Terlena dengan liburan memang tidak menyenangkan. Deadline minggu kemarin tidak tercapai. Jadi meskipun ini adalah malam minggu aku harus tetap lembur, biar target untuk minggu depan bisa tercapai. Saat itu jam sudah menunjukkan 01.30 pagi. Rencananya aku tidak tidur sampai shubuh, begadang sampai pagi sekalian untuk sahur nyawal hari pertama.
Saat itu aku sedang sibuk dengan kerjaanku. Tiba-tiba ada yang datang. Masuk kamarku tanpa permisi. Lewat jendela. Katanya saat aku tanya bagaimana dia bisa masuk. Musim panas begini, jendela kamar memang selalu saya buka. Kadang pintu depan kubiarkan tanpa kukunci. Karena jika tidak, bisa-bisa aku jadi dendeng di kamar sempit tanpa AC ini.
“Oke, mau apa kesini tengah malam begini?”
“Saya cuma mampir bentar kok. Ingin ngobrol sebentar.”
“Tengah malam begini?” tanyaku heran.
Tanpa menjawab. Dia malah pura-pura lihat ke monitor komputerku. Pura-pura tanya ini itu. Aku biarkan saja. Aku kembali dengan komputerku. Lima belas menit berlalu. Namun, aku tidak tega, tamuku ini aku diamkan begitu saja.
“Kamu lapar?” Tawarku pura-pura.
“Boleh” jawabnya cepat. Mati aku. Aku hanya punya mie sebungkus dan sepotong daging ayam dikulkas buat sahur malam ini. Baiklah tak apa, memulaikan tamu banyak faedahnya. Batinku menghibur diri.
Mie dan daging ayam baru saja aku rebus. Tapi herannya dia tak bisa sabaran sedikitpun. Berkali-kali dia bertanya udah matang apa belum. Kau pikir ini rumah kamu? dan aku pembantumu. Sabar. Sabar. Aku berusaha untuk mengontrol diri. Jujur, dia memang tampak menarik. Masih muda. Postur tubuhnya juga proporsional. Rambutnya hitam gelam. Hidungnya putih. Dan yang paling menarik darinya adalah bibi yang berwana merah jambu itu. Meski begitu, aku benci dengan sikap manja dan tidak sabarannya itu.
“Sudah matang. Ayo kita makan.” Ajakku. Aku bagi dua. Selain mie, aku kasih juga bebarapa potong kecil daging ayam di piringnya. Ia begitu lahap. Tanpa menunggu dingin. Tapi, kenapa kau tak makan mie-nya?. Cuma kamu pilah-pilah daging ayam yang tidak seberapa itu. Pikirku.
“Mas, aku minta ayamnya lagi dong…” Sedikit tidak rela, aku kasih juga daging ayam bagianku. Kasihan juga melihat wajah manja yang lagi memelas itu.
Sesudah makan, sembari menunggu adzan shubuh aku leyeh-leyeh dikasur. Tamuku itu ternyata ikut menyusulku. Awalnya menyentuh tanganku, lalu kemudian tidur di pundakku. Tak tau diri.
“Mas, boleh aku ngomong sesuatu” tanyanya tiba-tiba.
“Iya, ada apa?”
“Aku Manis mas…”
“Iya, aku tau” Jawabku spontan. Kau memang tampak manis, tapi sifat manjamu itu yang rasanya bikin kemanisan. Batinku.
“Jadi Mas tau, kalau aku ini Manis milikmu satu-satunya beberapa tahun yang lalu”.
“Hah? aku pernah memilikimu? kapan?” Sergapku. Memburu. Karena aku tidak pernah memilikinya. Berambut hitam, berhidung putih dan berbibir merah jambu ini.
“Aku memang sudah berubah. Tapi aku Manis yang dulu”
“Aku tak percaya. Memang bibir dan hidungmu mengingatkanku padanya, tapi Manis-ku yang dulu berambut blonde tidak hitam sepertimu”.
Dia berusaha meyakinkanku. Hingga kami terlelap begitu saja. Tak lama kemudian aku terbangun. Suara dengkurmu membangunkanku. Lantas, tiba-tiba aku merasa jika yang sedang mendengkur ini benar-benar Manis-ku yang dulu. Seolah-olah manis-ku yang dulu bereinkarnasi. Aku goyang-goyang pundaknya seraya membisikkan padanya.
“Manis, boleh aku jujur padamu?”
“Boleh…” mata birunya berbinar, begitu antusias.
“Aku sebenarnya dari dulu…… benci mendengar suara keras dengkuranmu”
-Selesai-
Sumber: Saat datang (dok pribadi)
Sumber: Saat minum susu )dok pribadi)
Sumber: Numpang photo (dok pribadi)
Sumber: Numpang tidur (dok pribadi)
.
.