Friday, May 4, 2012

Kisah Megu dan Dunia Paralelnya #01



“Kakek kok belum datang juga, mi”, Ryan merajuk ke maminya karena yang ditunggu-tunggu belum juga muncul.
Dwi menoleh ke anaknya yang tiba-tiba sudah berdiri di sampingnya. Diusap-usapnya kepala anak kesayangannya.
“Mungkin kena macet. Tahu sendiri kan kalau hari Senin. Sabar sedikit saja ya, Ryan. Kamu tunggu saja di ruang tengah sambil nonton film kartun kesayangan kamu”, Dwi merayu anaknya yang sudah tak sabar menanti kedatangan sang kakek.
Ryan pun kembali berjalan gontai ke ruang tengah sementara Dwi memperhatikan anaknya dengan penuh kasih sayang. Dilongoknya tulisan di laptop yang masih tak bergerak ke halaman selanjutnya. Terkuras sudah semua apa yang ada di kepala, tapi kok mentok sampai di halaman ini.
Dibuka-bukanya buku diary peninggalan Mayla, mamanya. Di buku itu lengkap tercatat semua peristiwa-peristiwa yang terjadi di keluarga Dwi, mamanya, kakeknya hingga ke kakek uyutnya. Tak ada ide dari buku diary itu. Kosong.
Pandangan dialihkan ke tumpukan surat-surat kusam yang bertumpuk di sudut meja. Hmm, ada satu surat yang menarik perhatiannya. Kiriman dari ayah suaminya entah untuk siapa.
Dibacanya dengan seksama surat itu. Surat yang cukup panjang ternyata, ditulis hingga lima lembar kertas. Pada lembar kedua dijumpai tulisan yang menarik.
@
Hari masih pagi tapi kulit siapapun pasti akan terasa terbakar dalam sengatan surya yang menyala garang, sungguh pagi yang tak seperti biasanya.
Seorang pemuda duduk di sudut halte menunggu bus yang belum juga lewat, sementara ia merasa aneh saat melihat di sudut lainnya ada dua orang gadis bercadar hitam duduk bersisian saja. Sedikit peluangnya menyaksikan pemandangan ini di hari lain, pun di tempat lain di sudut-sudut ibukota. Gadis itu menengok ke pemuda hanya untuk sopan santun lalu kembali asyik berbicara berdua, lagi.
Tak lama datang kakek tua yang badannya tampak bersih, hanya saja baju yang dikenakannya sepertinya sudah termakan usia, sama seperti pemiliknya. Duduklah si kakek di samping pemuda, mengambil jarak dua jengkal agar terlihat santun.
Si kakek tersenyum ramah yang disambut hangat oleh sang pemuda.
“Megu”, begitu jawab sang pemuda ketika si kakek bertanya.
“Sambil menunggu bus yang belum juga lewat, maukah Megu mendengar sedikit kisah dari kakek?”, si kakek melanjutkan obrolannya yang dijawab dengan anggukan dari Megu.
Salah seorang gadis menengok ke arah Megu agak lama, lalu kembali ngobrol berdua dengan serius. Gadis yang satunya tampak menggenggam tablet model terbaru.
Melihat Megu kadang menengok ke sudut halte, si kakek tampaknya menjadi heran sambil mengernyitkan dahi lalu geleng-geleng kepala. Pemuda yang aneh, pikirnya.
“Sepertinya ada yang menarik di sudut halte ya?”, si kakek bertanya sambil menyelidik gerangan apa yang menjadi perhatian Megu sejak tadi.
“Oh, eh, ah......., tak ada kek”, Megu tersipu-sipu malu lalu melanjutkan, “Silahkan kek, apa yang ingin kakek ceritakan. Megu ingin dengar”
Kakek pun mulai bercerita.
@
Cerita yang dituturkan kakek ini konon menjadi kisah yang banyak diceritakan di mana-mana di sudut-sudut kota di Arab Saudi. Pada waktu itu, ketika Gus Dur masih menjadi mahasiswa di Madinah, Gus Dur sering datang ke sebuah warung makan dan membeli kepala ikan yang mestinya sudah dibuang. Gus Dur ditanya tentang maksud pembelian kepala-kepala ikan tersebut.
"Saya memiliki sepuluh ekor anjing yang harus diberi makan" 
"Di Madinah, memelihara seekor anjing saja sudah repot sangat. Lalu bagaimana bisa memelihara sepuluh ekor anjing? Karena itulah seorang pemilik warung bersimpati kepada Gus Dur yang ingin membeli kepala ikan. Dengan senang hati dia memberikan kepala-kepala ikan itu secara gratis kepada Gus Dur", terang si kakek sambil menyeka dahinya yang penuh berpeluh keringat sebesar jagung. 
Maka Gus Dur pun kemudian selalu membawa kepala-kepala ikan kepada teman-temannya untuk dimasak ketika sedang tiba giliran memasak. Gus Dur selalu merahasiakan kepada teman-teman ketika ditanya, dari mana dia mendapatkan kepala-kepala ikan tersebut. 
Rahasia Gus Dur dan kepala ikannya ini baru terbongkar setelah Gus Dur meninggalkan Madinah. Pada waktu itu, ada seorang pemilik warung bertanya kepada teman-teman Gus Dur yang kebetulan sedang makan di warung tersebut. 
"Ke mana teman kalian yang katanya memiliki sepuluh ekor anjing? Biasanya dia selalu meminta kepala-kepala ikan buat anjing-anjingnya. Kok sudah lama tidak kelihatan?", tanya si pemilik warung. 
"Ooo... oo..... oo......, jadi begitu rupanya yaaa....... Hmmmm..... Anjing-anjing dan tuannya sudah balik ke Indonesia, Pak", jawab teman-teman Gus Dur sambil menahan dongkol dan tersenyum kecut, sekecut-kecutnya. Senyum yang paling kecut sejak kali pertama mereka menjejakkan kakinya di kota ini.
@
Tepat setelah si kakek selesai bercerita, bus yang ditunggu Megu pun datang. Segera Megu naik sementara si kakek duduk saja di halte.
“Cerita yang menarik. Tapi sepertinya yang aku tahu kisah ini terjadi di Baghdad bukan di Arab Saudi”, Megu bergumam dalam hati ketika sudah ada di dalam bus.
Dua gadis bercadar hitam yang duduk di sudut halte, dari ekor matanya mengikuti kepergian Megu naik ke bus, hingga bus itu menghilang ditelan aspal jalan yang mengepulkan debu-debu putih keabu-abuan.
“Pemuda yang aneh, berbicara sendiri saja sejak tadi”, begitu ucap salah seorang gadis bercadar hitam. Lalu dicatatnya tentang pemuda itu di tablet yang sejak tadi digenggamnya. Lumayan dapat sebuah cerita unik di kota yang sedang menggeliat mencari sosok sang gubernur ideal. Entah cerita apa lagi yang nanti diperolehnya, pikirnya.
Sementara itu si kakek berdiri dan berjalan bolak-balik sepanjang halte, memeriksa dengan seksama. Tak habis pikir si kakek, apakah yang menjadi perhatian Megu. Tak ada siapapun selain ia dan Megu di halte itu.
@
“Itulah kisah yang aku dengar dari seorang kakek, tadi pagi saat menunggu bus di halte”, Megu menjelaskan kisah Sepuluh Anjing Arab Saudi itu kepada Fatma ibunya.
“Adakah orang lain selain kakek itu di halte?”, sang ibu bertanya menyelidik sambil terus mencatat, entah apa yang dicatat di buku tulis yang tebal itu. Covernya saja cukup antik, terbuat dari bahan kulit sintetis berwarna coklat gelap.
“Ada dua gadis bercadar hitam. Mereka mengenakan burka, khas wanita-wanita Arab”, Megu menjelaskan.
“Sepertinya tak banyak gadis-gadis berpakaian seperti itu di sini khan?”, pertanyaan yang makin menyudutkan Megu dengan kisahnya pagi tadi. Tiap selesai bertanya Fatma lalu menulis lagi di buku tebal itu.
“Iya juga sih”, jawab Megu agak lama.
“Ya sudah, kau makan saja sana. Masih ada nasi goreng buatan adikmu di meja makan”, si ibu mencairkan kepala Megu yang mungkin sudah mulai mengeras.
“Aku ingin kuliah di Canberra saja, bu. Ambil Magister Management”, jawabnya saat si ibu bertanya kemana pilihan Megu selepas wisuda sarjananya besok.
Fatma menutup buku tebal itu lalu dimasukkan ke dalam kotak kayu berukuran sedang. Tak boleh sekejap pun Megu menyentuh kotak kayu. Fatma melarang keras.
Rupanya Megu tak mau melanjutkan kuliahnya di Al-Azhar Mesir. Ia tak ingin mengikuti jejak ayahnya, ia ingin mengikuti kata hatinya. Kuliah di Australia. Tak ingin juga ia studi ke Swedia, walau ada rekan karibnya di sana.
Dwi menutup laptopnya. Sedikit demi sedikit cerita tentang ayah suaminya lengkap sudah. Masih beberapa hal yang masih menjadi potongan-potongan terserak dan harus disatukan.
@
Tok. Tok. Tok.
Pintu pun dibuka. Seorang bocah lucu menyembul dari balik daun pintu yang terbuat dari ukiran kayu jati.
“Mami kamu ada, Ryan?”, Megu bertanya lembut.
“Mamiiiii......... Kakek Megu datang”, teriak Ryan kegirangan sambil berlari ke dalam.
Tak lama Dwi pun muncul menyambut kakek Megu lalu mereka duduk di ruang tengah.
“Ibram telat pulang. Ada sisa pekerjaan yang belum kelar katanya”, begitu Dwi menjelaskan ke kakek Megu yang menanyakan kabar Ibram yang belum juga pulang.
Kakek Megu hanya menghela napas pendek-pendek saja.
“Hey, Ryan. Sini duduk dekat kakek”, dipangkunya Ryan yang hari ini tampak makin sehat saja. Diperhatikannya mata Ryan, warnanya coklat muda.
Kakek Megu masih tak mengerti dari mana Ryan mendapat gen mata coklat muda itu.
“Mau dengar cerita kakek tentang Sepuluh Anjing Sydney?”, tanya kakek Megu yang dijawab anggukan penuh semangat oleh Ryan.
Dwi hanya menghela napas pendek-pendek melihat kelakuan ayahnya yang biasa dipanggil Kakek Megu oleh Ryan anaknya, lalu Dwi melangkah ke dapur menyiapkan makan malam.
“Kisah yang selalu diceritakan kepada siapa saja yang ada di dekatnya, hanya berbeda setting”, Dwi kini menghela napas panjang sambil membuat kopi kesukaan kakek Megu.
Sambil membawa kopi yang masih mengepul, ditengoknya laptop mungil yang kini sudah terbuka di meja bulat dekat jendela, juga tumpukan surat-surat kusam itu. Tinggal beberapa halaman lagi novel itu akan selesai sudah. Masih banyak bolong di sana sini. Judul sementara yang disiapkan oleh Dwi adalah Kisah Megu dan Dunia Paralelnya. Entah judul apa yang akan disematkan kalau novel itu sudah jadi nantinya.