Saturday, March 9, 2013

Undang-Undang Kelamin Ketiga

Oleh: Raizo
.
 | 08 March 2013 | 20:06 WIB
.
Menurut prof jimly asshidiq, dasar keberadaan konstitusi adalah kesepakatan umum atau persetujuan (consensus) di antara mayoritas rakyat mengenai bangunan yang diidealkan berkenaan dengan negara.
Hal itu memiliki konsekuensi bahwa konstitusi selalu dibuat dan berlaku untuk suatu negara teretentu. Konstitusi dibuat beradasarkan pengalaman dan akar sejarah suatu bangsa, kondisi yg sedang dialamai, serta cita cita yang hendak dicapai.
Oleh karena itu, karakteristik dan identitas suatu bangsa sangat menentukan dasar2 kebangsaan dan kenegaraan di dalam konstiutsi. Hal itu dapat dilihat dari salah satu konsensus dasar termaktub dalam konstiusi. yaitu, kesepakatan tentang tujuan atau cita2 bersama (the general goals of society or general acceptance of the same philosopy of goverment)
Sekarang mari kita lihat, produk atau konsensus apa yg sudah tercipta dalam konstitusi negara republik indonesia. Ialah, pada pembukaan UUD 1945, tertulis jelas, Atas berkat rahmat Allah yg maha kuasa.. dst. Hal ini merupakan konsensus yg tidak bisa diganggu gugat yg berakar jelas pada budaya, karakteristik serta sejarah berdirinya bangsa indonesia.
Disamping itu, pada salah satu pancasila, yg merupakan ideologi bangsa indonesia, tertulis jelas, Ketuhanan yang maha esa. Artinya negara berdasarkan ketuhanan, atau dengan kata lain tidak lepas dari nilai2 ketuhanan. Meski, nilai ketuhanan yg dimaksud tidak sespesifik pada pembukaan UUD 1945, namun secara umum nilai2 ketuhanan yg tsb ssunguhnya memiliki tujuan atau goals yg sama, yakni, menjadikan hukum2 agama samawi sebagai landasan pembentukan suatu undang2 atau aturan hukum.
Sebab sampai detik ini, secara statistik, mayoritas penduduk di indonesia adalah megnanut agama tertentu. kondisi ini tak jauh berbeda dengan ketika para founding father bangsa ini merumuskan konsittusi dasar bangsa indonesia yg tertuang ke dalam UUD 1945 serta pancasila.
Jika kemudian, ada sekelompok masyarakat indonesia, yg ngotot mengusung ideologi lebiral sekuler untuk diterapkan di indoesia, secara tidak langsung, kelomppok maysarakat ini telah menentang konstitusi dan nilai2 budaya luhur bangsa indonesia itu sendiri.
Sebut saja, terkait RUU homoseks, yang hanya mempidanakan homoseks yang pelakunya atau salah satu pelakunya belum 18 tahun. Pihak yg pro thd RUU ini beranggapan, bahwa homoseks itu merupakan gelaja alamiah biologis seseorang yg masuk ke ranah privat. maka dalam hal ini negara tidak berhak memidanakan seseorang pelaku homoseks.
Jika kita lihat, pihak y pro THP RUU ini sesungguhnya telah melanggar konsitusi UUD serta pancasila. Sebab, mayoritas agama samawi di indonesia, melarang perbuatan homoseks ini, sama halnya dengan zina.
Sekali lagi kita perlu melihat keterkaitan RRU ini dengan kondisu sosial budaya masyarakat indonesia. Benarkah masyarakat indonesia sudah kian apatis terhadap nialai2 agama yg telah dianut oleh sebagian besar masyarakat indonesia sejak nenek moayang dahulu. Atau RRU tsb skeedar suatu sikap latah alias ikut2an thp nilai2 budaya suatu negara tertentu degan mengenyampingkan nilai budaya bangasa sendiri?
Sebab, ada hal krusial jika UU suatu negara dibuat atau dibentuk tdak berdaarkan pada karakteristik dan identitas suatu bangsa. Sebut saja misalnya irak, yg sejak 2005 lalu dijadikan negara boneka oleh AS setelah berhasil mengivasi negara tsb. Konstitusi irak diubah secara semena2 oleh AS, yg parahnya justru tidak sesuai dengan karakter budaya bangsa irak sendiri. Alhasil, menurut data yg dikumpulkan Failed State index, irak adalah negara yg paling tidak stabil situasi politiknya ketujuh di dunia.