Pati adalah sebuah kota di Jawa Tengah di sekitar wilayah pesisir utara laut Jawa, dekat dengan perbatasan Jawa Timur. Di kota ini ibu saya dilahirkan dan sejumlah keluarga dari pihak ibu tinggal di sana pula. Sebuah rumah kayu di kampung Saliyan, menjadi rumah kenangan yang pernah ditinggali ibu semasa beliau masih kanak-kanak hingga menikah dengan bapak. Ibu pernah bercerita mengenai Pati dan kehidupan beliau di kota itu. Kakek bernama Haji Nawawi, seorang warga kota kebanyakan yang cukup berada. Beliau memiliki sejumlah rumah sewaan, sawah yang luas, dan dari hasilnya kakek membesarkan ibu, putri bungsunya, dan kakak-kakak laki-lakinya. Tidak banyak yang ibu ceritakan mengenai nenek, kecuali kesabaran beliau dan bagaimana nenek mengajari ibu memasak, membersihkan rumah dan membatik. Sepertinya nenek meninggal tatkala ibu masih belum lagi remaja. Akan halnya kakek, yang sering ibu ceritakan adalah kebiasaannya menusuki daun-daun kering dengan sebilah kayu runcing yang panjang sehingga halaman yang sudah bersih disapu ibu akan selalu tampak bersih dari daun-daun kering yang singgah karena terbawa angin. Membatik adalah pekerjaan ibu setelah semua urusan rumah selesai dikerjakannya. Ibu tidak menyadari bahwa ada seorang pemuda yang sering naik kereta angin lewat di depan rumah dan melambatkan laju kereta angin untuk sekedar mencuri pandang pada ibu yang sedang tekun membatik lewat jendela yang terbuka. Sesekali ibu menengok ke luar jendela dan secara tidak sengaja bertatapan pandang dengan pemuda itu. Tidak ada sesuatu yang membekas di hati ibu karena tidak hanya pemuda itu saja yang lewat di jalan depan rumah. Hanya kalau yang lain tidak pernah melempar pandang ke jendela kamar depan yang terbuka, pemuda itu selalu saja bertautan pandang dengan ibu bila kebetulan ibu sedang melihat ke luar jendela. Seorang pemuda gagah dan tampan yang selalu kebetulan bertautan pandang, hanya beberapa detik sebelum lenyap terhalang kusen jendela. Ibu mengetahui pemuda itu ternyata seorang guru tatkala ia mendengar seseorang menyapanya dengan sebutan “pak Guru” saat berpapasan di depan rumah.
Beberapa waktu kemudian ibu mendengar pemuda itu menyapa kakek yang sedang menusuki daun-daun kering. Kakek menjawab sapaan itu sebagai basa-basi. Tidak lama setelah itu ibu mendengar pemuda tersebut sengaja menghentikan kereta-anginnya dan berbicara dengan kakek yang segera menghentikan pekerjaannya menusuki daun kering untuk melayani keramahan kenalan barunya itu. Setelah perkenalannya dengan kakek, setiap kali ibu bertautan pandang dengan pemuda itu lewat daun jendela yang terbuka, ia mulai mengangguk pada ibu dan tersenyum. Ibu selalu segera menarik pandangannya kembali ke lembar kain mori dan meneruskan membatik. Kalau kakek sedang berada di teras atau di halaman rumah, pemuda itu singgah barang sebentar untuk sekedar berbincang-bincang dengan kakek.
Sampai pada suatu hari tatkala ibu sedang di dapur, kakek menyuruh ibu membuat kopi dua cangkir dan teh satu cangkir untuk tamu. Ibu mengantar sendiri minuman itu ke ruang tamu, dan melihat salah seorang tamu itu adalah pemuda “pak Guru” yang sering bertautan pandang lewat jendela kamar. Tamu satunya lagi seorang laki-laki tua mengenakan jas tutup putih, kain batik dan blangkon di kepala. Ketampanan wajah masih tampak menggurat dalam usia yang sudah tua, dengan sorot mata tajam, hidung mancung, kumis melintang dancangklong di mulut. Ibu segera bergegas kembali masuk ke dalam rumah menyelesaikan pekerjaannya di dapur. Ketika kakek menyuruh ibu membawa masuk cangkir-cangkir setelah kedua tamunya pulang, secara sambil lalu kakek memberitahu tamunya itu bernama Ronodiwirjo, petani tambak dari desa Raci, Juwana, dengan anak laki-lakinya Soetapa, guru sekolah rakyat di Pati. Ibu mencuci cangkir-cangkir tanpa menanggapi pemberitahuan kakek itu. Beberapa hari kemudian pada suatu malam, kakek memberitahu ibu secara khusus bahwa kedatangan pak Ronodiwirjo mempunyai maksud meminang ibu untuk anak laki-lakinya, Soetapa, yang menjadi guru sekolah rakyat.
“ Bagaimana menurut kamu, nDuk?” tanya kakek, tetapi Ibu hanya menunduk saja dan tidak menjawab sama sekali Setelah menunggu beberapa menit Ibu belum juga menjawab, akhirnya kakek berujar:
“Engkau tidak menjawab nDuk, maka Bapak artikan engkau tidak berkeberatan menerima Soetapa sebagai calon suamimu”.
Kakek menunggu sebentar, tetapi Ibu tetap saja menunduk dan berdiam diri.
“ Minggu depan pak Ronodiwirjo berkunjung lagi kemari. Kalau perkiraan Bapak keliru, nDuk, sebaiknya engkau memberitahu Bapak. Fikirkanlah dulu matang-matang.” kata kakek sambil meninggalkan ibu.
Ibu tidak pernah memberi tahu kakek bahwa beliau berkeberatan, maka ketika pak Ronodiwirjo datang berkunjung kembali sendirian, kakek memberitahu bahwa pinangan Soetapa diterima. Ibu dan Bapak pun menikah beberapa lama kemudian setelah kunjungan pak Ronodiwirjo, petani tambak asal desa Raci Juwana itu, yang kemudian menjadi kakek saya.
Pernikahan orang tua saya membuahkan enam anak, tiga laki-laki dan tiga perempuan. Bapak kemudian dipindah ke Ungaran, sebuah kota kecil 20 kilometer dari Semarang ke arah Salatiga, yang berada di kaki gunung Ungaran. Saya lahir di kota itu pada tahun ketika Jepang masuk ke Indonesia, merupakan anak ke lima dan anak laki-laki yang ketiga, konon dalam kondisi phisik yang sangat rapuh. Bu Alwan – tetangga yang menjadi Bidan – menganjurkan agar ibu segera dibawa ke rumahsakit agar ia bisa merawatnya lebih baik. Untuk beberapa lama saya tergolek dalam kotak khusus, sementara ibu terbaring lemah di tempat tidur rumah sakit.
.
.