sejatinya ini adalah sambungan post sebelumnya. jika disebut empang itu berarti telaga. ingat.... TELAGA.....
(empang empang empang empang..... sekali empang tetep empang)
akupun melonjorkan kakiku. kubuka khaki yang baru seminggu kubeli. takut kotor sodara-sodara. makanya aku bawa boxer. mudah-mudahan ngga ada yang ngintip saat aku pakai boxer.
(hueek....... kisut gitu aja dipamerin. bujang lapuk dengan perkutuk tengik yang busuk menggantung)
.
.
begini ceritanya......
.
.
kung... kung... grok... grok...
kung... kung... grok... grok...
dan orkestra pun dimulai.
.
.
grok... grok... kung... kung...
grok... grok... kung... kung...
dua irama yang terus berulang. menentramkan jiwa hampa ini yang tiap hari hanya kerja. kerja. kerja. kerja. entah untuk apa. entah untuk siapa. entah sampai dimana. sampai kapan. entahlah.
.
.
kung... kung.... grok... grok....
kung... kung.... grok... grok....
.
.
kung... kung.... gwek... gwek...
.
.
hening. lalu hening. ada apa gerangan? rupanya ada satu kodok bersuara parau. tak mengikuti irama simfoni. mengacaukan kesyahduan tepi senja.
sang pemimpin memberi isyarat.....
.
.
kung.... kung.... gwek.... gwek....
.
.
tahulah kini siapa si pemilik suara sumbang, parau dan galau.....
lalu tanpa isyarat kedua, semua kodok langsung membantai si suara parau hingga mati. mati. mati untuk kedua atau ketiga atau keempat kalinya.
bangkainya mengapung ke tepi telaga (empang bagimu).
.
.
dan orkestra pun dimulai lagi. kali ini lebih ceria. lebih membahana. lebih penuh sukacita.
.
.
dari tepi telaga, suara parau lainnya siap mengguncang dunia.