Thursday, June 2, 2011

Bukan Tentang Aku

“Abang dari mana?” tanya gadis kecil Jamila pada Jamali di serambi masjid di minggu pagi. Dia memakai baju lengan panjang putih yang menutup sebagian jari-jari kecilnya dan celana panjang hitam. Rambut hitamnya tersembul dari balik kerudung putih. Dia menatap wajah abangnya, menunggunya mengucapkan sesuatu. Mata itu terlihat besar dengan bulu mata lentik di atas hidung mungil. Jamila baru berumur enam tahun, tapi kalau sedang berbicara terkadang ia melupakan umurnya. Dia senang bicara. Orang bilang itu karena keingintahuannya. Dia adik bungsu Jamali dari lima putera orang tua mereka. Antara Jamali dan Jamila, Bapak mereka terpikir menamakan panggilan yang agak mirip saat melihat Jamali berdiri di samping ibunya yang sedang bahagia setelah melahirkan Jamila.
Jamali bersandar di pilar sambil menjulurkan kakinya melepas lelah. Dia hanya sekali melihat adiknya yang manis karena pandangannya dilimpahkan ke arah jauh pada orang-orang bersuka cita di minggu pagi. Dia mempunyai bulu mata lentik seperti Jamila, namun matanya yang indah itu disembunyikan dalam lamunannya. Bapak mereka meninggal ketika dia berumur tiga belas tahun. Dan sejak saat itu beban keluarga diletakkan di pundak ibu mereka. Ibu mereka berhenti bekerja setelah Jamali mendapat pekerjaan sebagai buruh di pabrik sepatu. Bagi Jamali, terkadang, hanya dengan memandang wajah Jamila maka terbayanglah wajah ibunya. Dan jika terbayang wajah ibunya, maka kebaikan-kebaikan ibunya akan melintas di pikirannya.
Jamila duduk di hadapan Jamali, memandang sekilas wajah abangnya dengan dua mata besarnya. Tetapi Jamali masih belum memberikan jawaban. Jamila menjadi gelisah melihat kegalauan abangnya. Dia menunduk, meletakkan dua tangannya lurus ke lantai, dua kakinya menendang-nendang bergantian.
“Ibu nunggu abang semalaman” ucapnya, melirik Jamali, kemudian kembali memandang tanah.
Jamali menghela nafas, menarik kedua kakinya sehingga nampak jarak diantara mereka. Jamila bergeser mendekati Jamali, berharap sedikit respon darinya, lalu bertanya kembali, “Kenapa abang nggak pulang?”
Kali ini Jamali menoleh ke arahnya dan tersenyum. Dia sebenarnya tidak benar-benar mengacuhkan Jamila atau enggan menjawab, melainkan sedang memikirkan bahasa yang bisa dimengerti adiknya.
“Jamila pulanglah, nanti abang nyusul” kata Jamali, tersenyum. Dia mengambil sesuatu dari balik punggungnya. Sebungkus martabak dingin dalam plastik hitam lalu mengunjukkannya pada Jamila. Jamila menyambutnya dengan riang.
Jamila gembira melihatnya. Ya, wajah polos itu harus selalu diisi dengan kegembiraan. Jamali selalu tahu bagaimana membuat adiknya senang. Sedangkan Jamila tahu abangnya tidak akan mengecewakannya. Tidak juga pada ibunya.
***
Tadi malam, ibu mereka, seperti malam-malam sebelumnya menunggu Jamali pulang kerja. Dia tidak minum kopi karena biasanya bunyi pintu pagar memanggil dan memastikan yang membukanya adalah Jamali. Matanya sayu, rambutnya yang putih terlihat jarang karena rontok, wajahnya memperlihatkan guratan-guratan kelelahan dan kerja keras, dua kata yang selalu lekat sejak tiga puluh delapan tahun lalu. Tanpa berikir macam-macam, tanpa angan-angan atau impian Jamali akan membawa rejeki malam itu dia masih setia menunggu hingga Jamali pulang. Rumah yang ditinggalinya terlalu sempit untuk menampung dia, lima anaknya dan perabotan-perabotan usang. Meski sederhana dia menjaga rumahnya agar tetap rapih dan bersih.
Menjelang jam sepuluh malam wanita itu pergi ke kamar anaknya untuk menengok dua putri kecilnya tidur, memastikan mereka terjaga dari nyamuk, menarik tangan kakak dari wajah adiknya, membetulkan selimut dan mencium kening mereka. Kemudian dia pergi ke kamar sebelah dan mendapatkan dua anak laki-laki lainnya tidur tenang di ranjang masing-masing. Dia menyalakan lampu, melihat keadaan mereka dan melakukan hal sama seperti yang dia lakukan pada dua putri kecilnya tadi dan kemudian bergegas kembali ke ruang tamu, kembali melempar pandangannya keluar.
Saat mendengar percakapan dua orang laki-laki di jalanan depan rumah, buru-burulah dia bangkit dan berlari ke arah jendela mencari wajah Jamali. Namun, dia tidak mendapatkan Jamali di sana. Padahal dia sudah menyiapkan makanan istimewa buat Jamali, makanan yang didapat dari hajatan di rumah sebelah tadi siang. Maklumlah malam-malam sebelumnya hanya ikan asin, sayur asem dan kerupuk yang selalu menjadi hidangan sehingga dia merasa tidak pantas menyajikannya buat Jamali karena Jamali-lah yang menjadi pencari nafkah sejak beberapa tahun silam.
Dia kembali duduk, namun hanya sebentar. Dia berdiri dan berjalan ke dapur untuk mengembalikan kue-kue, rendang, ayam goreng, telur pedas dan jeruk ke lemari makan. Jika Jamali pulang nanti dia akan menyajikan kembali makanan istimewa itu dan menemaninya makan.
Malam semakin larut, kilat sambung menyambung, suaranya tidak menggelegar namun cukup membuatnya semakin khawatir pada Jamali. Angin dingin menyusup dan dia pun menggigil. Di luar, beberapa sosok bayangan berlarian seiring gerimis jatuh. Dia masih berharap salah satu dari mereka adalah putera pertamanya. Tetapi tak satu pun dari bayangan itu berhenti di rumahnya. Dia berdo’a untuk keselamatan Jamali.
Dia hampir tertidur jika tidak mendengar bunyi pintu kamar terbuka dan menemukan Jamila bersandar di dinding dengan mata yang masih mengantuk. Dia memanggilnya dan mengajaknya duduk di pangkuannya. Jamila berjalan dengan langkah yang malas, lalu jatuh dalam pelukan hangatnya.
“Kapan abang pulang?” tanya Jamila seakan sedang membaca kekhawatiran ibunya.
“Sebentar lagi, nak … sebentar lagi” jawabnya pelan hampir-hampir berupa bisikan. Dia menarik nafas panjang, memandang Jamila dan tersenyum padanya. Kasih sayangnya mengalir lewat belaian rambut, membuat Jamila terlena dan semakin mengantuk.
Air hujan sedang mengatur iramanya di atas genteng, gemuruh sesekali saja. Tidak biasanya Jamali belum nampak selarut ini. Paling-paling Jamali memberitahunya jika akan kerja lembur atau pergi ke suatu tempat selepas kerja. Namun tidak ada kabar sampai sekarang. Mungkinkah sesuatu terjadi padanya? Mungkin dia sedang kedinginan di luar sana. Mungkin sedang kelaparan. Mungkin … dan segala kemungkinan lain yang kerap datang di pikirannya. Segeralah dia berucap memohon ampun pada Allah atas segala prasangka yang terlalu berlebihan hingga meneteskan air mata yang tak disangka jatuh di wajah gadis kecil Jamila.
Gadis kecil Jamila dapat merasakan kesedihannya tetapi tidak ingin membuka mata. Dia membiarkan ibunya larut dalam kesedihannya dan hanyut dalam kenangan saat Jamali kecil menjual kue-kue di sekolah, saat Jamali memberikan gajinya dengan hanya menyisakan beberapa ribu rupiah untuk keperluannya, saat melihat wajah Jamali tidur, saat pikirannya ikut merasakan kelelahan Jamali bekerja dan berpanas-panas di jalan yang macet, membuat hatinya tidak tega jika Jamali lembur kerja di akhir pekan.
“Andai kau bisa merasakan penderitaan abangmu” ucap ibunya, memandang ke kejauhan.
Jamila mencoba mengerti. Dia hanya paham Jamali adalah seorang abang yang baik.
Si ibu terdiam, matanya tetap mengawasi keluar rumah, menjaga dirinya tetap terjaga. Tetapi angin malam menggodanya untuk tidur. Gadis kecil Jamila memeluk erat tubuhnya dan merasa nyaman dalam kehangatan. Tidak berapa lama mereka pun sama-sama jatuh tertidur.
***
Jamali melangkah pulang. Dia kelihatan kurus dan lelah, di tangannya ada sebungkus plastik hitam berisi martabak. Ada martabak telor dan ada martabak manis, makanan istimewa yang hanya seminggu sekali dibelinya. Adik-adiknya akan senang dia membawa martabak dan ibunya bahagia melihat mereka gembira. Tapi martabak itu sudah dingin. Kalau saja dia pulang lebih cepat, maka mereka akan memakannya bersama-sama.
Dia memikirkan ibunya yang sedang menunggu dan pasti masih akan menunggu hingga dirinya pulang. Biasanya ibunya membuatkan kopi dan menyiapkan makan malam meski hanya ikan asin atau tempe. Dia membuka pintu pagar, melangkah masuk dan menutup kembali. Bunyi pintu tidak membangunkan penghuni rumah. Dia mengintip ke dalam rumah melalui kaca jendela melewati celah-celah gorden. Ibunya sedang tidur dengan dua tangan memeluk adik bungsunya yang ikut terlelap sehingga timbul keengganan untuk masuk karena akan membangunkan mereka dan membuat ibunya repot.
Dia duduk di kursi teras, kembali merenungi kebaikan-kebaikan ibunya, mengingat masa lalu saat ibunya dengan sabar mendiamkan dirinya yang masih bocah menangis menginginkan mainan. Saat ibunya meminjam perlengkapan pramuka dari tetangga agar dirinya tidak minder di depan teman-temannya. Saat ibunya membuat sarapan tiap subuh agar ia tidak membeli makan di luar. Saat ibunya menyiapkan bekal makan siang. Dan saat ibunya menunggunya pulang kerja dan menemaninya makan malam. Dia berusaha untuk tidak menangis namun dia tidak kuasa menahan kesedihannya. Sudah lama dia tidak memandang ibunya, karena selama ini yang terhidang di hadapannya hanya kebaikan-kebaikannya. Tetapi tadi pagi dia melihat wajah ibunya sudah penuh kerutan, rambutnya yang putih dan jarang, matanya yang sendu, dan suara batuknya yang kering. Bagaimana dia tidak memerhatikannya selama ini?
Dia bangkit dan berjalan keluar. Bunyi pintu pagar tidak membangunkan mereka. Langit yang gelap terpecah oleh kilat, guntur sambung menyambung, suaranya menggelegar dan hujan pun semakin deras.
Menjelang tengah malam wanita itu terbangun. Dia merasakan beban Jamila di pangkuannya. Dia membaringkan gadis kecil Jamila dengan hati-hati di atas bantalan kursi, dan bergegas melangkah ke ruang tengah, tempat Jamali tidur di lantai. Dia melihat kasur tipis Jamali masih tersimpan di atas lemari. Jamali belum juga pulang. Dia kembali ke ruang tamu untuk memindahkan gadis kecil Jamila ke kamar tidur. Setelah membaringkan gadis kecil Jamila di atas ranjang, menutup tubuhnya dengan selimut dan memberi ciuman di kening, dia kembali menunggu Jamali, berdo’a untuk keselamatannya hingga air matanya meleleh dan membiarkan dirinya terjaga hingga pagi.