Saturday, June 25, 2011

NAPAK TILAS MENYUSURI JEJAK KOTA TUA BATAVIA TEMPO DULU bagian 2

NAPAK TILAS MENYUSURI JEJAK KOTA TUA BATAVIA TEMPO DULU bagian 2
Batavia, 22 Juni 2011

Kita akan menelusuri jejak-jejak masa lampau kota Jakarta tiga abad silam dengan berkeliling kawasan ‘Kota Tua Batavia’.

Silahkan buka mata, pasang telinga, bidik lensa kamera dan keluarkan imajinasi serta pemahaman sejarah Anda sebebas-bebasnya lalu terjunlah ke dalam masa lampau Kota Tua Batavia pada program acara “NAPAK TILAS MENYUSURI BATAVIA TEMPO DULU”.

Paket acara diawali dengan tur di dalam Gedung Museum Sejarah Jakarta / MSJ dan dilanjutkan ke gedung-gedung di sekitar kawasan  MSJ (mulai dari Museum Keramik, Gedung Pos Jakarta, Café Batavia, Museum Wayang  dan gedung-gedung tua lainnya).

Perjalanan penelusuran jejak-jejak masa lampau kota Jakarta dilanjutkan mulai dari Stadhuis Plein (kini alun-alun atau Taman Fatahillah) menyeberang menyusuri Jl. Cengkeh hingga pertigaan Jl. Nelayan Timur (lokasi ditemukannya Prasasti Padrao) diteruskan ke sepanjang trotoar Gudang Sisi Timur Batavia, Menara Syahbandar, Museum Bahari, Gudang Sisi Barat, Gedung Galangan VOC (kini Café), Rumah Veteran Tentara USA, Jembatan Gantung Kota Intan, Museum Bank Indonesia, Museum Bank Mandiri dan terakhir kita menuju Stasiun Jakarta Kota (Beos).

Perjalanan ditempuh sepanjang ± 5 km dan memakan waktu sekitar 6 jam.

MUSEUM SEJARAH JAKARTA

Gedung yang terletak di Jl. Taman Fatahillah No. I ini merupakan bangunan utama di kawasan Kota Tua Batavia dan menjadi salah satu ikon kota Jakarta.  Awalnya digunakan oleh Pemerintah Hindia Belanda sebagai gedung Balaikota (Stadhuis).

Stadhuis dibangun pada 25 Juni 1707 oleh Gubernur Jenderal Jean van Hoorn yang diselesaikan dalam waktu ± 3 tahun dan dinyatakan siap pakai pada 10 Juli 1710 oleh Gubernur Jenderal Abraham van Riebeeck.

Gedung ini dibangun dua lantai (tinggi 18 m) dimana lantai dasar digunakan sebagai Kantor Balaikota (Stadhuis) dan lantai dua dipakai oleh Dewan Hindia Belanda sebagai Kantor Dewan Pengadilan.

Pada 1942-1945 pernah digunakan oleh Tentara Dai Nippon sebagai Markas Pengendalian dan Peralatan Logistik.  Antara 1958-1972 dimanfaatkan oleh TNI (Tentara Nasional Indonesia) sebagai kantor KMK (Keamanan Militer Kota) hingga akhirnya  dipakai oleh Kodim 0503 Jakarta Barat.

Pada 30 Maret 1974 oleh Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin diresmikan menjadi Museum Sejarah Jakarta (MSJ).

STADHUIS PLEIN

Jika kita keluar pintu utama gedung MSJ ke arah utara maka akan kita jumpai pelataran luas dengan bangunan kecil di tengah-tengahnya, inilah yang kita kenal dengan sebutan areal Stadhuis Plein atau Taman Fatahillah.

Lokasi ini merupakan tempat berkumpulnya warga Batavia kala itu untuk menyaksikan kegiatan yang dilakukan oleh tentara Hindia Belanda yang antara lain dilaksanakannya eksekusi hukuman pancung atau hukuman gantung  bagi para tahanan di Penjara VOC.  Konon pernah pula dilakukan hukuman bagi seorang tahanan dengan cara mengikat kaki, tangan dan kepalanya pada lima ekor kuda lalu ditarik ke lima penjuru angin sehingga badan tahanan terbelah/pecah menjadi lima bagian (sesudahnya tak jauh dari sana ada kampung yang namanya kampung pecah kulit).

Pada dasarnya Stadhuis Plein merupakan taman air mancur yang airnya berasal dari Kali Ciliwung yang dialirkan ke gorong-gorong/pipa lalu ditampung dan dialirkan ke dalam pancuran.  Kadangkala airnya dimanfaatkan untuk air minum, masak dan mandi oleh masyarakat Batavia (baik orang kampung, orang Belanda ataupun  oleh orang Inggris).

KOLEKSI MUSEUM SEJARAH JAKARTA

Lukisan Jan Pieterszoon Coen

Koleksi MSJ yang bertengger gagah di dinding gedung museum adalah sebuah lukisan Jan Pieterszoon Coen (1587-1629), kelahiran Hoorn-Belanda, Gubernur Hindia Belanda IV.  Dia-lah yang memindahkan pusat pemerintahan Hindia Belanda dari Banten, Ternate lalu ke Batavia, dan Jan Pieterszoon Coen pula Gubernur Jenderal Hindia Belanda yang berperan besar dalam memajukan maskapai perdagangan VOC.

Meriam Si Jagur

Dibawa oleh orang Belanda dari Malaka setelah Selat Malaka direbut dari tangan Portugis pada tahun 1641.  Meriam ini berkaliber 24 pon dan ditempatkan di salah satu kubu di Kastil Batavia.  Pada bagian atas meriam tertera tulisan EX ME IPSA RENATA SVM (saya terlahir dari diri saya sendiri) dan angka Latin X + I + V = XVI artinya 16 buah meriam berukuran lebih kecil dilebur untuk membuat ‘Si Jagur’ ini.
Meriam si Jagur


Meriam dibuat pada 1639 oleh Magellanus Tenenerive Bocarro di Macao (China) untuk kelengkapan pertahanan benteng Portugis di Malaka.

Meriam si Jagur terbuat dari besi baja padat berukuran panjang 1,83 m dan berat 3,7 ton.  Kini ditempatkan di halaman belakang MSJ.

PRASASTI PADRAO

Setelah Portugis menaklukkan Malaka (1511), sejumlah kapal dagang yang dipimpin oleh Enrique Thomas Lemme mengunjungi Pelabuhan Sunda Kelapa dengan membawa aneka hadiah untuk Raja Sunda Kelapa (Samiaji Suryawisesa). Kedatangan armada Portugis ini bertujuan untuk melakukan kesepakatan dagang dengan Kerajaan Sunda Kelapa.

Pada 21 Agustus 1522 perjanjian kerjasama perdagangan antara kedua belah pihak disepakati dalam bentuk ‘Prasasti Padrao’.  Menurut ahli sejarah Batavia, Adolf Heukeun, inilah bentuk perjanjian kerjasama tingkat internasional pertama yang pernah terjadi di Indonesia.

Dalam perjanjian tersebut Portugis mendapat ijin mendirikan gudang di bantaran Kali Ciliwung, sementara bagi Raja Sunda Kelapa memandang kehadiran Portugis akan memperkokoh posisi kerajaan dalam perdagangan terutama lada dan cengkeh, pun secara politik dapat memanfaatkan kekuatan tentara Portugis dalam menghadapi ancaman dan serangan dari Kerajaan Demak.

Prasasti Padrao awalnya ditemukan kembali pada 1918 di sudut Jl. Cengkeh dan Jl. Nelayan Timur.  Pada bagian atas Prasasti Padrao terdapat anagram astronomi/astraglobe, suatu lambang yang diciptakan oleh Raja Manuel dari Portugis.

Saat ini Prasasti Padrao disimpan di Museum Nasional, sementara bagi pengunjung MSJ dapat melihat duplikatnya di lantai dasar lengkap dengan kapal dagang dan pakaian khas orang Portugis.

Pedang Keadilan

Koleksi lainnya yang artistik dan magis adalah pedang eksekusi yang terkenal dengan sebutan Pedang Keadilan.

Pedang yang terbuat dari logam perunggu berukuran panjang 117 cm dan beratnya ± 4,3 kg ini pertama kali digunakan oleh Gubernur Jenderal Jan Pieterszoon Coen untuk memenggal kepala perwira muda juniornya yaitu Pieters de Cortenhoop pada 1629.  Eksekusi dilakukan di halaman depan gedung Stadhuis.