Friday, August 12, 2011

92 Jam di RS PMI Bogor


Ada yang berbeda dari sahur terakhir yang Likon jalani di Rumah Sakit yang selama 92 jam menemani hari-harinya.

Beraneka macam tikar disusun berdekatan satu sama lain, ada 27 orang duduk melingkar di atas tikar itu, 5 di antaranya masih di bawah umur sambil merapikan tas sekolah yang tadi malam dijadikan bantal oleh mereka. satu sama lain bergerak secara otomatis tanpa di komando.

Pak Asep (53 tahun) bangkit dan mencopot penanak nasi otomatis yang sudah ia nyalakan sejak satu jam lalu. Ibu Uha (41 tahun) mengeluarkan sebuah bungkusan yang ia bawa dari rumah, di dalam plastik hitam itu ada rantang berisi beberapa potong daging ikan mas hasil kolam depan rumahnya. Di sebelah ibu Uha, ada Ibu Sa’i yang juga membawa tempe bacem dan sambel yang menggoda selera. Ada juga yang membawa lalapan, daging ayam, telur dadar, tahu semur, kerupuk, bahkan cuma membawa termos, sendok, piring, gelas.

Setelah semua makanan yang dibawa dikumpulkan di tengah lingkaran itu,  dua orang lelaki membuat teh tanpa gula dalam sebuah ketel besar, dan mengisi gelas-gelas yang dari tadi juga dibawa. dua orang ibu bergerak mengambil nasi seadil mungkin hingga cukup dibagi sesama mereka.

Seorang diantaranya mengedarkan nasi tersebut ke masing-masing orang sambil bertanya, “Rek nganggo naon weh tah laukna?” (mau pake apa lauknya). Dijawab oleh masing-masing orang dengan beragam pula. ”Eta wae lah, tempe jeung sambel, laukna saeutik wae nya, masih seubeuh” (Itu aja, tempe sama sambel, kasih daging ikannya sedikit saja).

Bapak yang tadi menyiapkan teh tawar mulai membagikan gelas berisi teh tawar. Bila suka, maka diperbolehkan untuk memakaikan sendiri gula sesuai selera masing-masing. Gula itu juga sudah ada di tengah lingkaran.

Tanpa sadar Likon memperhatikan, Pak Asep menawarkan menu istimewa itu kepadanya. “Mangga jang, Sahur bareng didiey, saayana, kieu dah nu aya ge, maklum atuh urang lembur, teu tiasa daharan kota” (Mari dik, sahur bareng, seadanya saja, yang ada ya seperti ini, maklum orang kampung, gak biasa makanan kota).

Likon menggeleng perlahan, sambil menunjuk ke arah luar, lalu meneruskan langkahnya untuk menikmati sahur di sekitaran pelataran Rumah Sakit, yang dia tahu ada rumah makan yang buka 24 jam.

Selagi menyantap hidangan di salah satu rumah makan itu, tampak Pak Asep keluar dari rumah sakit ke arahnya, langsung menuju kasir dan membeli sebungkus rokok dengan merk yang tak pernah didengar sebelumnya. Kali ini giliran Likon menawarkan makanan kepadanya. ”Pak, hayu atuh, sahur bareng” (Pak, mari sahur bareng). Kepalanya masih tersimpan sejuta pertanyaan.

Seakan tahu jalan pikirannya, Pak Asep memilih untuk duduk di sebelah Likon sambil membuka bungkusan rokok yang baru dibelinya… “Ah, abdi teh numpang ngarokok hungkul, tadi geus sahur dileubeut. Teu tiasa ngarokok di leubeut geuning” (Ah, saya numpang ngerokok saja, tadi sih sudah sahur di dalam. Tapi khan gak boleh ngerokok di dalam rumah sakit), seraya menawarkan bungkusan rokok yang bukan cuma namanya yang terasa aneh di telinga Likon, tapi bungkusnya pun asing di matanya.

Aya pak” (ada saya kok pak), dan memang masih ada rokok yang sudah 3 hari di kantongnya. Selama Ramadhan, hampir bisa dipastikan konsumsi tembakau berkurang.

Pertanyaan Likon yang tak terucap langsung dijawab oleh pak Asep.

Kami mengantar tetangga kami, kebetulan suaminya kerja di kota lain. si Istri menderita Usus Buntu kata mantri puskesmas, dari puskesmas di kampung kami disuruh ke rumah sakit ini. Saya selaku Rukun Kampung mengumpulkan dana dari tiap warga untuk membantu perobatan Ibu Jumi. Kami tahu, kalo biaya perobatan di rumah sakit tidak mungkin terjangkau oleh kami orang kampung. Sakitnya sih dari hari Senin, tapi baru terkumpul dananya tadi pagi.

Kami juga harus menunggu pulang dari ladang, Sementara Ibu-ibu menyiapkan lauk ala kadarnya hasil dari kebun kami.

Sejenak teringat sebuah peristiwa 6 Jam lalu, ketika pelataran IGD penuh sesak oleh dua kendaraan yang datang. Satu buah angkot, di belakang tergelar kasur, 5 orang bapak tergopoh mengangkut Ibu yang sakit. sementara di belakangnya menguntit mobil bak tebuka berisi penuh sesak orang segala usia yang menutupi diri mereka dengan tikar dan selimut, turun satu persatu. Lamunannya terhenti, ketika pak Asep mengeluarkan amplop lecek berisi uang hasil urunan (sumbangan sukarela) masing-masing warga, dan mulai menghitungnya di depan dua bapak lain yang bergabung di meja. Hampir dua juta, ada pecahan seribu, sampai dua puluh ribuan di dalamnya.

Jang, kinteun-kinteun teh, cukup teu nya, biaya barobatna. ngan ngumpul sakieu” (Dik, kira-kira cukup gak ya biayanya, cuma terkumpul 2 juta) Ujarnya tiba-tiba kepada Likon sambil menunjukkan gulungan uang itu. “Cukup pak”, jawabnya sambil tersenyum, tangan Likon tak sengaja menggaruk kepala, walau tidak ada yang gatal. Dalam pikiran Likon masih teringat sederet angka yang harus dibayarkan seorang ibu untuk mengobati amandel anak kesayangannya. Angka 2 dan 7 diikuti enam digit angka setelahnya (27 juta lebih).

Mudah-mudahan Allah membukakan jalan untuk sebuah kebersamaan yang mereka lakukan dengan tulus dan ikhlas.

(Terima kasih buat adikku yang telah setia menemani seorang kawan yang dioperasi hingga selesai)