SENIN, 18 AGUSTUS 2014 | 01:24 WIB
Kabinet tanpa Bos Partai
Sikap presiden terpilih Joko Widodo yang tak menginginkan pengurus partai politik masuk kabinet semestinya didukung semua pihak. Langkah ini bakal membuat menteri lebih berkonsentrasi pada tugasnya. Sistem presidensial kita juga akan lebih kuat.
Gagasan itu telah disokong oleh sebagian partai pendukungnya. Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Megawati Soekarnoputri tentu tak berminat masuk kabinet. Ketua Umum Partai NasDem Surya Paloh dan Ketua Umum Partai Hati Nurani Rakyat Wiranto sudah rela tidak menjadi menteri. Yang belum sreg hanya Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa Muhaimin Iskandar.
Joko Widodo alias Jokowi sanggup merintis tradisi baru itu karena bukan pengurus partai. Di PDIP, Jokowi hanya kader biasa. Pasangannya, Jusuf Kalla, juga tak memiliki posisi di Dewan Pimpinan Pusat Partai Golkar. Jokowi-Kalla lebih leluasa merekrut orang-orang yang ahli di bidangnya untuk membentuk zakenkabinet. Kalaupun ada politikus yang diangkat, mereka sebaiknya bukan pengurus partai.
Kabinet yang ideal tersebut sulit diwujudkan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Soalnya, ia menjabat Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat dan, belakangan, malah merangkap sebagai ketua umum partai ini. Tidak mungkin Yudhoyono menerapkan aturan "kabinet tanpa pengurus partai" jika ia sendiri tak bisa memenuhinya.
Jokowi sebetulnya juga akan sulit menghindari sama sekali pengaruh kepentingan partai-partai dalam kabinetnya. Kendati negara kita menganut sistem presidensial-presiden memiliki kekuasaan penuh dalam pemerintahan, termasuk dalam pengangkatan menteri-sistem ini tak mungkin dilaksanakan seratus persen dalam tatanan multipartai. Presiden akan selalu memerlukan dukungan partai-partai.
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara pun tidak melarang secara tegas kehadiran pengurus partai dalam kabinet. Menteri tak boleh merangkap sebagai komisaris dan direksi perusahaan serta pejabat negara dan jabatan lain pada organisasi yang dibiayai oleh anggaran negara. Tapi undang-undang itu hanya "berharap" menteri juga melepas jabatan di partai.
Sungguh elok bila Jokowi dan partai pendukungnya sanggup memenuhi harapan undang-undang itu kendati tidak ada sanksi apa pun bila melanggarnya. Bagaimanapun, seorang menteri akan lebih berkonsentrasi menjalankan tugasnya bila tidak harus mengurusi partai. Cara ini juga untuk menghindari konflik kepentingan dan kecenderungan menggunakan posisinya buat mengumpulkan duit untuk pendanaan partai.
Harus diakui, tidak mudah melaksanakan sistem presidensial secara efektif dalam tatanan politik yang dijejali banyak partai. Jokowi-Kalla mencoba menempuh jalan tengah, tanpa meninggalkan sama sekali kepentingan partai politik. Para petinggi partai politik dan publik semestinya menyokongnya agar sistem presidensial kita bisa dilaksanakan secara lebih baik.
.
.