Sunday, April 7, 2013

Mau Jadi Preman? Kuliah Saja Tinggi-Tinggi..... Ambil Gelar SH dan MH

Akar premanisme jelas kompleks, sekompleks cara mengatasinya. Karena itu semua orang dianggap tahu bahwa tidak mudah mengatasi premanisme—kalau mudah pasti dunia preman sudah lenyap di bumi Indonesia ini.
Kenyataannya ‘kan tidak. Nah, salah satu cara untuk mengatasi premanisme dari dalam diri sendiri adalah: sekolahlah tinggi-tinggi. Jadilah sarjana.
Barangkali ini motivasi juga bagi yang “antisarjana” tapi bukan preman. Atau, yang jelas-jelas preman tapi tak mau sekolah dengan berbagai alasan, antara lain faktor ekonomi.
Soal ekonomi sebenarnya bukan faktor utama andai saja ada kemauan sekolah. Toh bisa kerja apa saja di selah waktu sekolah: berdagang, jadi kuli, kerja paruh waktu, dsb. Sebagian tak sekolah bukan karena faktor ekonomi. Ini jika melihat kehidupan preman yang cenderung boros untuk hal-hal yang sia-sia, seperti rokok, minum-minuman keras, dan narkoba.
Saya sendiri andai tetap di kampung, berhenti sekolah sampai SMP, seperti banyak teman-teman lain, mungkin sudah jadi preman, setidaknya preman kampung. Kalau mau jujur saya punya bakat cerdik, nekat, dan condong pada kekerasan.
Dengan sekuat tenaga saya melawan cara-cara mengatasi masalah dengan kekerasan. Tidak mudah tentu saja. Sebab sekali kita melakukan kekerasan, apalagi jika menang, akan cenderung jadi candu—percaya diri akan naik dan lama-lama kehilangan urat takut.
Tak sulit dibayangkan andai saya bukan sarjana. Logikanya, kalau bukan pendidikan tinggi dan status sosial di tengah masyarakat, lah, apa lagi yang bisa ampuh menghadapi dorongan untuk melakukan kekerasan fisik terhadap dunia yang penuh masalah ini? Dalam keadaan ini, mengatasi masalah dengan logika akan terasa sulit, karena logika itu benar yang kurang akibat tak bersekolah. Agama? Tidak juga.
Bukankah agama, apalagi jika dipahami dengan cara yang salah, bisa melahirkan sikap premanisme berkalung sorban, pakai jubah, berhias janggut, dan celana cingkrang. Berapa banyak kekerasan atas nama agama (agama apa saja) di Indonesia dan dunia ini. Inilah bentuk lain dari premanisme.
Karena itu, jadilah sarjana. Saran ini ditujukan juga buat para preman berkalung sorban. Biar logika naik seiring dengan pemahaman agama. Beragama tanpa logika cenderung akan terjerumus pada sikap taklid, yang ujung-ujungnya berpotensi melahirkan premanisme, terutama ketika ketemu masalah: kemaksiatan, aliran sesat, dsb.
Status sarjana akan memperbesar faktor penghambat orang jadi preman. Kalaupun jadi preman cenderung tidak main fisik, melainkan cenderung dengan, istilah kerennya, softpower. Bentuk “premanisme” para sarjana akan berwujud lain, misalnya korupsi. Penyimpangan begini tetap layak dijuluki “preman berdasi”.
Ngapain bangga jadi preman (begundal). Karena preman salah satu profesi terendah dalam strata sosial masyarakat. Istilah kasarnya: sampah masyarakat.
Ada penjelasan yang cukup njelimet sebagai basis teoritis dari artikel ini, sekalipun kata “preman” kurang familiar dalam kepustakaan ilmu sosial, namun tak perlu diutarakan di sini biar tidak bikin kepala pusing. Percaya sajalah sama penulis artikel ini.^_^
(SP)