TEMAN saya berkata kelompok pro Jokowi di Kompasiana ini adalah sekumpulan miltan intelek tapi emosional. Mereka akan men-counter tulisan yang mengkritik JKW dengan cara mereka yang boleh dibilang berbau emosional. Kemarin Yusril Ihza Mahendra yang juga seorang kompasianer yang lumayan aktif karena masih kedapatan menulis di Kompasiana, kena 'serang' Pro Jkw karena kebersediaan menjadi saksi ahli Tim Prabowo Hatta dalam Sidang MK Jumat kemarin. Kemarin lagi yang terbaru, Kompasianer senior Ira Oemar yang sempat mendapat predikat Kompasianer penulis opini terbaik 2013, kena 'semprot' salah seorang kompasianer Pro JKW.
Sudah jadi sifat demokrasi untuk saling memberikan tanggapan, komentar, counter tulisan orang lain, atau membahas kinerja atau cara pandang orang lain. Namun yang membuat saya lucu dan merasa prihatin adalah saat tulisan counter itu cenderung melemahkan pribadi penulis. Yang lebih memprihatinken lagi adalah tudingan-tudingan klasik seperti: upaya penulis menggiring opini. Padahal jelas-jelas opini, masak punya daya mahakuat untuk menggiring publik? Emangnye Kompasiana media mainstream? Yang satu artikelnya dibaca 100 ribuan per hari? Artikel Kompasiana yang dikilaukan admin paling banyak biasanya menyentuh angka 2 - 6 ribu. Jadi kurang ada dampaknya buat memengaruhi orang lain. Apalagi saya pikir pembaca Kompasiana itu ya kompasianer juga kebanyakan.
Hal yang unik menggelitik lainnya adalah meng-counter pendapat kompasianer di kolom komentar. Hal ini mungkin pernah kita lakukan. Bagaimana kita berkeberatan dengan komentar di kolom komentar, kemudian saking gemes dan kekinya kita jadikan itu sebagai bahan tulisan. Setelah tulisan dibuat, maka puaslah sudah, uneg-uneg kita pun tertuntaskan. Apalagi kalau kita Pro JKW, yang pada nyata-nyatanya punya fans yang setia menorehkan rating. Setiap hari di kolom aktual, artikel yang mejeng selalu artikel yang bertendensi melemahkan kubu Prabowo.
Tapi semuanya masih batas wajar karena bentuk-bantuk kalimat itu masih bisa diterima. Nyinyir, sentimen, menguak-nguak kekurangan sang pemberi opini, adalah bagian dari sifat demokrasi juga yang menurut saya kurang sehat. Lihatlah contohnya peristiwa sekian bulan lalu saat ada kepala sekolah yang artikelnya jadi HL dan mengkritik kebijakan JKW, secara 'brutal' pendukung JKW ini menyerang sang penulis hingga penulis itu menghapus artikelnya. Bahkan ada kompasianer yang buka 'borok' sang penulis, yakni ketika FB sang penulis ternyata pernah share artikel link porno. Dan pak guru itu pun dikata amoral. Mirip dengan Novela Nawipa kemarin, media partisan mengolok-ngoloknya, member kaskus membuat thread khusus mengatakan dia kader Gerindra yang pro Israel. bahkan ada akun FB dadakan yang memuat gambar TPS pencoblosan di tempat Novela. Segalanya sangat terlihat tendensius.
Di ranah Kompasiana ini, idelanya dan alangkah baik jika tulisan dibuat lebih santun dan no name atau no mention. Tapi jika pun dibuat serbatransparan, mbok ya hormati juga orang lain. Kita kan sesama manusia juga, meski hanya berinteraksi lewat teks tanpa tatap muka, tapi masing-masing dari kita punya hati.
Cuma saya suka salut nih sama Pak Yusril atau Ibu Ira, mereka itu orangnya cuek. Kata orang Sunda mah sabodo teuing! Yeah, itulah yang juga saya lakukan kalau tulisan saya di-counter-counter. Tahulah kalau saya ini penulis ingusan, masih pula mereka-mereka itu sindir-sindir. Mending berkicau saja di kandang masing-masing. Dan saya yakin orang-orang yang cuek bebek ini jumlahnya banyak. Kumaha manehlah. Kalau dipikirin bisa mati kreatifitas menulis. Masak meluncurkan perbedaan cara pandang disangka mengibarkan bendera anarkis? Lucu amat. Mending ngopi sambil makan tahu!