Ada pertanyaan menarik
dari Isjet, saat kami duduk berdampingan menyaksikan final Stand Up Comedy
Indonesia di Theater Tanah Air, TMII. Saat itu Isjet menanyakan perbedaan dari
lawak, humor, lelucon, komedi serta perbedaan dari pelaku pecinta tawa tersebut
dari pelawak, badut, komedian serta comic?
Memang harus diakui,
pertanyaan dadakan tersebut sangat sulit untuk dijawab apalagi saat itu sedang
tidak membawa kamus besar Bahasa Indonesia yang biasa kujadikan rujukan arti sebuah
kata kalimat. Namun, secara intuisi bisa kujawab (dalam hati) jika dari semua
pembentukan istilah baru itu merujuk pada peng-kasta-an pada pelaku dan
panggung dunia tawa di Indonesia. Comedy dan Comic rencananya diposisikan
sebagai kelas dan kasta tertingginya.
Untuk sementara waktu,
aku cukup mengamininya. Para finalis SUCI sesi pertama cukup mengejutkan dan
benar-benar memberikan warna baru. Ada Ryan yang bergaya gaul bak mahasiswa, Mo
Sidik yang penuh aura tawa, Akbar yang kritis, Wisben si jago Sulap yang kocak
dan filosofis dan beberapa nama lain yang secara kualias bahkan mampu
mengalahkan host acara tersebut sendiri yaitu Panji dan Raditya Dika.
Bahkan ide jenius sulap
kocak Wisben mendadak terbajak entah sengaja atau tidak oleh stasiun TV lain
(TransTV) dengan acara Magic Comedy-nya. Sedangkan Wisben hanya gigit jari
tidak mampu menampilkan banyak atraksinya karena acara talkshow Kelakar di
KompasTV bersama Akbar tidak banyak waktu atau kesempatan untuk unjuk
kebolehannya.
Besar harapan untuk mendapatkan
kejutan dan hiburan yang berbeda pada finalis SUCI 2 yang pada kali ini saya
kembali mendapatkan kesempatan untuk menyaksikan langsung behind the scene di
markas mimin-momod Kaskus, Menara Palma Kuningan. Sayang seribu sayang, apa
yang didapatkan jauh dari yang diharapkan. Konsep ‘high class’ dengan
penggunaan kata berbahasa Inggris seperti ‘Stand Up Comedy’ dan ‘Comic’ sama
sekali tidak terlihat dari acara yang digelar hari Sabtu (08/04) itu.
Entah mungkin di
sebabkan acara tersebut hanya dianggap sebagai acara ‘pemanasan’ para comic
sebelum acara final sesungguhnya hingga membuat para comic tampil ala kadarnya
(kalau tidak mau disebut asal-asalan) atau memang pihak tim kreatif acara
tersebut sudah terpaku dengan konsep baku stand up comedy yang dibawa Raditya
Dika saat mengikuti kursus pendek stand up-nya semasa kuliah di Australia
hingga takut untuk mendobrak pakem standar ala Radit?
Padahal, beberapa tema
comic sangat menjanjikan seperti Ari Wibowo sang pengacara yang mencoba
mengulas kekocakan dari sudut pandang hukum beserta pasal-pasalnya. Walau
sebenarnya hal ini pernah diangkat Doyok dalam acara Ketoprak Humor, namun jika
yang mengangkat hal tersebut adalah ahlinya tentu akan tampil lebih sempurna.
Atau Imot, comic asal Yogya yang mencoba mengambil tema BadBoys Jogya dimana
memang di Yogya sempat muncul adanya gank Qsruh dan Joxin yang sangat terkenal
dan bubar setelah diomelin Sri Sultan HBX.
Sayang, tema dan materi
yang menarik tersebut rusak, salah satunya oleh pemakaian kostum yang disetting
oleh tim kreatif yang malah menurunkan ‘kasta’ Stand Up Comedy itu sendiri. Pakaian dipaksakan di kocak-kocakan dan
lucu, tak berbeda jauh dengan kontes pelawak di stasiun telivisi lainnya
beberapa tahun yang lalu. Nah, kalau sudah begitu apa bedanya comic dan
pelawak?
Belum lagi gaya dan
ritme puchline-nya ketebak sekali, kemungkinan tim kreatif atau comicnya
bermain aman agar kelak tidak terlalu dikritik juri saat tampil di finalnya.
Kalau boleh jujur, para comic ini dipaksa menghilangkan jati dirinya. Bisa
dibilang, semua tema tampak seperti dejavu. Sepertinya kayak banyolan lama
saja.
Padahal menurut saya
pribadi, sesuatu yang lucu akan menjadi tidak lucu saat diulang kedua kali.
Kecuali hal lucu itu mampu di repacking dan atmosfir panggung mampu diolahnya
menjadi tetap lucu, tak berbeda dengan mas Tukul Arwana yang sukses dengan
EAAA-EAAAA-nya.
Jangan heran, selama
acara beberapa Kompasianer dan Kaskuser yang hadir tampak mencoba menahan
ngantuk dan menguapnya. Bahkan kompasianer sebelah sayapun dengan jujur
mengatakan, kalau saja posisinya duduknya tidak tepat berhadapan dengan para
comic, tentu dia sudah tertidur pulas di samping istrinya yang kebetulan juga
hadir menemaninya.
Walau aku tidak
mengantuk, namun kekecewaan hadirnya sesuatu yang baru pupus hingga acara itu
berakhir. Bayangan adanya tukang gambar ala Pak Tino Sidin versi comic atau
dancer kocak tinggal bayang-bayang saja. Rasanya, jika acara tersebut adalah
berupa tulisan dalam blog kompasiana, tentu langsung aku rating ‘MENGECEWAKAN’.
Yah, semoga saja semua
kekecewaan ini agar terbayar pada hari Rabu, 11 April 2012 besok di Gedung
Usmar Ismail, Kuningan. Semoga (lagi), tim kreatif dan para comic sudah
menemukan form dan setting yang unik dan mampu menghibur seluruh rakyat
Indonesia yang sedang letih dengan segala tetek bengek dan tetak benerannya
kerumitan ekonomi dan politik yang tidak henti-henti. Hingga beberapa hari
kemudian, aku jadi tidak sungkan untuk memberi rating ‘AKTUAL’ kepada mereka.