Kemunculan situs-situs berita palsuyang terungkap tiga hari belakangan bagi saya hanya merupakan “mata rantai lain” dari bentuk aksi manipulasi opini publik. Karena media yang pembacanya banyak merupakan corong penggiringan opini yang paling efektif sejauh ini, serta keluwesan media sosial menghubungkan akses publik dengan tautan (link), ini ibarat membelokkan arus sungai saja ke arah yang diinginkan.
Mata rantai lain yang termasuk penggiringan opini publik lewat media sudah kita cecap lewat kabar “tentara siber” (cyber army) yang membenturkan kepentingan dua kubu politik, menunjuk hidung orang-per-orang maupun partai tertentu, beberapa minggu jelang Pemilihan Legislatif (9/4).
Kompasiana.com juga termasuk situs yang dipalsukan, sebenarnya cukup berlasan. Blog media warga terbesar di Indonesia ini memuat berita dan opini alternatif yang terkadang bisa menyalip validitas data media arus utama yang, belakangan ini di mata saya mulai kurang kreatif, dan lebih sering beropini dan memuat berita “kata pengamat”. Berturut-turut alternatifnya mencakup Twitter (via Chirpstory),Kaskus, Blogdetik, sampai Facebookyang agak “jadul” dijadikan corong penyebaran isu, opini, hingga fitnah.
Situs-situs dan media alternatif ini berkembang dijadikan kolam “kreatif” bagi mereka yang tahu cara memanfaatkannya, di samping yakin bahwa publik menengah ke atas mulai skeptis dengan independensi media arus utama. Dan memang, pada hari-hari ini mudah sekali menjadinewsmaker hanya mengandalkan ponsel pintar. Jika kita berusaha melihat polanya, tidak sulit untuk mengira bahwa ini sudah terjadi liar dan agak muskil jika disangkakan kepada satu pihak saja.
Kasus Bocornya surat rekomendasi DKP, Berita Palsu Polling Gallup, Obor Rakyat, tagar #TVOneMemangBeda, sampai artikel “Endorsing Jokowi” yang memaksa Jakarta Post mengambil risiko politik redaksionalnya. Semua isu yang berkaitan dengan pilpres belakangan ini mengalahkan berita apapun di media. Publik kemudian bertanya-tanya: mana yang benar, mana yang salah? Siapa pelaku, siapa korban?
Posisi media (dengan mengenyampingkan sejenak media sosial) di mata publik kini berada di pojok dan bukannya di tengah-tengah. Media juga kadang diposisikan bermain di ranah bawah permukaan ketimbang menunjukkan jatidiri asli mereka. Kasus TV One dan Metro TV jadi contoh paling mudah mengapa publik harus menghakimi media di posisi yang serbasalah.
Kalau Metro TV kesannya lebih elegan menjawab tudingan, TV One tak kuasa menahan penghakiman publik bahwa mereka selalu berbeda dan nyata disetir kepentingan politik pemiliknya. Dan ketika televisi (saja) belum tertolong dari tekanan ini-itu, apatah lagi situs-situs daring yang metode rekayasanya bisa beragam.
Apa-yang-disebut “kebobrokan penyelenggaraan penyiaran berita” sudah dibongkar di banyak dinding media sosial. Tuduhan paling serius mungkin bisa dibaca dari rangkaian twit @Kurawa (3/7/2014) yang di-chirpstory-kan oleh @dzahra27, menyebut bahwa ruang redaksi TV One selama pilpres sudah dikuasai oleh tim sukses kubu Prabowo-Hatta, lebih tidak berdaya ketimbang redaksi Metro TV yang masih melibatkan redaksi independen.
Agaknya tuduhan @Kurawa tersebut masuk akal, karena di mata publik lebih mudah mengenali barisan “orang cerdas” di belakang Metro TV seperti Putra Nababan, Suryopratomo, dan Najwa Shihab yang secara adil bisa dikatakan jurnalis berintegritas. TV One tidak punya banyak nama-nama seperti itu, kecuali sang pemimin redaksi Karni Ilyas yang sampai tulisan ini ditayangkan masih dalam status ‘cuti selama pilpres’ --keputusan yang mudah ditebak sebagai jalan mengamankan integritas pribadi jurnalistik. Di luar itu, mungkin juga pengungkapan ini sebagiannya bermuatan politis.
Meninggalkan televisi
Ribuan pelesetan dan cibiran lewat tagar #TVOneMemangBeda jadi pukulan telak bagi tim redaksi sekaligus redaksi televisi bernaung Grup Viva. Dari tuduhan proses produksi berita, hingga pelesetan dialog yang menyeretanchor dan kantor mereka ke isu berpotensi rusuh seperti Partai Komunis Indonesia adalah alarm bahwa media televisi tidak sekuat zaman awal reformasi.
Walaupun dalam prosesnya ini hanya jadi bumerang bisnis yang menyungging senyum geli rival mereka Metro TV, lebih luas lagi pretensi seperti ini sejatinya merupakan alarm bagi semua proses pemberitaan publik yang kita konsumsi sehari-hari. Secara sadar atau tidak, cara media televisi mengemas berita berkepentingan memang semakin cerdik --kalau tidak boleh dikatakan licik, memanfaatkan opini pengamat, insiden-insiden yang dibesar-besarkan, poling sesat, dan sebagainya.
Sadar atau tidak, kita diajak menyaksikan bahwa media televisi kita, dengan tendensi keberpihakan politik, menggali kuburan mereka sendiri. Hanya saja ada yang pakai cara cepat, ada yang perlahan-lahan. Ada yang pakai cara cerdik, ada yang gamblang dan nampak begitu naif. Kelak jika semua ketidakadilan media ini berlanjut, kita bisa ambil keputusan untuk meninggalkan jenis medium yang dianggap sudah melenceng dari tujuan awal kebebasannya pasca-reformasi. Dalam hal ini, televisi mungkin lebih dulu karena karakter dinamikanya memang lebih cepat dan persaingan bisnisnya lebih mematikan.
Profesor Eric Barendt dari University College, London pada 2002 pernah menyinggung soal dilema yang dihadapi televisi di tengah-tengah peperangan berita politik. Dalam artikelnya di jurnal The Political Quarterly ia menulis,
“(Berbeda dengan koran).., Televisi dan radio diwajibkan tunduk pada hukum ketika mereka mencoba-coba memelintir berita untuk kepentingan pihak tertentu. Mereka tidak bisa menggunakan editorial untuk meyakinkan publik bahwa pendapat redaksi mereka berada di ruang berbeda dengan isi berita (yang tendensius).”
Untuk memahami ini, kiranya apa yang menimpa The Jakarta Post setelah editorial “Endorsing Jokowi” terbit bisa dijadikan contoh. Banyak pihak yang kecewa, dengan mengira bahwa independensi koran berbahasa Inggris itu sama halnya dengan Metro TV dan TV One yang terang-terangan menyokong kubu politik tertentu. Termasuk Prabowo sendiri, yang rupanya tidak paham bahwa suara editorial koran begitu terlindungi sementara di televisi semua berita kelihatannya sama.
Keputusan The Jakarta Postmenyokong Jokowi lewat editorial mereka bisa dipelajari sebagai bagian dari kebebasan jurnalistik, dan kecerdasan penyajian opini. Akan tetapi ketika televisi (katakanlah, Metro TV) berniat melakukan hal yang sama, ruangnya sempit sekali. Di samping itu, televisi harus tunduk di bawah Undang-Undang Penyiaran Publik yang membenturkan mereka dengan batasan penyelarasan isi program dengan frekuensi publik. Sayangnya, publik lanjur menghakimi bahwa ketika televisi sudah busuk, kemungkinan hal sama terjadi di koran. Ini masih bisa diperdebatkan lagi.
Pisau tumpul
Dalam pengamatan saya, keteledoran penyajian berita media utama bisa mengecer ekses dalam jangka panjang. Ketika pengguna media sosial meningkat dan sejajar dengan pertumbuhan kelas tengah dan kalangan terdidik, tidak banyak ruang bagi media sekelas televisi dan koran untuk berbuat curang kemudian berharap publik akan tergiring begitu mudahnya. Twitter, Facebook,Instagram, Chirpstory, dan tradisi-tradisi media baru telah menarik garis lurus bahwa di mata publik, ada hal-hal yang benar-benar serius dan ada yang bisa dianggap berita komedi belaka.
Situs-situs berita palsu pada akhirnya akan bernasib sama dengan televisi, menjadi bahan cibiran dan ditertawakan. Publik juga semakin sulit dibodohi hanya dengan pelintiran berita pengamat atau dialog pakar yang jelas diarahkan sebagai endorsement untuk kubu politik tertentu. Psikologi politik telah menyentuh pemahaman publik bahwa di mata mereka, media tidak lebihnya pisau yang “tumpul ke bawah”.
Jika meja redaksi atau tim produksi tidak peka memprediksi ini, dalam waktu tidak relatif lama segala macam cara penggiringan/penyesatan opini publik (untuk kepentingan apapun) hanya akan “tajam ke atas”. Sudah banyak contoh dialami TV One, MNC Group, sampai Inilahdotcom. Cara-cara politik yang mereka pakai hanya jadi senjata konyol bagi kejatuhan saham-saham mereka sendiri.
Jean Seaton dari University of Westminster telah memprediksi bahwa di masa depan, publik semakin menganggap berita-berita media adalah hiburan semata (2002, The Political Quarterly), meninggalkan keberhasilan media menjadi alat propaganda di tahun-tahun 1970-an hingga 1980-an.Bahwa ke depannya, media akan lebih banyak bergelut melawan kecerdasan manusia, tekanan pasar, dan skeptisme publik yang seharusnya jadi karakter jurnalisme mereka.
Hingga pada akhirnya, agaknya juga naif jika terlalu mengharapkan kalangan jurnalis menjadi para penjaga pilar demokrasi.
-----------------------------
.
.