Friday, April 6, 2012

SosMed : Media Paling MANI PULA TIF



Manipulasi sama dengan kelicikan, muslihat, tipu daya, dan akal bulus.
Bisa diartikan sebagai penggelapan atau penyelewengan atau upaya seseorang atau kelompok untuk memengaruhi perilaku, sikap dan pendapat orang/kelompok lain tanpa orang itu menyadarinya.
Dalam bisnis, ada istilah manipulasi permintaan atau manipulasi penawaran. Contoh manipulasi permintaan adalah antrian di sebuah toko padahal yang mengantri bukan pembeli alami, melainkan karyawan toko sendiri. Para pedagang kaki lima juga sering meminta temannya bolak-balik membeli barangnya hanya untuk menunjukkan ke orang lain bahwa dagangannya laris-manis!
Dalam politik, kecenderungan manipulatif seakan menjadi jati diri kedua. Mulai dari memanipulasi jumlah dukungan sampai manipulasi pasal 7 ayat 6 UU APBN-P 2012 seperti yang saya (dan juga Anda) tonton di sidang paripurna kenaikan harga BBM, akhir minggu lalu. Dan para politikus yang melakukan korupsi, jelas-jelas menggunakan beribu taktik manipulasi, pertama agar korupsinya berjalan sukses, dan kedua agar tidak dijebloskan ke penjara. Tanpa manipulasi, tentu sulit mencuri uang negara yang jumlahnya bermilyar-milyar tak terhingga!
Sampai di sini, saya ingin mengatakan bahwa manipulasi ada di mana-mana, menjadi bagian dari kecerdasan manusia dalam mengolah kata, fakta dan data.
Manipulator Online
Sebelum teknologi web 2.0 lahir dan sebelum era media sosial tiba, manipulasi di dunia internet tidak bisa dilakukan secara terbuka apalagi berjamaah. Karena waktu itu orang yang sedang online hanya bisa membaca, tanpa bisa menulis apa-apa. Manipulasi hanya dilakukan oleh pemilik website dan pengelolanya yang memiliki kekuasaan untuk menginput dan mengedit konten lewat papan panel pengelola konten tersembunyi.
Di era blog, media warga dan jejaring sosial saat ini, setiap pengguna internet punya kesempatan yang sama untuk melakukan manipulasi karena, cukup dengan satu-dua klik, konten bisa dikirim, diedit dan dihapus oleh setiap pengguna.
Maka bermunculan lah konten sampah yang seakan membom ruang pribadi kita. Juga banyak konten bohong atau hoax yang terlanjur dipercaya isinya. Sebuah informasi bisa dibuat seolah-olah asli. Pembuatnya bisa berganti identitas sesuka hati. Manipulasi berserakan di sana-sini.
Manipulasi dilakukan dengan hanya bercerita, atau dengan memanipulasi identitas pengirim, bahkan sampai manipulasi domisili. Satu orang dengan mudah dapat membuat banyak sekali email (karena pembuatan akun mengacu pada alamat email sebagai identitas pembuatnya). Bahkan cukup dengan satu email, Anda sudah bisa membuat banyak akun.
Saya berikan satu bocorannya. Bila Anda pengguna layanan Gmail, Anda tidak perlu repot-repot membuat tiga email hanya untuk membuat tiga akun di Twitter. Cukup dengan satu alamat email yang ada, misalnya inipunyasaya@gmail.com, Anda sudah bisa membuat banyak sekali akun Twitter. Caranya dengan memasukkan tiga kombinasi alamat email untuk tiga kali registrasi (inipunyasaya@gmail.com, ini.punyasaya@gmail.com, dan ini.punya.saya@gmail.com). Gampang kan?
Artinya, dengan adanya media sosial, orang-orang punya banyak sekali senjata untuk melakukan aksi muslihat, baik sekedar untuk iseng atau yang merugikan orang lain. Masih ingat kan dengan kasus pernikahan dua Facebooker di Bekasi yang ternyata istrinya adalah seorang pria?
Manipulator Kompasiana
Di Kompasiana, manipulasi lebih banyak lagi ragam dan modusnya. Tidak hanya manipulasi konten, tapi juga manipulasi atribut yang melekat pada konten. Jumlah pembaca, jumlah komentar, jumlah peringkat dan banyak lainnya.
Jumlah pembaca adalah kasus paling lawas. Karena Kompasiana dikelola sebagai sebuah media warga, maka orang berusaha setengah mati agar tulisannya (seolah-olah) dibaca oleh banyak orang. Awalnya jumlah pembaca bisa dikatrol hanya dengan mengklik tombol F5 (refresh). Tapi kemudian ini tidak lagi berlaku. Lalu otak kembali diputar, solusinya adalah dengan memperbanyak akun, melancarkan serangan fajar dan memperbanyak promosi.
Untuk meredam masalah ini, Kompasiana mengganti fitur “Terfavorit” (kumpulan tulisan paling banyak dibaca) menjadi “Terekomendasi” (tulisan pilihan berdasarkan jumlah pembaca terbanyak dalam waktu tertentu). Selain untuk meredam munculnya tulisan yang ‘asal-populer’, moderasi tulisan seperti ini juga memungkinkan munculnya lebih banyak tulisan di kolom Terekomendasi dalam satu hari.
Lalu belakangan muncul kasus manipulasi terhadap peringkat kualitatif tulisan (Teraktual, Inspiratif, Bermanfaat, Menarik). Ada pengguna Kompasiana yang berusaha agar tulisannya muncul dan berlama-lama di kolom tersebut. Karena fitur peringkat tulisan menggunakan voting engine, alias satu akun untuk  bisa memberi satu nilai, maka dibuatlah banyak akun agar tulisannya bisa diberi banyak nilai-sesuka hati.
Dengan adanya ulah segelintir orang ini, Kompasianer lain yang tulus ikhlas berbagi jadi terusik. Tulisan yang mendapat nilai alami hilang dari peredaran. Dan tulisan yang benar-benar aktual maupun bermanfaat akhirnya dicurigai telah dimanipulasi oleh penulisnya. Parahnya, ada orang yang sengaja memberi nilai terhadap satu tulisan dengan akun-akun palsu yang dia miliki. Niatnya adalah untuk menyebar fitnah agar seolah-olah si pemilik tulisan telah melakukan rekayasa atas tulisannya sendiri agar muncul di kolom ‘ter-teran’.
Sebenarnya, cara termudah untuk menanggulangi hal ini adalah dengan menghapus kolom untuk tulisan-tulisan dengan peringkat tertinggi. Tapi apakah itu solusi yang harus diambil setiap ada kasus manipulasi yang muncul? Apakah dengan menghapus kolom tersebut menjamin tidak akan ada lagi manipulasi di Kompasiana?
Ada cara lain. Yaitu dengan menggunakan kontrol Kompasiana seperti yang dilakukan saat mengubah kolom Terfavorit menjadi kolom Terekomendasi. Tapi saya berpikir, kalau semuanya dikendalikan, maka hilanglah dinamika alami yang menjadi keniscayaan sebuah media sosial.
Kolom peringkat tertinggi sejatinya dibuat agar untuk memberikan apresiasi lebih terhadap sebuah konten. Untuk mengembalikan maksud dan tujuan dari kolom ini, Kompasiana telah melakukan beberapa langkah agar tulisan-tulisan di kolom tersebut tidak dimanipulasi sesuka hati.
Langkah pertama yang telah dilakukan adalah memoderasi tulisan yang pencapaian peringkatnya dianggap manipulatif. Untuk memperlancar moderasi, Kompasiana mempersilakan teman-teman Kompasianer untuk melaporkan tulisan yang dianggap manipulatif.
Selanjutnya, Kompasiana akan melakukan pembatasan dan pembersihan yang tentu saja teknisnya tidak akan dijabarkan secara terbuka. Nama-nama pemberi peringkat juga akan ditampilkan di bawah tulisan, sehingga setiap orang bisa melacak ada tidaknya aksi manipulasi di dalamnya.
Kolom-kolom tersebut juga nantinya akan ditampilkan secara bergantian agar pengguna tidak terlalu memaksakan diri memberi nilai ‘Aktual’ untuk tulisan yang sebenarnya ‘Bermanfaat’.
Sebenarnya, langkah-langkah tersebut tidak perlu diambil kalau Kompasianer yang sering melakukan manipulasi tahu diri dan punya sedikit rasa malu saat memanipulasi tulisannya hanya untuk mengejar posisi di kolom Teraktual dan sejenisnya.
Tapi inilah realitas media sosial. Di sini setiap orang punya kesempatan untuk memanipulasi orang lain. Yang  perlu dipahami, apapun niatnya, manipulasi merupakan bentuk lain dari ketidakjujuran yang cenderung meresahkan (juga merugikan) orang lain!