Arus Pelangi, sebuah lembaga swadaya masyarakat yang membela hak-hak kaum lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT), menemukan bahwa nyaris 90% kaum LGBT di Jakarta, Yogyakarta, dan Makassar mengalami kekerasan dan diskriminasi.
Temuan tersebut diungkapkan Ketua Arus Pelangi, Yuli Rustinawati, dalam diskusi laporan Badan Perserikatan Bangsa Bangsa yang menangani pembangunan (UNDP) tentang kondisi LGBT di Indonesia.
"Dalam penelitian kami, terdapat 89,3% kaum LGBT di Jakarta, Yogyakarta, dan Makassar pernah mendapat perlakuan kekerasan dan diskriminasi. Tindak kekerasan kami kategorikan menjadi lima bagian, yakni aspek fisik, psikis, seksual, ekonomi, dan budaya," kata Yuli.
Padahal, sambung Yuli, kaum LGBT merupakan warga Indonesia yang juga memiliki hak perlindungan dari negara.
Hal itu menguatkan laporan UNDP mengenai kondisi LGBT di Indonesia.
Dalam ringkasan laporan UNDP disebutkan, perundang-undangan nasional umumnya tidak mengenali atau mendukung hak-hak kaum LGBT. Bahkan, tidak ada undang-undang anti-diskriminasi yang spesifik yang berkaitan dengan orientasi seksual atau identitas gender (SOGI).
Berdasarkan kondisi itu, Dede Utomo, aktivis LGBT, menyampaikan beberapa rekomendasi kepada pemerintah Indonesia.
"Pemerintah Indonesia harus mengakui keberadaan LGBT yang juga adalah warga negara Indonesia. Diskriminasi muncul karena tidak ada peran negara. Kemudian, undang-undang yang bersifat diskriminatif terhadap keberadaan kaum LGBT harus direvisi," kata Dede.
.
.