Konon pada suatu masa tersebutlah suatu negeri yang sangat besar yang dikenal sebagai Negeri Pecundang. Negeri ini terletak tidak di utara tidak juga di selatan, iklimnya adem ayem, tidak ada panas yang terlalu panas, tidak juga ada dingin yang terlalu dingin. Pokoknya sedang-sedang saja, tengah-tengah saja.
Rakyat negeri ini terdiri dari bermacam ragam tipe penghuninya, dari orang-orang yang terpaksa menjadi pecundang sampai yang dengan senang hati menjadi pecundang, dari yang benci menjadi pecundang sampai yang bangga sebagai pecundang, dari yang sadar dirinya pecundang sampai yang tidak sadar bahwa dialah yang paling pecundang. Tapi yang jelas semuanya merupakan penduduk negeri para pecundang.
Alam menganugrahkan negeri ini segala-galanya, hutan rimba maha lebat, hijau royo-royo, laut maha luas haru biru penuh ikan, tripang dan udang, tanah yang begitu gemah ripah subur plus bahan tambang yang terkandung di dalamnya. Sayang sekali saat ini anugrah alam itu sudah makin habis dan makin rusak. Sebagian karena salah urus, sebagian diambil dan kena tipu, sebagian dirampok dibawa kabur satu kontainer tiap dua jam dan sisanya karena dijual murah meriah.
Dipecundangi merupakan hal biasa di negeri ini, mulai dari karyawan, olahragawan, sopir, penjaga lapak, satpam, tentara, guru, seniman, loper koran, menteri, pejabat, anggota legislatif, eksekutif, yudikatif dan lain-lain sampai ke tenaga kerja yang bekerja di rumah atau pabrik-pabrik di luar negeri. Kata "kalah, takluk atau menyerah" sudah sangat familiar di telinga masyarakatnya, sedang kata "menang, sukses atau juara" sudah sangat langka terdengar.
Kedaulatan negeri ini senantiasa dirongrong oleh tetangganya yang kecil tetapi berani usil. Dari mulai mengambil kayu, karya cipta hasil seni, budaya sampai mencaplok pulau atau wilayah dia berani lakukan. Karena si tetangga tahu kalau negeri ini tak berbahaya. Besar tapi lemah, gede tapi loyo.
Pemimpin Negeri Pecundang ini dipilih langsung oleh rakyatnya, dia merupakan pecundang terbesar di negerinya bukan saja secara fisik tapi juga hati, perkataan dan perbuatannya. Banyak rakyat yang memilihnya menjadi pemimpin karena konon katanya karena dia adalah orang yang dizolimi.
Berhutang ke sana-sini merupakan kerja andalan sang pemimpin, tumpukan hutang yang tinggi menjulang (tak pernah lagi diungkit-ungkit) bukanlah hal yang memalukan, tapi merupakan sebuah gunung maha tinggi yang gagah perkasa yang dapat dibanggakan, bangga karena banyak utang. Sambil lempari recehan bantuan tunai, melihat rakyat yang rebutan merupakan pemandangan yang indah dan menyenangkan dari atas sini.
Mengikuti gaya dan kemauan Negeri Kulon merupakan hal lain yang dapat dibanggakan. Ayo buka pasar bebas, biarlah saling beradu saudagar dunia global dengan pedagang lokal yang amatiran. Saya tidak bedakan rambut hitam atau pirang!. Dan kemudian amblas, hampir tak ada sektor di negeri ini yang tidak dimainkan saudagar-saudagar ternama dari Negeri Kulon. Mulai dari komputer sampai warung kopi, dari dagang barang eceran sampai jasa bank dan asuransi. Kebanggaan pun terlihat di wajah-wajah rakyatnya sambil mengudap makanan kulon cepat saji lagi bergengsi.
Syahdan waktu pun berlalu, suatu saat sang pemimpin negeri harus dipilih lagi oleh rakyatnya untuk periode ke depan. Sang pemimpin mengajukan lagi dirinya, tapi kali ini dia tidak mau lagi berpasangan dengan wakilnya yang lama. Menurutnya gaya dan irama wakilnya itu kurang cocok dengannya, terutama dalam melaksanakan agenda dari Negeri Kulon yang dalam waktu ke depan ini makin banyak saja, karena negeri di kulon itu sedang sakit dan butuh suntikan dana segar.
Daripada agenda-agenda jadi kacau, lebih baik anda pilih wakil yang lain saja tapi jangan dari buto ijo fundamentalis kata pihak Negeri Kulon sambil menawarkan calon dari orang asuhannya yang dia yakini loyalitas dan integritas kepecundangannya selama ini. Sang pemimpin pun menyetujui.
Jangan khawatir pak, elektabilitas Bapak menjulang tinggi, saking tingginya sampai tidak masuk di akal. Berpasangan dengan sendal jepit pun Bapak menang, kata tim sukses sang pemimpin yang rata-rata adalah pecundang-pecudang intelek yang ke-kulon-kulonan.
Dan akhirnya dimulailah pertarungan itu. Untuk dapat dipilih lagi menurut tim sukses sang pemimpin cukup iklan dengan kata-kata puja-puji namanya saja, gak perlu banyak program-programlah. Salah satu di antara andalan iklan sang pemimpin ini adalah dengan menggunakan lagu sebuah produk makanan tak bergizi. Eh tapi ini efektif dan banyak disukai rakyat lho, kata sang pembuat yang mengaku kreatif dan tamatan luar negeri paling pecundang.
Dalam berkampanye, dengan menjiplak plak seluruh tata cara kampanye pemimpin Negara Kulon, kemudian dengan rasa optimis akan dipilih lagi oleh rakyatnya, sang pemimpin itu berkata-kata dengan gayanya yang pesimis, kita tidak boleh ngomong kalo kita lebih ini, kita lebih itu, takabur namanya, saya tidak mau janji-janji, semakin banyak janji, semakin susah untuk ditepati, jangan memberi angin surga kepada rakyat, biar saja saya dikeroyok, saya dikerjai, ada tangan Tuhan dan rakyat yang akan menolong dan rakyatnya kemudian bergemuruh, sorak sorai, bertepuk tangan, gegap gempita kegirangan menyambut ucapan sang pemimpi.
Tak banyak keraguan, he’s the man!, dialah favorit kebanyakan rakyatnya.
Apa lacur, pilihan rakyat negeri pecundang kini terus menuai badai, hempasan datang bertubi dari delapan penjuru angin. Rakyat menjadi gamang, inikah pemimpin yang kami pilih atau terpaksa kami pilih, atau dipaksa kami memilihnya. Begitu banyak ternyata para pecundang yang bergelayutan di punggung sang pemimpin.
Walau angin mulai tenang, tapi hati rakyat negeri pecundang tak berarti juga setenang air yang mengalir di Kali Malang, diam dan menghanyutkan.
Demikianlah secuil kisah tentang Negeri Pecundang yang tidak di utara, tidak di selatan.