Saturday, September 14, 2013

Before Dead


.
"Kopi pun boleh, Bunda. Asal tak merepotkan. Kue-kue sisa lebaran pun jadilah sebagai temannya"
"Kau duduk sajalahdulu, biarkan paru-paru kecilmu terisi udara barang sejenak. Kasihlah kesempatan jantungmu berdetak berirama, tak lagi bertabuhan berkejaran memburu senja. Sebentar biar Bunda minta tolong ke mbak Sri untuk buatkan kopiuntuk kau, Azwar"
"Sejak kapan Agam pergi, Bunda?"
"Selepas bubaran mengajiyasin malam tadi, Agam keluar rumah. Jenguk abah Jalal katanya. Hingga matahari condong ke barat, tak jua Agam datang memberi salam"
Azwar meraih tangan Bunda yang sengaja menginap di rumah Agam sepekan ini. Tangan keriput ini begitu halus dan dingin. Walaupun Agam anak angkatnya, cintanya sebesar curahan kasih yang diterima Azwar.
Kabar dari Bunda soal Agam yang tak pulang sejak semalam, dan sulit dihubungi karena ponselnya dibiarkan tergeletak di kamarnya, merisaukan hati Azwar, terlebih kegalauan hati Bunda. Perilaku keseharian Agam hingga mereka sama-sama beranak beristri, tentulah dipahami betul oleh Azwar. Terlebih saat duka yang teramat sangat yang kini melanda Agam.
Setelah menghirup kopi yang kini tinggal selapis dari ampasnya, Azwar menelepon seseorang.
"Bunda, Azwar pamit dulu. Sepertinya aku tahu di mana Agam berada"
"Syukurlah. Kau jemput baik-baiklah adikmu itu, Azwar"
"Iya, Bunda"
Azwar pun mencium tangan Bunda lalu meninggalkan rumah Agam yang hanya selisih satu kampung dari tempat tinggal Azwar.
Dipacunya motor bebek tua pemberian Abah menuju ke tepi kampung. Azwar tahu hendak ke mana motor itu dilarikan.Lepas Zuhur, di pertengahan Jl. Kebagusan, Azwar berhenti sambil menatap surau seukuran rumah biasa di antara pohon-pohon rambutan yang rindang.
Azwar turun dari motornya, dan menuntun hingga ke muka surau yang sunyi sepi saja, hanya terdengar lamat-lamat suara seseorang mengaji Qur'an di dalamnya. Azwar teramat kenal dengan suara syahdu itu, tak ada yang mengalahkan alunan ayat-ayat suci yang keluar dari mulut Agam, siapapun akan dibuat terhanyut dan merinding sekujur tubuhnya dan kadang disertai getaran otot-otot yang mengamini firmanNya.
"Assalamu'alaikum......", pelan saja Azwar memberi salam sambil masuk lalu duduk bersila di sisi kiri belakang surau itu. Dilihatnya Agam hanya menengok sedikit lalu melanjutkan 4 ayat yang terakhir.
Azwar membuka tasnya dan mengambil satu buku Yasin. Tiga buku lain di dalam tas dibiarkan menunggu di situ. Buku Yasin yang dibagikan tadi malam cukup menarik perhatian Azwar. Covernyasederhana dan berwarna hitam dengan teks dicetak perak, isinya hanya 117 halaman. Halaman pertama berisi doa, kedua foto almarhumah istrinya Agam, ketiga dan keempat......... dua halaman Persembahan Agam untuk Sumi, terakhir berisi daftar keluarga yang ditinggalkan. Halaman selanjutnya berisi Yasin, Tahlil dan doa-doa.
Tulisan Agam pada bagian Persembahanlah yang mengantar Azwar ke surau ini. Selebihnya dan cukup banyak hal tentang Agam ada di buku dalam tas Azwar tadi.
Agam tampaknya telah selesai mengaji.
"Bang Azwar.... sudah lamakah? Bunda baik-baik saja, kan?!", Agam menghampiri Azwar  abangnya yang duduk bersila di bagian belakang surau bercat hijau muda pupus.
"Abang kira Bunda mulai membaik, dan begitulah harapannya padamu, Agam", dipeluknya Agam dengan erat. Dari balasan pelukan yang kokoh, Azwar masih merasakan kehilangan Agam atas kepergian Sumiistrinya 40 hari lalu. Jabat tangannya begitu kuat dan keras, bagai tak mau dilepas. Selapis bening di mata Agam hanya menjadi setitik air mata yang tak sempat jatuh ke karpet surau karena keburu diseka dengan punggung telapak kanan tangan Agam.
Agam lalu berdiri dan berjalan menuju jendela berdaun dua di sisi utara surau. Dipandanginya beberapa pohon rambutan yang masih setia menaungi surau kecil itu. Surau yang dibangun oleh Abah dan diwakafkan untuk jamaah kampung di situ. Lebih dari sepuluh batang pohon rambutan kini sudah tiada lagi dan berganti menjadi beberapa petak rumah di atasnya.
Azwar pun membaca pelan-pelan goresan Agam di buku Yasin itu.
..........
Persembahan untuk Istriku Tercinta
Hingga detik ini, tak kuasa aku menggali ingatanku tentang cintamu padaku, Sumi. Tapi yang pasti aku sangat mencintaimu. Lalu..... kapankah terakhir kali kau ucapkan cintamu padaku, Sumi? Kapan kali terakhir aku kecup bibirmu sambil aku ucapkan I LOVE YOU, SUMI? Kapan??!!
Dan yang membuatku galau adalah karena aku tak ingat kapan terakhir kali kita bercinta. Bercinta atas ijinNya, bercinta sambil menyebut asmaNya, bercinta hanya karena Dia. Mi, kapan terakhir kita bercinta? Bercinta dalam putaran tasbih di tangan-tangan mungil kita sambil mengagungkan namaNya. Kapan, Mi?
Aku berharap, lewat buku kecil ini aku bisa bercinta denganmu. Bercinta melalui ayat-ayatNya.
Mula pertama kita bercinta adalah di surau milik kita. Aku menjadi imam dan kamu menjadi makmumnya. Handai taulan kita pun hanya bisa pasrah menyerukan suara mereka dengan lantang.... SAAAH.....
Terimakasih sudah menemaniku di saat aku tertidur panjang dan terbangun entah menjadi siapa. Terimakasih sudah merawatku, menyembuhkanku, meluruskan jalanku. Itu semua karena kita bercinta hanya untukNya.
Semoga Dia berikan kursi yang indah untukmu, Sumi.
..........
Azwar berdiri dan menghampiri Agam yang sedang bersandar di jendela. Ditepuknya bahu adiknya itu sambil tersenyum.
"Di ujung sana, di bawah pohon mangga, ada kedai gado-gado bu Barkah. Ingatkah engkau akan tempat itu, Agam?"
"Pastilah kuingat itu. Kedai mungil di mana Sumi kecil selalu membantu ibunya berjualan gado-gado", ingatan Agam sepertinya pada hal yang lainnya.
"Agam..... Kalau kau tak ingat kapan terakhir kali bercinta dengan Sumi, tapi untuk yang pertama kalinya tentulah masih terpatri kuat di kepalamu. Iya kan, Agam? Di sana......", Azwar menunjuk ke kedai reyot itu.
Agam mengernyitkan dahi dan rona merah mulai menyelimuti wajahnya.
"Maksud kau itu apa, bang Azwar?", selidik Agam.
"Setelah pesta pernikahanmu, tengah malamnya aku melihat ada yang menyelinap ke kedai itu......"
Tinju Agam pun mendarat ke perut Azwar yang kini hanya tertawa-tawa saja. Mereka pun akhirnya tertawa bersama.
Dari jendela, Agam melihat helai demi helai daun rambutan jatuh berguguran dihempas angin kering di bulan September. Daun-daun yang menguning itu jatuh ke bumi hanya atas kuasaNya.
Beberapa helai daun jatuh di atas mobil polisi yang sudah 10 menit yang lalu berhenti di tepi jalan tak jauh dari surau.
"Kawanku sudah menunggu, Agam. Aku pergi dulu. Dan ini tiga novel yang mungkin bisa berguna untukmu...."
Agam mengamati tiga novel itu dan satu yang mengejutkannya, berjudul 'Remember Me' oleh Sasumi. Novel dengan cover bergambar surau di bawah pohon rambutan. Surau di mana dia berdiri sekarang ada di cover novel itu. Sasumi? Sumi?

"Mi, kapankah terakhir kali kita bercinta? Adakah kau tulis di novel ini, Sumi?"