Saturday, August 6, 2011

Humor dan Sarkasme

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, sarkasme (kata kerja) didefinisiikan sebagai “(penggunaan) kata-kata pedas untuk menyakiti hati orang lain; cemoohan atau ejekan kasar. Meski dalam bingkai humor dan lawan main tidak marah (?), hal itu tidak bisa dikategorikan bebas dari sarkasme. Pada beberapa forum dunia maya yang pernah saya ikuti, bahkan pada komentar-komentar sebuah informasi saya beberapa kali disebut “sarkastis” oleh teman-teman yang berasal dari negara-negara lain, utamanya Amerika dan Eropa. Padahal, apa yang saya tulis masih jauh lebih “halus” daripada kebanyakan teman-teman saya yang adalah orang Indonesia. Saat ikut menanggapi isu palsu “RIP Jackie Chan” yang sempat heboh di Twitter beberapa waktu lalu, saya menulis “Yeah, those people are getting heart attack, what a shame.” Komentar ini, yang di-retweet oleh tiga teman tweeps dari negeri “barat”, dianggap sarkastis oleh dua orang di antaranya.

Intinya adalah, sejak dulu memang standar kelucuan humor di Indonesia berbeda dengan lucunya humor-humor di negeri lain. Kalau boleh saya berpendapat, humor sarkastis yang banyak diadopsi acara-acara teve kita saat ini ada kaitannya dengan sejarah perjalanan interaksi sosial yang berlaku sejak dulu. Masih ingat film-film legendaris Dono-Kasino-Indro? Seri humor yang naik daun sekitar tahun ;80-an itu juga sudah mencakup kecnderungan sarkasme, semisal saat tokoh Indro mengamati wajah tokoh Dono dari samping lalu gambar menayangkan seolah-olah ia sedang membayangkan wajah Dono berubah menjadi sebuah bemo, atau hal lainnya.

Saat ini, kecenderungan “ejek-ejekan” dalam humor bertahan, meski tidak dalam semua tayangan humor televisi.

Salah satu teori terkenal dalam humor sosial disebur superioritas. Plato, dalam hasil studinya, menjelaskan bahwa ada kecenderungan humor bisa terjadi saat seseorang melihat sesuatu yang janggal. Sementara filsuf lain, Aristoteles mengemukaan, sebagai subjek kita tertawa karena merasa kita punya kelebihan (super), dan objek tertawa kita sifatnya rendah atau menggelikan. Psikolog masa kini, Henry Bergson, “Ketika tertawa, diam-diam ternyata kita bermaksud merendahkan.” Sebagian teori bahkan mengemukakan bahwa pola humor seperti ini sejak dulu dimaksudkan untuk melatih kemampuan menghadapi kehidupan sosial yang sebenarnya.

Darmito Sudarmo, redaktur majalah HUMOR menggambarkan sebagaimana ditulis jojocenter.blog.com, secara garis besar humor terbagi atas dua aspek, yaitu humor tidak disengaja, dan humor disengaja. Humor tidak disengaja berkaitan dengan kejadian-kejadian faktual yang dianggap merupakan ketidakseimbangan antara harapan dan kenyataan. Sedangkan, humor disengaja berasal dari kreasi manusia dalam bentuk karya, karsa, dan cipta.

Beberapa jenis humor yang bisa diidentifikasi di Indonesia adalah:

  1. Guyon parikena, isinya lelucon yang menyindir, tapi tidak terlalu kasar. Guyon ini biasanya dipakai seorang bawahan kepada atasannya atau adik kelas kepada kakak kelas, dan sangat jarang ditujukan kepada orang yang benar-benar dihormati. Humor ini bermaksud bukan untuk mendominasi secara psikologis.
  2. Satire, atau sinisme. Berbeda dengan guyon nomor 1, guyon ini muatan ejekannya lebih dominan. Kata-kata sindiran mulai dibumbui predikat-predikat menyinggung secara psokologis. Dasarnya adalah kecenderungan memandang rendah orang lain, sehingga jika tidak hati-hati menggunakannya, ini bisa sangat tidak mengenakkan hati.
  3. Pelesetan. Humor ini juga populer saat ini. Orang Barat menyebutnya imitative atau parody. Isinya, memelesetkan segala sesuatu yang populer sehingga nampak lucu dan mengundang tawa orang yang melihatnya. Nama-nama Rhoma Irama dipelesetkan menjadi Roma Aroma atau SBY dipelesetkan sebagai Si Butet Yogya termasuk kategori ini.
  4. Slapstick. adalah humor yang berkaitan dengan nuansa fisik. Gigi maju, badan pendek, atau bibir “dower” menjadi contoh-contoh yang populer di teve-teve masa sekarang.
  5. Olah logika, jenis humor yang didasarkan pada gaya analisis, biasanya dipakai oleh kalangan terdidik. “Kita harus mewaspadai bahaya provokasi dan provokator!” teriak santri dalam sebuah latihan pidato. “Apa bedanya?” Tanya Kyai. “Provokasi itu tingkat propinsi, Yai. Kalau provokator itu tingkat pusat.”
  6. Superioritas-interioritas. Lelucon ini muncul karena melihat cacat, kebodohan, atau kesalahan pihak lain. Misalnya, dialog antara dua orang tuli berikut: “Darimana, Kang? Dari mancing ya?”
    “Nggak. Dari mancing kok.”
    “Oalah, saya kira dari mancing.”
  7. Kelam. Sering dkategorikan “black humor“, isinya sesuatu semacam penderitaan, kejadian menyeramkan, atau sejenisnya.
  8. Seks. Seks di sini diartikan bukan sebagai jenis kelamin, tapi hubungan hal yang menjurus keporno-pornoan, bahkan full porno. Sifatnya yang ringan membuat humor jenis ini tidak memerlukan pikiran mendalam dan mudah mengundang gelak tawa.
  9. Apologisme. Dalam istilah mudahnya, “ngeles“. Hal ini bukan untuk melucu, tapi justru berlindung di balik lelucon.

Dari daftar jenis humor di atas, hampir semuanya pernah dikemas dalam bentuk tayangan publik di Indonesia. Sebut saja satire, slapstick, dan pelesetan. Bahkan, satu tayangan humor di televisi bisa mengandung tiga sampai lima jenis humor dari daftar tersebut. Sementara itu, humor-humor yang membutuhkan sedikit pemikiran, sebut saja dari daftar di atas “olah logika”, tidak populer sebagai objek kemasan acara komedi televisi. Jelas, karena pelakon dan pengarah adegan tidak perlu bersusah-payah menyusun konsep yang membutuhkan pemikiran lebih dalam menimbulkan kelucuan-kelucuan. Hasilnya, tidak mengherankan jika orang-orang luar, sebut saja “barat”, menonton acara humor di Indonesia, menganggapnya lebih sarkastis dibandingkan humor-humor mereka yang lebih sering menggunakan olah logika.

Saya sempat menonton acara humor di televisi sahur tadi. Pemainnya tiga orang “pribumi” ditambah satu orang “bule”. Dalam lakon, nampak jelas sekali pola konsumsi humor yang berbeda antara dua jenis pemain ini. Saya mafhum, karena memang dasar pemahaman humor mereka berbeda. Orang-orang “bule” tidak hidup dari masa-masa lalu Indonesia yang memang sudah mengadopsi humor-humor “kocok perut”, berbeda dengan orang-orang Barat yang tumbuh besar di Indonesia.