Tuesday, March 12, 2013

Apa Keyakinanmu, Mas Brooh........

“yuk..Jumatan..!!” ujar ku, mengajak seseorang yang sedang berdiri persis disamping ku ketika azan sedang berkumandang memecah siang, dengan cahaya persis di atas ubun-ubun kepala.
“saya Hindu bang,,”jawab pemuda itu sambil menatap tajam kearah.
“ahh..Hindu. beneran Hindu.”kata ku lagi hampir tak percaya. Sebab, dua minggu terakhir saya sering bersamanya menyelesaikan proyek jalan di sebuah perkampungan yang dihuni masyarakat Transmigrasi dari Pulau Jawa. 
Selesai ibadah sholat Jumat, aku menemui pemuda itu lagi, ingin memastikan kata-kata yang sempat keluar dari mulutnya tadi. Lantaran sangat jarang saya menemukan warga yang beragama Hindu didaerah saya ini yang mayoritas beragama Islam.
Dalam hati saya berucap, kenapa Tuhan tidak memberi tanda kepada umatnya, agar kita mudah mengidentifikasi setiap orang perihal agama yang dianut oleh manusia. Misal : jika agama Islam ada tulisan” I”dikening atau disekitar wajah seseorang. Begitu juga dengan orang yang menganut Nasrani, Hindu mamupun Budha.
Sehingga dengan demikian, setiap melihat wajah orang sepintas lalu saja kita sudah tahu agama apa yang mereka anut, agar tidak terjadi pemborosan kata dan salah mengajak orang seperti yang saya lakukan.
Di Kabupaten tempat saya tinggal memang Heterogen, dimana suku Minang dan Jawa merupakan kaum mayoritas. Minang telah menasbihkan diri sebagai pribumi atau yang punya ulayat (tanah kawasan). Sedangkan Jawa merupakan pendatang dari pulau seberang yang mengikuti program pemerintah orde baru untuk pemerataan penduduk, istilahnya Transmigrasi. 
Persentase komunitas jawa sangat besar. Jika diambil rata-ratanya ada sekitar 30-35 persen yang tersebar diseluruh Kabupaten Dharmasraya dan terkonsentrasi di daerah dalam (pelosok) tapi bukan pedalaman. Dan suku Jawa ini nyaris tidak ditemui di pusat Kabupaten yang terletak di Kecamatan Pulau Punjung. Memang dulunya Pulau salah daerah tidak didatangi warga dari Pulau Jawa ini.
Sedangkan pribumi umumnya mendiami disepanjang Jalur Lintas Sumatera (jalinsum). Adapun suku lain yang menghuni Kabupaten ini adalah Batak sering terlihat di wilayah selatan. Sunda, Palembang dan lain-lain, jumlahnya tidak begitu kentara atau significan.
Namun, dalam hal Agama saya belum menemukan sesuatu yang berbeda kecuali Islam. Sebab, sesuai falsafah adat Minang Kabau “adat basandi syarak dan syarak besandi kitabullah” hampir 99 persen masyarakat Minang menganut Islam. 
Adapun suku Batak yang dominan menganut Nasrani mungkin harus rela beribadah ke daerah tetangga. Lantaran komunitas mereka yang begitu kecil plus falsafah adat yang tidak memungkinkan mereka untuk mendirikan rumah ibadah ditempat mereka tinggal sekarang ini. Saudara-saudara kita yang minoritas tersebut sepertinya menerima dengan ikhlas sesuai dengan pepatah “dimana bumi di pijak, disitu langit di junjung.”
Apalagi lagi Hindu, yang keberadaannya tidak terdeteksi secara kasa mata. Banyak alasan yang menyebabkan hal itu terjadi. Mungkin lantaran jumlahnya sangat-sangat sedikit ataupun mereka sudah meninggalkan identitas keHinduan mereka yang telah dipengaruhi oleh budaya dan kebiasaan kaum mayoritas.
Kata Pemuda tadi, dia adalah keturunan ketiga. Kakeknya, merupakan warga Tran yang pertama datang ke wilayah Sumatera Barat ini. Dia berasal dari pelosok Jawa Tengah. Dan hanya satu Kepala Keluarga (KK) yang beragama Hindu-hanya kakeknya seorang-.
Pemuda berusia 20 tahun itu bercerita ia baru sadar kalau beragama Hindu pada usia 13 tahun, itupun ketika ia bertanya kepada Orang tua mereka kenapa tidak berpuasa. Kebetulan saat itu Bulan Ramadhan, yang mana umat islam diwajibkan menunaikan  ibadah puasa. Ia heran kenapa hanya keluarganya yang tidak menunaikan ibadah yang tercantum di dalam rukun islam tersebut.
Malahan, kata pemuda itu dia lebih tahu proses ibadah umat islam yang menjadi panduan belajar di sekolah dari pada tata cara sembahyang umat Hindu. Karena memang keluarganya tidak pernah lagi melakukan agama yang berasal dari nenek moyang mereka.
Lantaran pembicaraan kami sudah semakin, dalam dia pun mulai mengisahkan kehidupan religinya saat menginjak bangku sekolah. Karena sekolah-sekolah di Sumbar melaksanakan shalat berjamaah. Ia pun juga mengerjakan ibadah wajib umat islam itu. Tapi bukan ingin jadi muallaf, namun hanya  ingin menutupi identitas aslinya sebagai pemeluk Hindu. Sampai ia menamatkan bangku SMU.
Kisah-kisah yang diceritakan pemuda itu menimbulkan dua pertanyaan. Kenapa kedua orang tuanya tidak mengajarkan ritual agama yang mereka anut kepada keturunannya dan apakah tandanya, Negara kita sudah akan menjadi sekuler?