“Korea Selatan adalah salah satu negara terkaya di dunia saat ini, sedangkan Korea Utara adalah salah satu negara termiskin di dunia. Mereka baru terpisah 50 tahunan”
Apa yang membedakan negara-negara terkaya di dunia dan negara-negara termiskin di dunia?
Apakah sumber daya alamnya? Letak geografisnya? Jumlah penduduknya? Budaya? Sejarah?
Dalam pelajaran mulai di sekolah dasar, sampai di sekolah menengah, kita selalu diajarkan bahwa Indonesia adalah negara yang kaya sumber dayanya. Dikaruniai letak geografis yang strategis, diantara dua benua, diantara dua samudra. Indonesia adalah untaian jamrud di katulistiwa.
Singapore adalah negara tanpa sumber daya alam. Bahkan untuk air bersihpun harus membeli dari Malaysia. Namun, tingkat pendapatan perkapita Singapura 6-7 kali tingkat pendapatan perkapita rakyat Indonesia.
Dulu sebelum Perang Dunia ke-2, Korea adalah satu negara. Yang sama budaya dan sejarahnya. Sama bahasanya. Sama kekayaannya. Setelah Perang Dunia ke-2, kedua negara itu terpisah. Korea Utara yang diperintah secara otoritarian oleh Kim Il Sung menerapkan central planning untuk sistem ekonominya (sosialis). Korea Selatan sistem ekonominya pro-pasar (kapitalis).
Kini, berselang 50 tahun kemudian, Korea Selatan adalah salah satu negara terkaya di dunia, sedangkan Korea Utara adalah salah satu negara termiskin di dunia.
Daron Acemoglu dan James A Robinson, keduanya social scientist dari Harvard dan MIT menulis buku “Why Nations Fail”. Bukunya beragumen bahwa yang membedakan kenapa suatu bangsa menjadi kaya atau melarat bukanlah sumber daya alamnya, bukanlah letak geografisnya, bukan juga latar belakang sejarahnya. Korea Utara dan Korea Selatan adalah salah satu contoh yang digunakannya.
Yang membedakan bangsa-bangsa terkaya di dunia dengan bangsa-bangsa termiskin adalah institusi politiknya, atau pilihan sistem politiknya.
Negara-negara yang sukses mensejahterakan rakyatnya memiliki sistem politik dimana rakyatnya mempunyai kemampuan dan kebebasan memilih pemimpinnya. Dan rakyatnya mempunyai kemampuan untuk mengganti pemimpinnya kelak jika dirasa gagal.
Itu yang kita kenal dengan demokrasi.
Negara-negara termiskin di dunia, mempunyai kesamaan bahwa mereka diperintah oleh sistem otoritarian atau semi otoritarian yang mana rakyatnya tidak mempunyai kemampuan memilih dan mengganti pemimpinnya.
Demokrasi kemudian pada akan melahirkan institusi-insitusi ekonomi yang pro-pasar.
Disinilah saya menganggap mengapa kemenangan Jokowi dalam Pilpres 2014 menjadi penting bagi sejarah perjalanan bangsa Indonesia.
Reformasi 1998 merupakan koreksi atas rezim otoritarian Jendral Soeharto. Peristiwanya berdarah-darah. Kacau, chaos. Ekonomi yang dulu tumbuh ternyata tidak bertahan, terkoreksi habis. Indonesia tiba-tiba miskin kembali.
Reformasi 1998 memilih sistem demokrasi sebagai sistem politiknya. Demokrasi merupakan anti-tesis dari rezim otoritarian sebelumnya.
Kemenangan Jokowi menjadi penting, karena ia adalah anak kandung Reformasi. Anak kandung dari sistem politik demokrasi yang sudah kita pilih untuk mengkoreksi rezim sebelumnya.
Jokowi yang pedagang furniture ternyata bisa mengalahkan seorang jendral yang ‘berdarah-biru’. Jokowi yang didukung oleh orang biasa ternyata bisa mengalahkan Prabowo yang didukung oleh mayoritas elite partai politik. Rakyat mengalahkan elite dalam sebuah kontestasi pilpres yang tidak berdarah.
Sebuah proses demokrasi yang hampir sempurna.
Indonesia sudah berhasil mempraktekkan demokrasi. Berarti kalau mengikuti argumennya Acemoglu dan Robinson, we are on the right track. Kita sudah berada di jalur yang benar. Kalaupun belum kaya, nanti akan sejahtera.
Demokrasi berarti orang biasa kalau mencapai mayoritas, bisa memilih pemimpinnya dan mengganti pemimpinnya.
Kualitas demokrasi tentunya sangat ditentukan oleh kualitas kemampuan orang-orang biasa untuk memilih. Jika orang-orang biasa ini tidak bisa atau tidak mampu memilih dengan baik, tentu hasilnya akan jelek.
Pendidikan politik menjadi penting. Orang biasa harus melek politik. Artinya harus bisa memilih. Orang-orang biasa harus diajarkan agar jangan memilih dengan alasan yang salah.
Jangan memilih karena disogok. Jangan memilih karena satu suku. Jangan memilih karena alasan agama.
Proses pendidikan politik ini tentunya akan semakin baik lima tahun yang akan datang (seiring dengan kemajuan pendidikan dan informasi). Akan semakin baik sepuluh tahun mendatang. Akan semakin baik lima belas tahun mendatang.
“Tidak apa, 10 tahun, 15 tahun bahkan 25 tahun adalah masa yang pendek bagi perjalanan sebuah bangsa”, demikan kata Anies Baswedan dalam sebuah perbincangan santai di pagi hari.
Kemenangan Jokowi menjadi penting karena ternyata orang biasa bisa menjadi pemimpin, jika mayoritas rakyat menginginkannya. Berarti setiap orang baik dan berkualitas di negara ini tidak perlu harus jendral, tidak perlu berdarah biru, bisa menjadi pemimpin. Baik di level daerah maupun di level nasional.
Kemenangan Jokowi menjadi penting, karena jika kemudian Jokowi tidak perform, mayoritas orang banyak bisa menggantinya dengan pemimpin yang lebih baik lagi. Demikian seterusnya. Yang terjadi adalah perbaikan terus menerus bagi Indonesia Raya.
Salam.
Nb: Saya bukan ahli politik. Ini catatan orang biasa yang terinspirasi di minggu pagi hari setelah membaca buku “Why Nations Fail.”
.