Tuesday, April 17, 2012

Surat Wasiat Kakek Megu Untuk Paman Tercinta(?)



.
.
.
.
.
Sebuah keluarga besar sedang dilanda musibah, karena kakek Megu yang sangat dihormati sedang sakit berat. Dokter mengatakan bahwa sakit kakek Megu adalah kanker paru-paru yang hidupnya hanya tergantung bantuan alat napas oksigen.
Karena sepertinya sudah mendekati ajal Paman Tercinta sebagai sesepuh keluarga segera mengumpulkan semua keluarga besar untuk mengadakan doa bersama.
.
.
.
.
.

Saat memimpin doa, tiba-tiba kakek Megu mukanya pucat membiru dan napasnya tersengal-sengal seperti kehabisan napas. Dengan bahasa isyarat Kakek Megu meniru orang menulis.
Paman Tercinta langsung tanggap segera mengambil secarik kertas dan alat tulis. Dgn nafas tersengal-sengal, kakek Megu menulis surat. Setelah itu kakek Megu memberikan surat kepada Paman Tercinta.
.
.
.
.
.

Paman Tercinta menyimpan surat di saku, “rasanya koq gak tepat kalau membaca surat wasiat saat ini” pikir Paman Tercinta. Setelah menyimpan surat, pak Mudhin meneruskan doanya. Tidak lama setelah itu Kakek Megu tidak tertolong dipanggil Yang Maha Kuasa.
Banyak orang merasa kehilangan karena kakek Megu adalah orang yang sabar, bicara lemah lembut dan pelan. Pas acara 7 harinya jenat kakek Megu, Paman Tercinta diundang lagi. Setelah mimpin doa, kemudian teringat bahwa ada surat titipan kakek Megu ketika mendekati ajalnya.
.
.
.
.
.

“Waduh untung aku masih ingat ada titipan surat kakek Megu”, pikir Paman Tercinta.
“Saudara-saudaraku sekalian, mohon maaf saya baru teringat bahwa selama ini saya mengantongi surat titipan Kakek Megu ketika beberapa detik sebelum meninggal. Karena ini amanat saat belum pernah membaca dan membukanya”.
.
.
.
.
.

Melihat kakeknya yang sangat bijaksana dan sangat kaya semasa hidupnya, semua keluarga pasti menyangka isinya pasti warisan atau nasihat ke anak cucunya, sehingga Paman Tercinta segera membacakannya dengan tak sabar. Kemudian Paman Tercinta mengambil surat di saku dan membaca di depan semua anggota keluarga.
.
.
.
.
.

Ternyata bunyinya:
“Paman Tercinta, mohon maaf, bisakah Paman Tercinta pindahkan kakinya karena menginjak selang oksigenku. Napasku tercekik, Paman Tercinta. Tolong Paman Tercinta”.
 .
.
.
.
.