang berbadan agak kurus dan berkulit kelam sedang duduk di meja panjang sembari menempelkan kepalanya pada dua lengannya yang dilekatkan di meja makan panjang, kelihatan sudah lelah dan mengantuk sekali.
Di pos pintu masuk Kedubes tampak pak Agus sedang duduk sambil merokok ditemani setengah gelas kopi yang sudah dingin. Tak ada TV, tak ada radio, hanya setengah gelas kopi yang sudah dingin. Pak Agus tinggal di sepetak kontrakan kecil di Gg. Klingkit bersama Nina putri kecil kesayangannya dan bu Sri istrinya yang gemuk berbalut lemak, tapi sangat dicintainya.
“Hallo abang yang hitam manis, dah lama nih Levi ngga singgah ke lapak abang”
“Eeeh, neng Levi. Makin imut aja yeach..... tapi..... kok agak pucat mukanya, mau ngapain malam-malam gerimis setipis rambut begini ya. Biasanya mengirim utusan khusus ke sini sambil bawa catatan pesanan satu halaman penuh”
“Mau pesan lah bang. Masa’ mau nyuci piring. Dan utusan khususnya ‘si Iyem’ kecengan abang lagi pulkam tuh, kambingnya melahirkan lagi katanya, hihihihi”
“Okey, lanjuuut..... Pesan apa nih, neng. Pokoknya dikasih harga spesial deh, discount 25% dari abang. Nasi goreng, mie goreng, mie rebus atau kwetiaw goreng?”
“Aku pesan nasi gorengnya ya, bang”
“Berapa porsi, neng. Tiga?”
“Kebanyakan atuh. Satu aja”
“Biasa, pedas, sedang, atau super pedas, neng?”
“Sedang aja”
“Tumben. Biasanya kan pesan yang super pedas, kayak minggu lalu. Pakai telor, neng?”
“Pakai, bang Rengga”
Pak Agus berdiri sebentar di posnya dan memandang ke arah lapak nasi goreng. Dahinya berkerut melihat kelakuan bang Rengga, lalu duduk lagi sambil geleng-geleng kepala.
“Telor ayam, telor bebek atau telor puyuh, neng?”
“Telor ayam aja kayaknya. Kalo bisa telornya yang fresh graduated ya”
“Telornya berapa, neng?”
“Satu aja, bang”
“Telornya diapain, diobrak-abrik....... eeeeh diorak-arik, diceplok atau didadar, neng?”
“Dielus-elus aja deh, bang. Duuh abang, didadar aja deh. Ingat!!! D-I-D-A-D-A-R..... DIDADAR
“Dipisah apa dicampur telornya, neng?”
“Hhhhh, dicampurrrrr. Masih berapa pertanyaan lagi bang Rengga yang ndesit?”
“Satu pertanyaan lagi, last question deh. Makan di sini atau dibungkus, neng?”
“Grrrrr, DIBUNGKUS!!!”
Kembali pak Agus berdiri, melongok bang Rengga yang sepertinya serius sekali berbicara dengan seseorang.... dengan siapa sih ngobrolnya?
“Wadouw....., nasinya ternyata not available alias habis neng. Pesan lainnya aja gimana?”
“Abang nech kayak KPK yeach. Banyak nanya, banyak pernyataan, banyak gaya, banyak kasih pilihan, tapi hasilnya NOL BESAR. Ngga jadi pesan deh, buang-buang waktu yang hanya tersisa sedikit neeech”
“Ngga jadi juga ngga apa-apa kok, kalau neng Levi berubah pikiran bisa pesan via sms loh, delivery order. Ini kartu nama abang, neng. Ada fotonya loh, fullcolor. Kok diam aja sambil tengok kiri-kanan, buru-buru kah?? Ada yang menunggu kah?? Ada yang mau dikatakan..... curhat curcol barangkali?”
“Hmmm, okey lah kalo begitu..... Kalo kwetiaw ada bang?”
“Nah, kalo kwetiaw tuh banyak pakai banget persediaannya, neng”
“Okey deh..... kalo gitu aku do’a-in cepet laku dan cepet habis aja kwetiawnya, bang”
Bang Gareng menoleh ke meja makan panjang saat ponselnya berbunyi nyaring, maklum masih monoponik.
“Do’a yang sangat menyejukkan dari gadis manis kayak neng Levi nih. Good Night. Have a nice day and sleep well tonight. Neng..... Neng..... Neng..... Kemana neng Levi tadi ya? Kok mendadak menghilang”
Rengga bertanya kepada rekannya yang dari tadi hanya duduk manyun di meja makan panjang.
“Eh, Tarjo, loe lihat ngga si Levi itu kemana perginya?”
“Bang Rengga ini emang aneh, dari tadi saya perhatikan ngomong sendiri aja. Eh malah nanya si Levi segala. Dia itu kan udah tujuh malam kemarin meninggal karena kecelakaan disruduk motor, bang Rengga. Neng Levi disruduk motor pas lagi jalan kaki berpayung hitam di trotoar saat gerimis setipis rambut di tengah malam yang sunyi. Jam-jam segini kayaknya pas dia menghembuskan napasnya yang terakhir. Pengendara motornya kabur entah kemana”
Rengga dan Tarjo melihat ke pos Kedubes Malaysia, sepertinya pak Agus sedang bicara dengan seseorang sambil ketawa-ketawa segala, tapi bicara dengan siapa ya? Pak Agus sedang tidak memegang ponsel, tak ada TV atau radio dan sendirian saja di sana. Aneh.
Tiba-tiba lampu di pos Kedubes mati, tak lama neon-neon di lapak nasi goreng juga mati, gelap dan hanya gelap saja, satu-satunya sumber cahaya hanya dari lampu trotoar jalan yang redup saja.
Tak lama neon-neon itu menyala kembali. Dan sesaat kemudian lampu di pos pun menyala. Alangkah terkejutnya Rengga dan Tarjo melihat pemandangan di pos Kedubes Malaysia apalagi melihat apa yang ada di pos itu........ Pak Agus...... Pak Agus..... hhhhh.
Dua jam kemudian kawasan itu ramai oleh kerumunan orang dan para pemburu berita. Mereka menyampaikan kabar yang mereka terima dan disiarkan sesuai versi masing-masing. Cerita sesungguhnya hanya Rengga dan Tarjo yang tahu.
Di seberang jalan, dari balik pohon-pohon yang rindang, bu Sri mengawasi dengan tajam tempat itu. Di tangannya ada plastik hitam besar berisi sesuatu yang berat sepertinya. Tak lama bu Sri pergi ke arah mobil yang tampaknya sudah lama menunggu.
Mobil pun melesat pergi ke arah Ambassador. Sepuluh menit kemudian....... Duarrrrr...... Mobil tersebut meledak dan terbakar hebat.
Orang-orang yang masih berkerumun di depan Kedubes Malaysia kontan kaget dan panik. Sebagian mencoba memburu sumber suara ledakan.