Hm, serius banget ya?
Ngarang aja kok repot banget sih? Hehe, siapa bilang sastra tidak serius dan
repot! Dulu, sastra hanya milik orang-orang terdidik saja lho. Tak semua orang
bisa membuat karya sastra, karena memang melalui sistem berpikir yang tidak
selalu sederhana. Syukurlah sekarang tidak lagi begitu, terima kasih kepada
media radio dan televisi yang waktu itu berhasil ’melelehkan’ kebekuan sastra
hingga bisa dinikmati secara massal.
Ingat! ANDA BERHADAPAN DENGAN PEMBACA DAN YANG
ANDA TULISKAN ADALAH KARANGAN, bukan artikel bermanfaat tentang menjadi
lelaki idaman wanita dan wanita idaman lelaki, atau kaya dalam waktu singkat,
atau mendapatkan lonjakan karier secara maksimal dengan usaha minimal. Kalau
Anda menulis artikel seperti itu, tentu saja akan banyak pembacanya karena yang
mereka cari adalah informasinya yang bermanfaat. BUKAN MAKNA DAN
KEINDAHAN BERBAHASANYA, BUKAN PULA KEUNIKAN CERITA DAN KELIARAN IMAJINASI ANDA.
Begini, umumnya, semua
orang yang pernah sekolah pasti bisa menulis dan mengarang, terlepas itu bagus
atau tidak. Jadi, bisa kita bayangkan berapa banyak karangan yang akan tertuang
dari satu orang? Kalau seorang itu membuat 20 karya sebulan dan ada puluhan
lagi pengarang yang melakukan hal seperti itu. Berapa banyak karya yang akan
tercipta? Lihat saja kanal fiksi di kompasiana, dalam satu jam bisa berapa
karya yang ditayangkan mulai dari novel, cerpen, cermin, dongeng, drama, dan
drama.
Semakin banyak karangan
yang ada tentu semakin selektif pilihan pembaca. Dan segelintir karya yang
menarik sajalah yang akan dibaca dengan cermat sampai tuntas, bukan sekali
lewat. Dan lebih sedikit lagi yang mendekam lama dibenak pembaca. Dan semakin
sedikit lagi yang mampu menggugah pembaca untuk menelaahnya, lagi dan lagi.
Anda mau karya Anda masuk dalam kategori mana?
HM, APA ANDA MAU MENIPU PEMBACA DENGAN MEMBUAT JUDUL KARANGAN YANG EROTIS DAN
MENGARAH-ARAH KE ’ANU’? TAPI TERNYATA ISINYA TAK
SEGARANG JUDULNYA.
Judul Karangan
Memberi judul karangan
adalah masalah selera pribadi Anda. Mau yang sederhana, mau yang bermakna kias,
atau yang absurd sekalipun itu terserah Anda. Tapi, Anda sebaiknya paham bahwa
pemilihan judul yang tepat akan mempengaruhi keindahan keseluruhan karya itu.
Ibaratnya JUDUL ADALAH PINTU SEBUAH RUMAH, TENTU ANDA AKAN
MELIHAT PINTU TERLEBIH DULU SEBELUM MELIHAT ISI RUANGAN DI DALAM RUMAH
TERSEBUT.
BUATLAH JUDUL YANG MEMIKAT. BUATLAH STANDARNYA DAN LAMPAUI STANDAR ITU. Dengan begitu Anda akan menciptakan judul yang bukan hanya enak dibaca tapi
juga mampu melonjakkan imajinasi. Coba mencari referensi di karya-karya koran,
bukankah judul-judulnya sangat memikat. Daripada sekedar judul-curhat seperti
”Pantaskah Aku Memilikimu?” atau ”Cinta Bertepuk Sebelah Tangan” atau ”Maaf
Kali ini Aku Menyerah”.
Coba
perhatikan lagi, tentang apa sih karya Anda itu. Kalau tokohnya itu sangat kuat
karakternya, coba Anda ambil judul dari nama tokohnya saja, misalkan ”Nazar
Puasa Laila” atau ”Mengejar Atun” atau ”Bang Rano, Mpok Hindun”, ”Sukir dan
Sopirnya”, bukankah lebih imajinatif gitu? Belum puas, cari nama yang lebih
tepat atau unik lagi supaya mampu mewakili cerita.
Tidak
dengan nama tokoh, bisa juga dengan benda dalam cerita, ”Kopi Tak Bergula”,
”Teh Daun Sirih”, ”Sendok yang Terselip di Ranjang”, ” Umar Mencari Kamar”
supaya berima. Coba contoh judul-judul film lawas kita yang sempat
meng-Internasional: ”Daun di Atas Bantal”, ”Pasir Berbisik”, ”Biola Tak
Berdawai”, sebelum menonoton film itu pun kita sudah terbawa khayalan dan
penasaran dengan filmnya.
Atau
dengan memberi kiasan seperti, ”Mata Bulan di atas Geribik”, ”Pohon-Pohon
Manja”, ”Luka Tak Berdarah”, ”Suami yang Menemukan Aroma Ikan di Tubuh
Istrinya” Unik gitu. Tidak biasa-biasa saja.
Mau
yang biasa-biasa saja. Ok. Tapi, pilihlah judul yang menyimpan makna yang kuat
bagi pembaca. Bisa itu adalah fenomena sehari-hari yang ramai diperbincangkan
atau judtru tabu. Semisal, ”Air dari Rendaman Batu” Judul ini biasa, tapi
menyimpan kisah bocah Ponari yang sempat menjadi pergunjingan warga.
Judul-judul lain yang bisa menjadi alternatif antara lain: ”Bung Karno”, ”Pesan
Pak Guru”, ”Pengamen Cilik di Simpang Lampu Merah”, ”Kakak Tak Mau Sekolah”,
atau seperti judul film ”Emak Ingin Naik Haji”.
Berpikirlah
kreatif, ciptakan judul yang kuat. Kemampuan memilih judul yang tepat
sebenarnya menunjukkan jiwa artistik pengarang. Pelajarilah judul-judul
karangan yang bagus. Jangan terjebak dengan judul curcol yang malah dangdut
banget, “Mencintaimu Sampai Mati” hehe. Apalagi judul film-film horor(?)
Indonesia, “Kuntilanak Duyung Mati Goyang Pinggul.” Ampun deh.
Pesannya sudah ketahuan
di awal.
Beralih ke pesan cerita.
Karya Anda pasti punya pesan di dalamnya (kalaupun tidak, pembaca akan membuat
persepsi sendiri). Pesan yang terdeteksi sejak awal tulisan bisa jadi akan
menurunkan rasa penasaran.
Contohnya gimana?
Judul puisi Anda adalah,
”Pelajaran Ikhlas” (wah, ini jelas banget ya mau kemana arahnya). Kalau isinya
pun biasa saja, ”Akhirnya aku sadar/ Kekeraskepalaanku adalah sebabnya/ Angin
tidak berbalik dengan ditiup….”saya tak yakin pembaca mau menuntaskan
bacaannya.
Jadi, kalau memang pesan
Anda itu jelas. Maka, tugas Anda lebih fokus pada cara penyampaiannya. Cari
cara yang unik, misalkan menceritakan keikhlasan pohon yang menjadi sarang
burung dan tempat berteduh bagi pejalan kaki yang kepanasan. Bukankah itu juga
”ikhlas”. Jadi, walaupun pembaca tahu kemana arahnya tapi penyampaian yang
menarik itu mampu menahan mereka. Tahu puisi berjudul ”Hujan Bulan Juni” karya
Sapardi, ia membicarakan cinta yang sederhana tapi teknik penyampaiannya
sungguh memesona.
Cerpen? Hm, secara umum
tak beda jauh. Hanya mungkin tantangannya lebih berat ya. Pertama, cerpen itu
relatif panjang, jadi kemungkinan pembaca untuk berhenti membaca lebih besar.
Bahasa dalam cerpen bukanlah bahasa puisi. Dalam puisi, ”Aku menemu malam
dingin dan sedang jalan kaki di pasar minggu sepi.” adalah kalimat yang sah,
bahkan cukup unik. Kalau dalam cerpen, kalimat itu menjadi rancu, aneh, dan
mengundang kritik pembaca.
Apalagi kalau pembaca
sudah paham betul dengan pesan yang ingin Anda sampaikan, bahkan melebihi
pemahaman Anda sendiri. Kondisi akan makin kritis ketika pembaca yang awalnya
ingin menikmati karangan Anda malah berbalik menjadi ”kritikus dadakan”. Ya,
bagi beberapa orang kritikan itu hadiah, tapi bagi yang belum siap, kritikan
mampu meruntuhkan semangat.
Saya yakin, pesan dalam
karangan Anda bukanlah pesan yang diobral, kalau itu adalah rindu, tentu bukan
rindu yang umumnya dirasakan orang bukan? Rindu yang bagamana? Tentu tidak
seperti rindu punya teman Anda, bahkan tak seperti semua rindu yang dimiliki
orang lain, hanya Anda yang tahu.
So, hati-hati dengan
kesan pertama Anda ya. :)
Salam BB.