Belakangan ini dia sering terlihat murung, tak bersemangat seperti biasanya. Bola basket yang selalu dimainkannya dengan lincah, sekarang hanya ia pantulkan lemah sambil duduk di pinggir lapangan. Aku memang selalu mengamatinya dari kejauhan, tidak berani mendekat untuk sekedar menanyakan apakah dia baik-baik saja. Aku hanya tidak ingin ada hati lain yang merasa posisinya terambil olehku, karena aku tahu siapa yang semestinya mendekat ke sana untuk menanyainya. Aku pun mengerti siapa yang lebih dibutuhkannya.
“Apa sih yang kamu dapat dengan mengamati dari kejauhan tanpa bertindak?” Tanya Rani sambil menerawang ke arah Petra. Aku menggeleng lemah, kemudian Rani menepuk pundakku – menyuruhku untuk melihat ke arah selatan. “Mungkin Ayu memang tidak ingin tahu keadaan Petra sekarang. Jadi, nggak ada salahnya kamu duluan yang mendekat. Bukannya kamu pernah bilang, Petra sahabatmu?” Kata Rani.
Aku segera turun menuju lapangan basket, namun sesampainya di bawah, ternyata Petra sudah tidak di tempat itu lagi. Kulihat siluetnya yang berjalan menuju arah taman sekolah. Aku pun bergegas mengikutinya.
“Petra!” Panggilku, dia menoleh dengan cepat, kemudian tersenyum seperti biasanya. Tetap manis, meskipun kabut tebal masih menyelimuti wajahnya. “Lagi ada masalah apa sih?” Tanyaku sambil berjalan mengiringinya.
“Kamu tahu aku lagi ada masalah?” Dia balik bertanya.
Aku mendesah, “Jelas tahu lah. Bedanya kamu yang lagi nggak ada masalah, sama yang lagi banyak masalah itu kontras banget. Bisa ditebak.” Jawabku. Petra kembali tersenyum.
“Hebat ya kamu. Pacarku sendiri aja nggak ngerti-ngerti kalau aku lagi punya beban.” Balasnya datar.
Aku terdiam. Hampir saja aku lupa bahwa dia milik orang lain, bukan milikku lagi. Sekarang aku bingung sendiri harus menjawab apa. Kembali menatapnya pun sudah tidak sanggup. Aku terus mengiringi langkahnya sampai akhirnya dia berhenti di kursi putih bawah pohon.
“Aku jadi takut mengulangi kesalahanku untuk kedua kalinya.” Kata Petra, aku menoleh ke arahnya. “Meninggalkan seseorang yang sudah kupunya untuk mendapatkan yang lainnya. Ujung-ujungnya aku kecewa sendiri. Seperti saat ini, kadang aku merasa harus kembali pada kamu karena aku lebih bisa mendapatkan apa yang ku mau itu dari kamu. Tap..”
Aku cepat menyaut kalimatnya sebelum ia lanjutkan. “Mungkin aku cobaan supaya kamu tidak melakukan kesalahan yang sama untuk yang lainnya.”
Aku beranjak dari kursi, lalu pergi.
.
.