Tuesday, March 12, 2013

Babi Budug dan Anjing Kudis Bikin Anas Jadi Ogoh-Ogoh

Ogoh-ogah mirif Anas di Bali, sehari menjelang hari Nyepi,  sempat disesali Ketua Komisi III Gede Pasek Suardika. Ogah-ogah itu dianggap melenceng dari semangat keagamaan dan lebih merupakan ekspresi politik. “Itu melenceng dari taqwa agama dalam kaitan perayaan Nyepi,” kata tokoh yang dikenal pendukung setia Anas itu.
Saya tak mengerti tentang ajaran Hindu. Yang sedikit saya ketahui, pawai Ogoh-ogoh menjelang Nyepi biasanya memang sarat simbol yang menggambarkan perang atau kewaspadaan, perenungan bagaimana menghadapi tokoh jahat. Bahwa di sekitar manusia itu ada makhluk-makhluk jahat yang menggoda dan menjerumuskan manusia pada jalan kesesatan.
Memang terasa berbeda ketika ada Ogoh-ogoh mirif Anas, yang secara riil merupakan sosok manusia. Biasanya Ogoh-Ogoh simbolisasi makhluk gaib, dengan tampang seram dan menakutkan sesuai kepercayaan masyarakat Hindu. Ogoh-Ogoh Anas mungkin menjadi yang paling imut, tentu jika melihat sosok aslinya.
Masalahnya  apakah kemudian layak masalah itu diseret pada perbedaan sikap agama seperti dikemukakan Gede Pasek? Saya menilai lebay, berlebihan. Ini murni merupakan ekspresi masyarakat Bali pada sosok personal Anas. Respon pada retorika bombastis Anas yang menyatakan siap digantung di Monas. Bahwa itu muncul di pawai Ogoh-Ogoh menjelang Nyepi, tentu lebih merupakan simbol perlawanan moral pada tindakan korupsi. Dan semua agama, jelas memiliki komitmen sama, pada perlawanan korupsi.
Lebih arif jika Ogoh-ogoh Anas itu dianggap sebagai perlawanan moral. Bahwa yang muncul Anas tentu saja, tak lepas dari retorika bombastis Anas, yang memang seksi, menarik untuk dijadikan titik masuk mengundang perhatian masyarakat.
Dari sini para politisi harus belajar agar tak gampang mengeluarkan pernyataan bombastis yang mengundang reaksi sinis masyarakat. Tidak gampang  mengumbar janji, apalagi ketika apa yang dilakukan bertolak belakang dari apa yang diucapkan.
Itu saja.