Kaharingan, Agama Lokal Yang Kalah Dari Baha'i
31 Jul 2014 | 09:12
Di sela makan malam di satu warung lesehan bersama seorang teman lama, tercetus dari teman itu tentang agama Baha'i. Teman ini setahu saya selalu antusias jika bicara tentang berbagai agama. Tapi terhadap agama Baha'i ini, ia tampaknya belum tahu banyak, sehingga ia melontarkan beberapa pertanyaan yang agak sulit saya jawab.
Sebetulnya masalah agama Baha'i ini saya sudah cukup lama mengetahuinya. Yang membuat saya terkejut ketika membaca sejumlah berita di situs berita; Menteri Agama RI, Lukman Hakim Syaifuddin mengakui secara resmi agama tersebut dikarenakan adanya para penganutnya di Indonesia.
Sebanyak yang saya ketahui, agama Baha'i ini muncul di Iran pada abad ke 19, dicetuskan oleh Baha'ullah yang namanya dinisbatkan kepada agama tersebut.
Pada tahun 1844 Sayyid Alí Muhammad dari Shiraz, Iran, yang lebih dikenal dengan gelarnya Sang Bab (bahasa Arab; puntu), mengumumkan bahwa dia adalah pembawa amanat baru dari Tuhan. Dia juga menyatakan bahwa dia datang untuk membuka jalan bagi wahyu yang lebih besar lagi, yang disebutnya “Dia yang akan Tuhan wujudkan”. Antara lain, Sang Bab mengajarkan bahwa banyak tanda dan peristiwa yang ada dalam Kitab-kitab suci harus dimengerti dalam arti kias, bukan arti harfiah. Dia melarang perbudakan, juga melarang perkawinan sementara, yang pada waktu itu merupakan praktek Syiah Iran.
Agama Baha'i ini diperkirakan memiliki penganut lebih dari 5 juta orang yang tersebar di lebih 200 negara di dunia.
Itulah sekilas tentang agama Baha'i. Silakan para pembaca yang penasaran untuk mencarinya melalui search engine di dunia maya. Yang saya akan bahas adalah, perbincangan saya dengan teman lama yang masih ada kaitannya dengan berbagai agama.
"Jika agama Baha'i bisa diakui sebagai agama di Indonesia, kenapa agama Yahudi tidak ?" pancing teman saya.
"Entahlah. Kemungkinan Yahudi tak diakui sebagai agama di Indonesia dikarenakan agama tersebut identik dengan kekerasan, zionisme, kelicikan, pengkhianatan, dan sebagainya yang sangat dibenci oleh mayoritas umat Islam di Indonesia," jawabku sekenanya.
"Jika menilik dari sejarah munculnya agama Baha'i menurut yang kamu ceritakan tadi, agama Baha'i ini sudah jelas agama buatan manusia, sama sekali bukan agama langit seperti halnya agama Ibrahimik; Yahudi, Nasrani dan Islam. Berarti agama Yahudi lebih berhak untuk diakui daripada agama Baha'i," simpul teman saya itu.
Mendengar kesimpulan sederhana dari teman itu, saya cuma bisa menganggukkan kepala.
Ia kembali melanjutkan, jika Pemerintah yang dalam hal ini diwakili oleh Menteri Agama mengakui agama Baha'i, semestinya juga mengakui kepercayaan asli etnis Dayak; Kaharingan sebagai agama resmi.
Dari berbagai sumber mengungkap, Kaharingan ini telah dianut oleh etnis Dayak di Pulau Kalimantan sebelum masuknya agama-agama lain. Ironisnya agama Kaharingan ini digolongkan masuk dalam agama Hindu, sebelum kemudian bernama agama Hindu Kaharingan.
Penganut agama asli etnis Dayak ini diketahui pada 2007 menurut statistik Pemprop Kalimantan Tengah, dianut oleh sekitar seperempat juta orang.
Agama Kaharingan ini tak diragukan lagi sebagai agama asli etnis pribumi Kalimantan. Meski berbagai sumber menyebut agama Hindu sebagai agama tertua di Kalimantan, tak menutup kemungkinan Kaharingan justru telah ada dan dianut sebelum agama Hindu dibawa dari India.
Jika Pemerintah negeri ini ingin mewujudkan butir sila "keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia", yang juga terkait dengan butir sila "KeTuhanan yang Maha Esa", maka mesti mengakomodir dan mengakui segala kepercayaan ataupun agama apapun yang dianut oleh rakyatnya. Demokratisasi mesti berlaku di segala lini, termasuk bidang kepercayaan dan agama.
Bila Pemerintah dengan mudah mengakui secara resmi agama 'impor', kenapa mesti sulit mengakui yang produk lokal ?
.
.