Beberapa waktu yang lalu saya membaca sebuah postingan di facebook yang menayangkan kicauan Prof. Sahetapy dalam menaggapi isu PKI yang dihembuskan kader PKS pada PDI-P. Jujur saja, saya sendiri kurang begitu yakin apakah akun tersebut benar-benar asli atau hanya oknum yang mengatas-namakan beliau (mengingat usia beliau yang cukup senja). Tapi saya akui, kicauan tersebut benar-benar akurat. Saya katakan demikian karena sebelum ini saya juga sudah cukup lama mengenal gerakan ‘kiri’ Indonesia tersebut.
Menengok jauh ke belakang, kita akan banyak menemukan peristiwa bersejarah yang terjadi dalam panggung politik nasional. Sejak kemerdekaan tahun 1945 hingga sekitar tahun ‘60an gesekan antar partai politik di Indonesia cukup kental. Latar belakang ideologi menjadi pemicu utama dimana masing-masing parpol ingin membawa bangsa ini ke arah yang dikehendakinya. Secara garis besar, dapat kita gambarkan kekuatan politik saat itu terbagi dalam tiga arus utama, sosialisme, islamisme, dan nasionalisme. Masing-masing parta ingin menyelenggarakan pemerintahan dengan cara yang mereka yakini akan membawa bangsa Indonesia ke arah yang lebih baik. Demi mewujudkannya, setiap partai harus memiliki basis massa (pendukung) yang besar sebagai simbol legitimasi kekuatan mereka. Untuk itu, berbagai upaya kampanye (baca: propaganda) harus dilakukan. Dalam hal ini (propaganda), kita mengenal cukup banyak bentuk atau warna.
Propaganda secara sempit dapat kita artikan sebagai upaya untuk membuat seseorang atau banyak orang (sasaran) melakukan apa yang kita inginkan. Secara harfiah, propaganda memiliki perbedaan dengan agitasi dimana cara ini memanfaatkan kesadaran (pikiran) target dan membangunkan sebuah persepsi seperti yang kita inginkan dalam pikirannya. Sedangkan agitasi dilakukan melalui pendekatan emosional yang tentunya memakan waktu yang lebih lama untuk mencapai tahap membangun persepsi dalam kesadaran target. Biasanya, agitasi digunakan untuk merangkul ‘target khusus’. Propaganda secara sederhana dapat kita rangkum dalam white prop, grey prop, dan black prop.
Pada masa Orde Lama, salah satu partai yang sering melakukan propaganda secara agresif adalah PKI. Partai ini memang secara menarik telah menjadi legenda dalam panggung politik nasional. PKI memiliki basis massa yang besar, militan, berpendidikan, dan memiliki cara pengkaderan yang cukup ketat. Konon, seorang pengurus pusat komite (CC PKI) tidak akan menempati jabatan itu tanpa melalui 5 tahun aktivitas di Ormas Pelajar/Mahasiswa/Pemuda, 5 tahun ativitas di Ormas Buruh/Tani, dan 5 tahun menjadi pengurus daerah. Jadi, dapat kita bayangkan betapa terorganisirnya partai ini. Sistem pengkaderan semacam ini juga telah melahirkan banyak tokoh penting yang peranannya dalam masa kemerdekaan dikaburkan. Bahkan beberapa referensi menyebutkan, jika Soekarno ditanya mengenai orator yang lebih hebat dari beliau, nama Muso akan disebut setelah H.O.S. Tjokroaminoto.
Propaganda atau kampanye yang dilakukan PKI cukup bervariasi. Mereka menampilkan profil partai sebagai partai yang memihak rakyat kecil melalui program-program seperti land reform dan pupuk murah. Di lain pihak, mereka juga melakukan propaganda hitam dengan menyebarkan fitnah kepada tokoh-tokoh lawan politik dan penentang ideologi komunisme. Tidak cukup sampau di situ, mereka senantiasa menciptakan dan memelihara gejolak masyarakat sebagai upaya menciptakan situasi konflik yang memungkinkan terjadinya revolusi secara menyeluruh. Bagi mereka, revolusi belum tuntas hingga tatanan masyarakat komunis dapat tercipta, sebuah masyarakat tanpa kelas dan tanpa penindasan (cukup ironis melihat upaya kotor yang dilakukan demi sebuah tujuan mulia). Seperti halnya yang terjadi di China dan Soviet, tatanan baru yang mereka impikan harus melalui jalan menghancurkan tatanan lama. Tidak peduli sistem, infrastruktur, atau bahkan manusia. Oleh karena itu, disamping melakukan propaganda, mereka juga melakukan provokasi.
Kembali ke masa sekarang. Kita dapat melihat PKS memiliki beberapa strategi yang mirip dengan PKI di masa Orde Lama. Mereka memiliki sistem pengkaderan melalui ormas-ormas seperti KAMMI hingga majlis Tarbiyah. Rekrutmen yang mereka lalukan pada anggota baru menggunakan pendekatan emosional seperti metode agitasi yang saya sebut di atas. Sejauh ini, cara ini cukup efektif untuk menjaring massa karena tidak ada parpol lain yang masih mengikuti cara seperti ini. Hal ini cukup menjadi penjelasan stabilitas perolehan suara mereka setiap kali pemilu digelar. Persentase pemilih PKS yang menurun tahun ini lebih banyak berasal dariswing voters, simpatisan bukan kader, pemilih ikut-ikutan, atau mungkin juga ‘korban serangan fajar’.
Pada pemilu sebelumnya, propaganda yang dilakukan PKS lebih banyak bersifat ‘putih’. Merka aktif dalam penanganan masalah sosial, kecepatan respon saat bencana alam, hingga menampilkan figur-figur berperawakan alim dan berwibawa (kening hitam, jenggot panjang, celana kekecilan). Kader mereka juga belum banyak yang tersangkut kasus kriminal. Sehingga, mungkin mereka masih merasa belum perlu atau memang watu itu belum waktu yang tepat untuk melakukan tndakan yang lebih agresif. Mereka menunggu untuk menggunakan strategi tersebut di saat yang tepat. Seperti pilpres tahun 2014.
Ketika pemilu legislatif, PKS belum banyak ‘berulah’. Mereka sadar, memanaskan suasana saat masing-masing parpol sibuk dengan dirinya sendiri (tanpa kawan atau lawan koalisi) dapat membuat posisi mereka terpinggirkan di antara parpol lain. Mereka akhrinya mendapatkan momen tersebut saat Jokowi dicalonkan PDI-P menjadi presiden. Seakan kalap, segala propaganda hitam dihujamkan bahkan sebelum masa kampanye berlangsung. Hadirnya Jokowi memberikan mereka semangat yang berlipat dalam melakukan propaganda hitam. Entah apa yang terjadi di masa lalu antara mereka. Namun, beberapa sumber mengatakan bahwa kebencian PKS pada Jokowi ‘hanya’ karena sakit hati ditolak untuk masuk koalisi PDIP-Gerindra pada pilgub DKI. Kabarnya, mereka meminta jatah 3 kepala dinas untuk kader PKS sebagai syarat dukungan.
Kita tentu tahu bahwa PKS merupakan salah satu parpol yang mendukung pemberlakuan UU Syari’ah di Indonesia. Mereka juga memiliki pandangan sempit dan eksklusif mengenai ajaran Islam. Bagi mereka, aqidah PKS adalah yang paling benar, yang paling murni, yang paling hakiki. Mereka tidak memiliki toleransi terhadap perbedaan pendapat. Bahkan, kader mereka banyak yang menyuarakan anti-pluralisme. Sifat eksklusif ini menyerupai doktrin filsafat Marxisme-Leninisme yang diusung PKI pada masanya. Bahkan, perbedaan pendapat dengan sesama Marxis pun tidak mereka terima jika tidak sejalan dengan landasan perjuangan partai. Contohnya dapat kita lihat pada perjuangan Tan Malaka yang keluar dari PKI dan mendirikan Partai Murba.
Menjadi kekhawatiran tersendiri apabila memang PKS sengaja menciptakan konflik seperti halnya PKI untuk mengambil keuntugan dari chaos. Akhir-akhir ini, fitnah semakin banyak menyebar. Ketegangan pasca pilpres bahkan tak kunjung mereda. Propaganda hitam masih digunakan untuk menyerang pihak lawan. Namun, satu hal yang jelas berbeda antara PKS dan PKI dalam hal black prop. PKI tidak menciptakan konflik sebagai pihak ketiga, namun mereka benar-benar secara jantan menampakkan muka. PKS berbeda, mereka berusaha menciptakan ketegangan antara NU-Syi’ah, Prabowo-Jokowi, Islam-Nasrani, tanpa pernah menampakkan muka sebagai penantang duel. Mungkin harapan mereka, bangsa ini akan saling bunuh hingga tak bersisa kecuali mereka. Alhamdulillah, bagsa kita tidak sekerdil pikiran mereka.
Kalau Prof. Sahetapy mengatakan PKS lebih mirip PKI daripada PDIP, maka saya katakan dengan jelas bahwa PKI masih terlalu mulia sebagai sebuah analogi PKS.
HTI: Murba Masa Kini
Kisah perpecahan elit PKI dengan Tan Malaka sebenarnya terjadi cukup lama. Mereka berbeda pendapat mengenai kesiapan bangsa Indonesia menjalankan revolusi. Tan Malaka berpendapat, revolusi tidak perlu dipaksakan karena akan terjadi sendiri ketika telah tiba waktunya. Namun, para pimpinan PKI yang lain tidak setuju dan memulai pergolakan nasional di sekitar tahun 1926. Tan Malaka sendiri tidak ikut bergabung dan memilih untuk ‘berpetualang’. Dia merupakan seorang pemikir yang idealis dan dianggap paling mampu menggambarkan kondisi masyarakat Indonesia dalam kacamata Marxisme. Pemikirannya sebagai Marxis non-Lenninis lebih menekankan pada peoplepower sebagai faktor terpenting terjadinya perubahan (revolusi). Strategi ini dapat kita lihat dengan jelas sedang diusung oleh HTI.
Menampakkan diri sebagai organisasi keagamaan, HTI sebagai gerakan politik non-parlemen secara gamblang menyebut tujuan mereka adalah pendirian Khilafah. Mereka secara terbuka menyampaikan penolakan terhadap sistem demokrasi dalam penyelenggaraan negara. Bagi mereka, sistem pemerintahan manusia tidak berarti dibandingkan sistem yang bersumber dari ajaran Tuhan. Istilah analogisnya, mereka parasit demokrasi. Berbeda dengan PKS yang lebih memilih cara instan melalui parlemen, perjuangan mereka mendirikan Khilafah benar-benar dititik-beratkan pada kekuatan massa. Mereka hanya menunggu momen yang tepat saat kekuatan massa mereka dirasa cukup untuk menggulingkan demokrasi. Cara yang terlihat mirip dengan keyakinan Tan Malaka mengenai masyarakat soasialis. Meski demikian, keduanya bukanlah partai yang memiliki banyak kesamaan di luar hal tersebut.
PKS dan HTI sejatinya berasl dari akar gerakan yang sama. Perbedaan pandangan pendiri Hizbut Tahrir Internasional dan Ihwanul Muslimin akan pengakuan sebuah negara sekuler menjadi jurang pemisah. Namun, metode mereka dalam mengorganisir anggota masih sama. Keduanya juga sama-sama melakukan ‘ekspansi’ ke wilayah-wilayah lain demi memperluas pengaruh dan, bagi HTI, menyiapkan pendirian Khilafah Islamiyah tunggal. Banyak orang tidak mengetahui perbedaan PKS dan HTI. Hal ini cukup wajar, mengingat tampilan fisik mereka tidak jauh berbeda. Di sisi lain, aktifitas takfir (mengkafirkan) antar kedua kader juga terjadi secara tajam. Mereka saling menghujat, mengkafirkan, mengklaim kebenaran, dan sama-sama melakukan propaganda hitam.
Kita sebagai bangsa Indonesia hanya berharap pada masa depan yang lebih baik. Masa depan dimana semua golongan, warna kulit, suku, ras, dan penganut agama yang beragam dapat hidup dengan rukun dan damai. Semoga....
.
.