Thursday, April 3, 2014

Anastasya Laela Montolalu

Anastasya Laela Montolalu
.
Ferdinand mengajak Josephine mengunjungi makam leluhurnya tak jauh dari kota Ermera Paso. Mereka pun sampai di komplek pemakaman yang sudah cukup tua.
.
“Ini makam Anastasya Florentina…… hmmm….. mami aku. Di sebelahnya makam oma Clara dan oma Gabrielle…..”, ucap Ferdinand sambil mengusap pusara maminya.
.
“Makam-makam ini cukup bersih dan terawat….. tapi tidak untuk yang di ujung sana. Makam siapa itu?”, Josephine mengamati sebuah makam yang penuh lumut dan semak belukar hingga menutupi nisannya.
.
“Juan Delgado Felipe”, jawab Ferdinand datar dengan wajah yang hampir memerah darah menahan amarah. Tapi segera dikuasai emosinya. Tak ingin ia merusak hatinya dengan dendam yang lama terpendam. Ferdinand sudah ikhlas kini. Sesudah ini dia berjanji membersihkan makam itu.
.
“Siapa dia?”, selidik Josephine penasaran.
.
“Entah kupanggil apa dia. Entah kusebut apa lelaki itu”, jawab Ferdinand sambil mengenang kisah yang pernah dituturkan oleh maminya berulang-ulang kali. Kisah yang selalu terbawa ke mana pun ia pergi.
.
@
.
Sofia Clara akhirnya diperbolehkan masuk untuk menjenguk Juan Delgado Felipe di penjara. Sambil menggendong Anastasya dan menggenggam sepucuk surat di tangan kirinya, Clara menuju sel isolasi.
.
“Bagaimana, Clara? Dikabulkan?”, Felipe begitu berharap jawaban yang menggembirakan hari ini.
.
“Tidak. Yang Mulia Tuan Presiden menolak keringanan hukumannya, Ayah. Usaha kami tiga tahun ini sia-sia. Perbuatan ayah dan pembunuhan terencana tingkat satu sulit untuk mendapat keringanan dari Istana Presiden. Maafkan kami, Ayah”, ucap Clara dengan wajah yang sudah setahun ini tanpa ekspresi. Datar dan dingin.
Felipe tertunduk diam. Tujuh jam lagi dia akan berhadapan dengan lima orang anggota regu tembak.
.
“Empat puluh kali sehari doa selalu kupanjatkan. Mohon kemurahanNya karena aku telah membunuh Fernando kakakmu, Gabrielle ibumu dan merusak masa depanmu, Clara…… Daaan…… siapa gadis cilik ini?”, Felipe baru pertama kali melihat gadis cilik itu.
.
“Anastasya….. Anakku…. Putri kita, Ayah……”, ucap Clara pelan.
.
Dentang lonceng gereja lamat-lamat berbunyi dari kejauhan. Sebelumnya bunyi ini begitu syahdu terdengar, begitu merdu berbinar di telinga Felipe. Tapi sekarang bunyi lonceng itu begitu menyayat-nyayat ulu hatinya, merobek-robek jantungnya. Felipe serasa sudah mati sebelum tertembus peluru dari regu tembak penjara.
.
“Tuhan! Aku sungguh berdosa….. aku sungguh-sungguh teramat sangat berdosa…. Hal apakah yang bisa membayar dan menebus ini semua?!”
.
@
.
Josephine melihat Ferdinand berlutut di makam Felipe.
.
“Aku memaafkanmu, Felipe. Semoga Tuhan mengampunimu”
.
Tak lama kemudian mereka pun meninggalkan komplek makam itu. Langkah kaki Ferdinand kini lebih ringan, tak ada lagi yang mengikat dan membebani kakinya.
.
“Kalau sudah lahir, kau beri nama apa untuk bayi kita?”, tanya Josephine di tengah perjalanan pulang.
.
“Anastasya”
.
"Anastasya Laela Montolalu?"
.
.