Bulan Agustus 2011 adalah puasa ramadhan pertama saya di Swedia. Seperti yang sudah ditulis oleh rekan Kompasianer, Irma R.Priyadi dalam artikelnya, kali ini lamanya waktu puasa dimana tempat saya tinggal di Swedia adalah 18 jam 1). Atau 5 jam lebih lama dari puasa umat muslim di Indonesia.
Sebulan sebelum waktu ramadhan tiba, saya sempat diskusi dengan guru ngaji saya di Indonesia, bagaimana mengantisipasi waktu puasa bagi mereka yang tinggal di belahan bumi yang siangnya jauh lebih lama daripada malamnya.
Contoh ekstrim misalnya wilayah Kiruna, bagian paling utara Swedia (paling dekat dengan kutub utara) yang ketika musim panas, matahari hampir tidak pernah tenggelam.
Pada saat saya menulis artikel ini, di Kiruna waktu maghrib jatuh pada pukul 21.16 malam dan pukul 23.58 malam, fajar sudah menyingsing 2) . Artinya, kalau menurut akidah, ibadah puasa harus dilakukan dari pukul 23.58 malam hingga buka pukul 21.16 malam (21 jam berpuasa). Bukan main lamanya!
Saya dan guru ngaji saya berdiskusi tentang ini. Ternyata isu ini bukan masalah baru. Para ahli hukum islam sudah menetapkan beberapa perkara tentang ini. Referensi didapat dari hasil diskusi dengan ulama yang membidangi ruang tanya jawab SyariahOnline.
Majelis Majma` Al-Fiqh Al-Islami pada tanggal 4 Pebruari 1982 telah menerbitkan ketetapan tentang masalah ini 3). Inti dari ketetapan tersebut saya coba ambil intisarinya sebagai berikut:
Pertama: Untuk wilayah yang mengalami terang hampir 24 jam maka jadwal puasa dan shalat merujuk kepada wilayah yang terdekat dimana ada pergantian malam dan siang yang jelas
Kedua: Wilayah yang masih mengalami pergantian malam dan siang dalam satu hari, meski panjangnya siang sangat singkat sekali atau sebaliknya. Dalam kondisi ini, maka waktu puasa dan juga shalat tetap sesuai dengan aturan baku dalam syariat Islam:
“Makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai malam, janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri’tikaf dalam mesjid.” (QS. Al-Baqarah : 187)
Ada catatan dari ketetapan tersebut bahwa bila berdasarkan pengalaman berpuasa selama lebih dari 19 jam itu menimbulkan madharat, kelemahan dan membawa kepada penyakit maka dibolehkan untuk tidak puasa. Namun dengan kewajiban menggantinya di hari lain.
Disamping dari ketetapan diatas, perlu dicatat bahwa ada pendapat lain yang dikemukanan oleh Syeikh Dr. Mushthafa Az-Zarqo, bahwa di wilayah yang mengalami pergantian siang malan yang ekstrim, jadwal puasa dan shalatnya mengikuti jadwal yang ada di hijaz (Mekkah, Madinah dan sekitarnya). Karena wilayah ini dianggap tempat terbit dan muncul Islam sejak pertama kali. Lalu diambil waktu siang yang paling lama di wilayah itu untuk dijadikan patokan mereka yang ada di kutub utara dan selatan.
Dengan adanya panduan tersebut, saya merasa ada pegangan untuk menjalankan ibadah puasa di belahan bumi utara ini. Alhamdulillah, walaupun saya berpuasa selama 18 jam di musim panas ini, semuanya berjalan lancar. Tidak terasa lapar dan haus yang amat sangat, bahkan aktifitas rutin dapat terlaksana dengan baik asalkan mengikuti tatacara buka puasa dan sahur yang benar. Beberapa waktu lalu saya menulis di Kompasiana tentang resep menjalankan ibadah puasa agar tetap terlihat bugar 4). Resep ini juga sangat membantu saya menjalankan ibadah puasa dengan sebaik-baiknya.
Selamat menjalankan puasa dimana pun para pembaca yang budiman berada!
(Hari Priyadi)