Buat apa kau sengaja berdoa di bukit Tursina? Tuhan takkan mendengar.
Buktinya aku tetap lelaki tak setia. Ke Golgota pun sama hasilnya. Meski kau
lari bolak balik Safa Marwa, Tuhan masih tuli untuk kesekian kali. Percuma
saja, tak ada sejarahnya Tuhan mengabulkan doa perempuan. Bagaimana kalau kau
tunjukkan padaku bintangmu. Lalu aku tebak peruntungan cintamu dan kau berpura
sumringah seperti para remaja. Bukankah sandiwara itu lebih baik. Sekedar
membuang jauh gambaran suram kisahmu yang kerap hadir dengan ribuan cermin.
Seperti bintang yang gampang jatuh. Begitu juga
cintaku. Tiada yang abadi di dunia ini, Sayang. Di balik langit sana ada
ratusan bidadari. Kalau aku selingkuh dengan mereka, bukankah cinta kita telah
sirna? Tetapi kau selalu menggenggam waktu seolah takkan mengubah kenangan.
Kelak di atas sana kau temukan pangeran tampan berkuda putih yang menghadiahimu
sepatu kaca. Pasti kau melupakanku dan asik bercumbu. Betapa beruntungnya
dirimu karena aku takkan gelap mata. Gerhana telah menungguku dengan tarian
bidadari sempoyongan. Jangan cemburu seperti itu padaku. Cantik atau jelek kau
tak jauh berbeda dengan mereka. Setidaknya saat aku buta.
Kau takkan mampu menghentikan waktu saat warna warni
senja berpaling darimu. Seperti kelamnya malam. Terkadang ramai ditaburi
bintang. Terkadang sunyi dan membosankan. Bintang-bintang tetap bersinar karena
sejatinya langit berlubang. Seperti lubang kelinci atau cacing barangkali.
Tergantung seberapa jauh kau pandangi. Menurutmu Tuhan sedang melempar berlian
tatkala hujan? Atau cuma ingin membuat badanmu menggigil? Saat itu aku akan
memelukmu dan memberikan kehangatan. Lalu kau termakan ide kolektif bahwa cinta
benar-benar ada. Tetapi kucoba menganggap dirimu tiada. Akan kutanyakan padamu
bagaimana kita mengukir cerita cinta?
Aku menganggap kedipan bintang ibarat genting rumah
kita yang bocor. Seringkali membuatku paranoid apabila kita sedang bercinta.
Siapa tau ada yang
iseng mengintip. Bayangkan suatu ketika gravitasi tak mampu menahan kita
berdiri, kemudian tubuh kita terhisap ke dalam lubang itu. Kira-kira di manakah
kita berada. Apa gravitasi tetap menyanggah cinta kita? Aku rasa tidak,
meskipun kerap kau katakan cinta ini abadi. Namun, yang kita butuhkan sekarang
bukan cinta. Jangan bicara soal cinta dan moral. Bukan pula ide besar tentang
keadilan. Sebab kita masih lapar. Ya, kita orang yang lapar. Karenanya malam
ini aku akan mencuri untukmu. Untuk benih yang kutanam dalam dirimu. Kau harus
merelakanku.
Izinkan aku mencuri, Sayang. Malam ini kuendapkan
langkah menghindari sinaran bintang. Di ujung mataku nampak sangat jelas
kerumunan manusia yang tengah mengerubungi sebuah gudang penimbunan. Mereka
membiarkan truk-truk besar keluar masuk dan menurunkan muatan. Puluhan tong
digelindingkan. Aku tahu mereka sedang menyelundupkan minyak. Kalau saja salah
satunya bisa kucuri, pasti esok hari kita takkan kelaparan. Seragam mereka
beragam. Ada seragam coklat, putih, biru, merah, kuning. Ada yang berpeci,
berjas, atau bersafari. Rupanya mereka sama tergiurnya denganku yang menyelinap
dengan kaki telanjang. Sempat hatiku meragu. Sekali lagi aku berdoa dalam hati
sekaligus meminta izinmu. Namun, walaupun kau tak mengizinkan, tetap akan
kulakukan.
Di sana rezeki kita menunggu. Tak urung lagi niatku
sangat ingin meraihnya. Supaya isi tong itu bisa kujual lagi secara eceran di
pinggir jalan dengan harga tinggi. Menghidupi hidup kita di dunia yang
serakah. Toh mereka
juga mencuri. Makanya kuringankan dosa mereka. Ada baiknya takkan kuberitahu
dari mana asal barang itu agar kau tak cerewet sesampainya aku di rumah.
Lagipula Persetan dengan dosa. Tentunya mereka takkan mau bersedekah kepadaku.
Dan sudah kukatakan kalau aku bukan suami akhiratmu. Bagiku itu cuma dongeng.
Kita tak lagi hidup di masa romantisisme berjaya. Kalaupun masih zaman, biarkan
pencurian ini sebagai bukti tanda cintaku. Atau sekedar nasibku yang harus
mengurusimu. Takkan kubiarkan kau mati bersama ragamu yang berbadan dua itu.
Kudengar suasana di kota teramat parah. Kerusuhan
terjadi silih berganti. Di jalanan dan juga di perkantoran. Orang biasa sampai
yang diistimewakan. Semua menyuarakan kebenaran dan angka. Cuma pemilik modal
yang bernyali, sementara lainnya dibungkam oleh kelaparan. Jauh dari
peradaban dan keadaban. Lambat laun kerumunan orang itu berkurang. Satu per
satu menghambur pergi. Saat mereka mengunci lumbung minyak itu, kuyakin
waktunya telah tiba. Hanya dua penjaga yang tersisa dan sangat mudah
kulumpuhkan. Dengan susah payah kuangkut tong itu dengan menggunakan gerobak
yang sehari-hari kugunakan untuk menambang batu kapur. Sudah kebayang berapa
kiranya keuntungan yang kudapat ketika harga bensin benar jadi naik.
Angin malam boleh berhembus merasuk tulang. Suara
batukku mulai bengek tak
karuan. Tetapi tubuhku takkan menyerah. Sekuat tenaga menarik beban itu walau
napasku terengah. Apakah bintang yang kau lihat ketika senja itu adalah nyata?
Semoga bintang kemujuranku memang bersinar kali ini. Begitu atap rumah kita
yang compang camping itu tertangkap mata. Segera kupercepat langkahku, tak
perduli menginjak batu atau duri. Dadaku kian memegap dan jantungku berdegup
kencang. Sayangku, mungkin kau masih terlelap. Tetapi kupastikan malam
berikutnya tidurmu lebih nyenyak. Karena perut kita telah kenyang. Namun,
sungguh mengejutkan melihatmu masih menantiku datang. Kau menyambutku dengan
omelan penuh ketakutan. Cukup! Hentikan ocehan itu! Aku jamin perbuatanku
takkan ketahuan. Apalagi setelah kupindahkan semua isi tong itu ke wadah
berbeda.
Haruskah kutitipkan asa di kala fajar? Ke mana bintang
harapanku menghilang? Suara gaduh diselingi jeritanmu kontan membangunkanku.
Mereka mengobrak abrik rumah kita dan menuduhku telah merampas hak para nelayan
dengan menyelundupkan solar. Saat itu baru kutahu yang kucuri bukanlah bensin.
Percuma aku memberikan penjelasan tentang perbuatanku semalam. Mereka memegangi
istriku yang terus mengiba. Tetapi gerombolan manusia itu tak mau mendengar
seolah berhasil menemukan biang keladi kesengsaraan. Padahal aku sama laparnya
dengan mereka. Namun, kemiskinanku hanya dianggap topeng belaka. Di antara
hantaman dan cacian mereka, teringat ucapanmu bahwa mencuri tak pernah bisa
membuat kita kenyang.
Lihatlah bagaimana aku mengkhianatimu. Sudah kubilang
aku bukanlah lelaki setia. Kuharap bayi kita tak mengenal kata serakah di masa
depan. Sekarang jiwaku melayang menyaksikanmu meratapi jasadku. Sudahlah,
lepaskan aku pergi. Biarkan aku terhisap jauh ke dalam lembah tak bertuan.
Menantimu datang menyingkap tabir abadi dan menemukan cinta yang hakiki.