ADAKAH jabatan yang lebih tinggi daripada presiden? Rupanya itulah sebab kerap ia, presiden, disebutkan sebagai orang nomor satu di sebuah negeri. Lalu kenapa direndahkan tone-nya dengan lebel tambahan guyonan? Itu tak lain karena yang menulis seorang pendagel: “Butet itu lucu melulu, baik main teater, monolog, maupun menulis. Nggak ada matinya,” Arswendo Atmowiloto, jurnalis, penulis skenario dan novel.
Jadi, tak perlulah serius amat dalam membaca buku ini? Tidak juga. Mengingat, ini kata budayawan Goenawan Mohammad: “Dengan gembira saya menemukan hal yang selama ini tak saya temui: seorang komedian – seseorang yang bisa memadukan antara kemampuan seni pertunjukan dan kemampuan memproduksi humor – menulis dengan menarik. Butet Kartaredjasa.”
Lalu, serangkaian tulisannya, Butet memberondong dengan caranya: entengan. Dengan tokoh Mas Celathu, ia bisa omong apa saja. Sebab, celathu bisa diidiomkan seseorang yang suka “nyeletuk”, menyambar omongan orang atawa membantah dengan cara ngeyel. Dan bukankah budaya ngeyel (dan kadang diplesetkan) begitu kental di Negeri Ngayogjokarto, di mana Butet sang penulis bermukim?
Maka menjadi menarik, dan berwarna. Antara humor (dagelan) sampai dengan yang sentilan-sentilan cerdas khas Raja Monolog yang satu ini. Tulisannya mulai dari Presiden – jabatan penting dan sakral itu di tangannya menjadi “cerdas” bagi yang membacanya seraya senyam-senyum, manggut-manggut dan setengah mengutuk: bajingan!
“Ketimbang tersinggung, mendingan tersungging” menjadi pas seperti yang ditulisnya dalam semacam kata pendahuluan buku ini. Jadi, tak perlulah serius-serius amat, tapi serius pun boleh asal tidak dengan kening berkernyit. “Saking hormatnya, setiap melihat para politisi berceloteh di televisi – entah iklan, talkshow, deklarasi, pidato, atau yang lainnya – Mas Celathu spontan segera berdiri dengan sikap sempurna, lalu telapak tangannya menyilang di jidat: “Hormat, grak!” (halaman 183).
Pada tulisan bertajuk “Berani Kalah”, Butet menyinggung cukup dalam: Spirit “berani kalah” inilah yang sekarang rada susah ditemukan. Entahlah, di mana sekarang sifat kesatriaan semacam itu bersembunyi. Atau sudah menghilang?”
Padahal, Butet memulai tulisan ini tentang keinginan anaknya yang ingin ikut kontes kecantikan. Dan ndagelnya, sang anak ragil itu, Jeng Genit yakin menang dalam acara kontes-kontesan. Merasa dirinya cantik. Padahal, menurut sang ayah Celathu itu hil yang mustahal: mengingat kecantikan kok diadu. Itu kan terlalu seleraistis dewan juri.
Tulisan-tulisan pendek yang menyembul di Koran Suara Merdeka ini, enak disimak ketika hari ini (22/7) ada muncul sebuah nama: Presiden. Ya, walau versi Butet digagas dan dinyatakan dalam sebuah acara kirab budaya di Jogja sebelum pilpres. Itu gaya dukungannya, yang di Jakarta ditunjukkan dengan Konser Salam 2 Jari. Victory. Apa itu Mas Celathu? Mbuh, yo. ***