Indonesia tidak asing di Cannes. Sejumlah film Indonesia pernah diputar, setidaknya untuk kategori penghargaan khusus, Un Certain Regard. Selain itu, Christne Hakim pernah menjabat sebagai juri di tahun 2002.
Di Festival Film Cannes 2011, yang masih akan berlangsung hinggga akhir pekan ini, cukup banyak film Asia diputar. Baik di kompetisi, non kompetisi, penghargaan khusus, juga di kategori film pendek. Ada film dari Korea Selatan, Cina, Hongkong, India, tentu Iran, bahkan juga dari sesama negara Asia Tenggara, Filipina. Lalu bagaimana kehadiran Indonesia?
Nama Indonesia hanya muncul di bagian Marche du Film, pasar film atau bursa perfilman. Ini merupakan program Direktorat Film Kementerian Budaya dan Pariwisata. Direktur urusan Film Kementerian Budaya Pariwisata, Syamsul Lusa, mengatakan,"Ini adalah ajang untuk memperlihatkan citra Indonesia. Bahwa Indonesia ada di peta perfilman dunia. Dan upaya mengingatkan pasar bahwa Indonesia juga punya produk film. Juga hampir semua negara ASEAN tampil di antara 100 lebih peserta. Jadi Indonesia perlu hadir.”
Di Marche du Film, banyak negara yang diwakili beberapa anjungan. Meliputi anjungan resmi, anjungan perusahaan film swasta, juga anjungan film independen. Indonesia tampil di sebuah anjungan standar, sederhana, yang dihiasi sejumlah wayang. Dan poster-poster Indonesia dalam ukuran besar, yang didominasi oleh, apa boleh buat, film-film horor. Dengan judul dalam Bahasa Inggris, yang untuk telinga Indonesia terdengar bukannya seram, malah lucu. Misalnya, "Ghost With a Hole" yang aslinya "Kuntilanak", "Virgin's Shroud" alias "Kain Kafan Perawan", "Ghost in a Morgue" alias "Kuntilanak Kamar Mayat". Dan sejenisnya. Ada dua poster yang tidak menyeramkan. "The Enlightened One" alias "Sang Pencerah", dan "Di Bawah Lindungan Kabah" - yang ini tak ada judul Inggrisnya.
Selama beberapa hari, di anjungan itu tampak aktris pemenang beberapa penghargaan, Happy Salma, dan Putri Indonesia 2009, Qory Sandioriva. Pada awalnya Happy Salma berusaha bersikap positif mengenai kehadiran Indonesia di Cannes, karena merupakan reallitas industri perfilman Indonesia."Ya, kalau memang prosesnya harus begitu. Bahwa film Indonesia sekarang didominasi horor. Kalau banyak pihak yang ingin mengedepankan itu, ya silakan saja. Tapi semuanya akan ada pembelajarannya," papar Happy Salma.
Tetapi secara umum Happy sebetulnya kurang happy. Antara lain, karena jadwal kegiatan yang ia terima sebelumnya sebagai bagian dari delegasi Indonesia, ternyata tak ada yang jalan. Sehingga ia pun mengambil prakarsa sendiri untuk nonton film-film tertentu, keluar masuk berbagai ruangan dan program. Yang membuatnya terkagum-kagum sendiri. Juga menonton ala misbar atau Gerimis Bubar di tepi pantai, dengan kursi selonjor dan dibagi selimut oleh panitia. Happy, kali ini dengan happy, duduk selonjor, membenamkan diri di balik selimut untuk melindungi tubuhnya dari angin malam Pantai Croisette, sembari menonton "Das Boot" karya sutradara Jerman Wolfgang Petersen.
Sementara Qory Sandioriva, yang berusaha menyapa dan mengajak bicara para pengunjung yang adalah para pekerja dan pengusaha film dari seluruh dunia, juga tak menyembunyikan keprihatinannya. Kendati ia pun berusaha mencari sisi positif. "Terus terang saya sedih… Kita masih sangat kurang dalam segalanya… Dalam soal mengkomunikasikan produk kita…"
Masalahnya, kata Qory pula, di Indonesia banyak orang keliru menyangka. Seakan film-film horor itu merupakan wakil Indonesia di Cannes, untuk bersaing memperoleh penghargaan. Tentu lucu sekali, ini ditambahkan Happy Salma, kalau membayangkan film "Suster Kramas" yang diberi judul Inggris "Evil Nurse", dikirim untuk bersaing memperebutkan Palem Emas dengan, misalnya film "Le gamin au vélo" karya Dardenne Bersaudara atau "La piel que habito" karya Almodovar.
Kenyataannya, film-film Indonesia yang seram-seram itu dibawa ke Cannes dalam bentuk DVD, dilengkapi poster, brosur, untuk dipasarkan kepada para pengusaha pengedar film dari seluruh dunia, yang juga mendapat tawaran belasan ribu film dari ratusan perusahaan berasal dari puluhan negara.
Sebagian dari film horor Indonesia yang diupayakan pemasarannya lewat Pasar Film di Cannes ini merupakan produk Rapi Film. Tokoh dan produser Rapi Film, Gope Samtami, yang sudah bertahun-tahun turut serta di ajang ini, mengatakan,"Kita sudah memperkenalkan sinema Indonesia di dunia internasional. Banyak yang datang, termasuk dari Jerman, juga Turki, Spanyol dll. Mereka berminat pada produk kami. Membawa contoh film kami untuk mereka lihat, periksa kualitasnya. Dan saya yakin kualitas produk kita bagus. Saya yakin mereka akan beli."
Setiap tahun, kata Gope Samtami, dengan produk seperti itu, ada saja film Indonesia yang kemudian terjual setelah ditawarkan di Pasar Film di Festival Cannes. "Ada beberapa. Misalnya kita berhasil menjual "Ayat-Ayat Cinta" ke Hong Kong, "Kereta Hantu Manggarai" dibeli sebuah perusahaan Jerman. Juga Turki mebeli "Ayat-Ayat Cinta". Memang belum banyak. Tapi kita senang bahwa sudah mulai terjual. Sekali mereka puas, mereka akan kembali membeli film kita. Itu tejadi dengan Thailand, misalnya."
Bedanya, industri film Thailand berkembang pesat, seiring kualitasnya juga. Di Indonesia sudah beredar banyak film Thailand, dan ditonton orang. Di Cannes, tahun 2010, Palem Emas dimenangkan film Thailand "Paman Boonmee Yang Bisa Memanggil Hidup Yang Lampau" karya Apichatpong Weerasethakul. Adapun Indonesia masih saja ketinggalan.
Vera Lasut, produser dari Red Light Jakarta, tidak terlalu cemas. Ia menyebutkan, Indonesia sudah dikenal kualitas arrtistiknya di berbagai festival dunia. Yang penting kerja keras masyarakat film.Berbeda dengan Happy Salma dan Qory Sandioriba, Vera Lasut kendati kemudian membantu menjaga anjungan Indonesia, datang di Cannes secara mandiri dengan biaya sendiri.
"Di sini pusatnya para pembuat film, untuk merasakan benar-benar energi dunia sinema. Di sini kita saling bertemu, saling berbagi pengalaman. Kita bisa saling belajar," Vera Lasut menerangkan alasan kedatangannya. Tentu saja, kata Vera, ia juga menawarkan film yang ia produksi, "The Perfect House" atau "Pencarian Terakhir", disutradarai Robby Affandi Abdul Rachman. Film ini sebetulnya diminati oleh seksi paralel dari Cannes, Directors Fortnight, yang dikelola perhimpunan sutradara Prancis. Namun pada saat perundingannya dulu, film ini belum rampung.
Vera Lasut yang juga model dan aktris ini, merencanakan kedatangannya di Cannes sejak jauh.hari, dan mengembangkan program sendiri. Vera bukan satu-satunya pekerja film Indonesia yang datang di Cannes atas biaya sendiri. Ada juga misalnya Sly, juga produser, serta John Badalu, aktivis pengelola jaringan yang memang rajin hadir di berbagai festival internasional.
Pertanyaannya sekarang, bagaimana pemerintah Indonesia, melalui Budpar, bisa mengambil gairah dan semangat para pekerja film Indonesia, khususnya dengan menjalankan dan merencanakan program secara matang. Agar kehadiran Indonesia di Festival internasional, terlebih festival akbar seperti Cannes, tak cenderung sekedar mengisi absen belaka.
Ging Ginanjar
Editor: Edith Koesoemawiria