.
.
.
.
"Aku
berangkat, kakak!" seru Megumi sambil menutup pintu rumah.
"Hati-hati
ya…!" seru kakaknya tak kalah kencang dari dalam rumah.
Megumi
berjalan santai menuju sekolahnya. Hari ini adalah hari pertama masuk sekolah.
Megumi adalah siswi pindahan dari Osaka. Sebenarnya dia orang Tokyo, hanya saja
waktu umur 7 tahun, orang tuanya pindah tugas dan Megumi serta kakaknya
terpaksa pindah rumah juga. Tapi 2 tahun yang lalu, tepatnya ketika Megumi baru
lulus SMP, kedua orang tuanya meninggal karena kecelakaan ketika berangkat
menuju perpisahan di sekolah Megumi.
Saat
itu Megumi merasa sangat terpukul. Kehilangan ayah dan ibu sekaligus di hari
dia lulus dari SMP dengan nilai terbaik, adalah hal terburuk sepanjang masa.
Selama berhari-hari dia tak henti-hentinya menangisi kepergian orang tuanya.
Tapi setelah kakaknya memberi kepercayaan padanya, dia merasa lebih baik.
Dia
yang baru lulus SMP dan kakaknya yang mahasiswa baru, membuat mereka harus
bekerja keras untuk menghidupi diri mereka sendiri. Kakaknya bekerja paruh
waktu di café dekat rumahnya dan biasanya dibantu oleh Megumi. Gaji mereka
cukup untuk makan selama sebulan, walaupun hidup mereka tak terlalu mewah juga.
Setelah
2 tahun di Osaka, mereka mendapatkan pesan dari bibi yang ada di Tokyo agar
mereka pulang ke sana. Bibinya sudah menyediakan rumah untuk mereka berdua dan
juga sebuah pekerjaan. Rumah itu dulu adalah rumah Megumi dan kakaknya. Bibinya
bilang, waktu mereka akan pindah ke Osaka, ayah Megumi membiarkan bibinya
tinggal di sana, tapi seiring berjalannya waktu dan bibi Megumi pun bisa
membeli rumah sendiri dan mempunyai usaha yang cukup berjalan, dia ingin
berbalas budi pada keluarga Megumi lewat Megumi dan kakaknya. Sekarang Megumi
dan kakaknya membantu mengurus toko bunga yang dikelola bibinya. Hidup mereka
sekarang jauh lebih beruntung dan tercukupi.
Megumi
sampai di depan gerbang masuk sekolahnya. SMA Okazaki, itulah nama sekolahnya.
Sambil tersenyum senang dia memasuki area sekolah. Kemarin kakaknya sudah
mengurus kepindahan Megumi, jadi sekarang dia hanya perlu mencari kantor guru
untuk menanyakan dimana kelasnya. Tapi sekolah ini cukup besar, dan membuat
Megumi sedikit ragu untuk berkeliling. Bukan karena takut tersesat, sebab dia
mempunyai kemampuan ingatan fotografis, kemungkinan tersesat sangatlah sedikit.
Hanya saja dia takut waktunya terbuang banyak dan dia bisa terlambat masuk
kelas.
"Gomen
kudasai… A, anou… Bisa bantu aku?" tanya Megumi pada seorang gadis
sebayanya yang sedang duduk di bawah pohon dekat lorong. Bertanya sebenarnya
agak buruk, tapi setidaknya Megumi ingin mendapatkan teman di hari pertamanya
masuk sekolah.
"Kau
siapa? Murid baru?" gadis itu balik bertanya dan berdiri di depan Megumi
sambil mengamatinya.
"I,
iya… Aku baru pindah dari Osaka… Kemarin kakakku sudah mengurusi kepindahanku,
aku harus ke kantor guru… Bisa tolong antar aku? Aku takut bel akan segera
berbunyi…" pinta Megumi.
"Baiklah,
ikut aku…" gadis itu berjalan di samping Megumi sambil menggandeng
tangannya.
"Terima
kasih…" Megumi tersenyum. Teman pertamanya adalah orang yang baik dan
ramah, dia bersyukur akan itu.
"Sumimasen
ga, onamaewa?" tanya Megumi setelah mereka berjalan di lorong-lorong
kelas. Sepanjang dia berjalan, banyak anak yang menatap heran padanya. Mungkin
hal itu dikarenakan mereka belum pernah melihatnya. Tapi Megumi tidak merasa
terganggu dengan tatapan itu, karena dia yakin mereka tak berniat jahat.
"Atashi
no namae wa Honjou Akame desu, murid kelas 2… Kau sendiri?" Akame balas
bertanya.
"Watashi
wa Minami Megumi desu… Akame-san, yoroshiku…" kata Megumi sambil
tersenyum.
"Yoroshiku…"
"Hei,
kita sudah sampai…" kata Akame sambil berhenti di depan pintu yang
bertuliskan 'kantor guru'. Perjalanan menuju kantor guru ternyata tidaklah
memakan cukup waktu. Megumi jadi sedikit malu, seharusnya dia tadi mencari dulu
baru bertanya.
"Ii
yo, Arigatou gozaimasu Akame-san… Sumimasen…" kata Megumi.
"Daijoubu
desu…" Akame pergi meninggalkan Megumi.
Megumi
membuka pintu itu dengan perlahan dan melihat ke dalam. Banyak orang di sana.
"Gomen
kudasai… Saya siswi baru di sini…" kata Megumi.
"Oh,
kamu… Ke sini…!" panggil seorang guru laki-laki dari sudut ruangan.
"Hai!"
Megumi berjalan menuju meja guru tersebut.
"Kau
Minami Megumi? Aku wali kelasmu yang baru… Kelasmu di 2B…" kata guru itu
ramah.
"Benarkah?
Arigatou gozaimasu, sensei…"
"Namaku
Toura Oguri… Baiklah, bel sudah berbunyi, segera persiapkan dirimu, kita akan
menuju kelas barumu…" kata Toura-sensei setelah mendengar bel sekolah
berbunyi.
"Hai…"
.
"Perkenalkan
ini siswi pindahan, namanya Minami Megumi..." kata Toura-sensei sambil
mempersilahkan Megumi untuk memperkenalkan diri.
"Watashi
wa Minami Megumi desu, panggil aku Megu… Yoroshiku…" sapa Megumi sambil
membungkukkan badan.
Toura-sensei
menyuruhnya duduk di bangku kosong baris ke 4 dari pintu kelas. Megumi berjalan
tenang menuju bangkunya. Dan setelah duduk, ternyata di samping kanannya adalah
tempat duduk Akame, yang sekelas dengannya.
"Akame-san…"
panggil Megumi lirih.
"Oh
hai Megu…" Akame tersenyum.
Dan
pelajaran pun dimulai dengan tenang.
.
.
"Kau
tinggal di mana, Megu?"
"Oh,
aku tinggal bersama kakakku di rumah kami yang lama… Dekat perempatan setelah
jalan besar di depan…"
"Berdua
saja?"
"Iya,
orang tuaku meninggal karena kecelakaan dua tahun yang lalu… Karena itu, kami
kembali ke rumah kami yang lama…" jelas Megumi sambil mengunyah roti
isinya.
"Gomen,
membuatmu mengingat hal itu…" kata Akame lirih.
"Tidak
apa-apa Akame-san…"
"Panggil
aku Akame saja ya, aku juga memanggilmu Megu kan?" pinta Akame.
"Baiklah…"
Mereka
lalu melanjutkan makan roti di bawah pohon di sudut taman sekolah. Setelah
menyadari bahwa mereka sekelas, dengan sekejap mereka sudah menjadi teman
akrab. Megumi sangat senang dengan sikap Akame yang ramah dan tidak keberatan
jika Megumi bertanya seputar sekolah. Mungkin ini akan jadi hari yang
menyenangkan.
Megumi
masih mengunyah roti isinya, dia mengedarkan pandangan ke kelas-kelas dan
beberapa siswa yang berkeliaran di sana. Sekolah ini bukan hanya luas dan
megah, tapi juga bersih dan nyaman. Seragam yang dia gunakan pun terlihat
sangat rapi. Sekolah yang nyaris sempurna.
Tengah
asyiknya dia melihat pemandangan menyenangkan di sekolahnya, matanya berhenti
pada satu titik. Dia menangkap seorang siswa laki-laki yang sedang duduk sambil
membaca buku di bawah pohon yang tak jauh darinya. Orang itu kelihatannya
sedang sendirian dan tak menunggu seseorang. Entah kenapa, Megumi merasa ada
yang janggal dengan anak itu. Dia putuskan untuk bertanya pada Akame.
"Akame…
Siapa nama orang itu? Dia sekelas dengan kita, kan?" tanya Megumi sambil
menunjuk ke arah siswa tadi. Megumi masih ingat dengan jelas, bahwa siswa itu
duduk di samping kiri belakang Megumi. Dengan ingatan fotografisnya dia ingat
wajah semua teman sekelasnya walau dia hanya melihat sekilas ketika salam
perkenalan.
"Kau
ingat ya, padahal tadi kau langsung duduk…" Akame berkata dengan nada
heran.
"Ini
karena aku mempunyai kemampuan ingatan fotografis… Aku bisa mengingat apa pun
yang baru aku temui dalam sekali lihat…" jelas Megumi canggung.
"Sugoi…"
Akame terkejut.
"Lalu,
siapa namanya?" ulang Megumi.
"Amakusa
Ryuu…" jawab Akame singkat.
'Amakusa
Ryuu?' ulang Megumi dalam hati.
"Seperti
apa orangnya?"
"Seperti
yang kau lihat, dia suka menyendiri dan jarang berbicara, dia juga pintar… Tapi
dia orangnya dingin… Tak banyak anak yang mau berteman dengannya…" jelas
Akame.
"Eh?
Kenapa?"
"Entahlah…
Kau tertarik dengannya?"
"Aku
tidak tahu, aku hanya merasa aneh…" kata Megumi ragu. Dia memandang
sekilas pada Ryuu.
"Hmp…"
Akame bergumam sambil tersenyum penuh arti pada Megumi.
.
.
Butiran
salju-salju kecil berjatuhan dari langit yang biru. Turun bebas dengan tenang
dan mendarat di dedaunan pohon ginko, namun ada juga yang membentuk lautan es
di jalanan, walaupun itu tidak tebal. Ini adalah awal musim dingin, menurut
ramalan cuaca, salju baru akan turun besok dengan jumlah yang cukup banyak.
Mungkin ini permulaan dari musim dingin yang indah itu.
Semua
anak keluar menuju gerbang sekolah. Beberapa dari mereka banyak yang berjalan
bergerombol. Ada beberapa yang sedang memperbincangkan tentang salju yang baru
turun, tapi ada juga yang membicarakan hal lain.
Megumi
berjalan berdampingan dengan Akame. Sejak tadi mereka asyik membicarakan
tentang keseharian masing-masing. Megumi menjadi tahu bahwa Akame ternyata anak
seorang pengusaha restoran yang cukup ternama di Tokyo. Akame juga anak yang
pintar dan tahu banyak hal. Dia cantik, berkulit putih dengan rambut hitam yang
di kuncir di belakang, dia memakai kaca mata dengan frame abu-abu, membuatnya
terkesan seperti gadis dewasa dan pintar. Megumi sangat mengaguminya.
Sebenarnya Akame memang anak yang cukup dewasa pemikirannya, jadi dari
penampilan luar, sepertinya akan banyak laki-laki yang menyukainya.
"Hati-hati
pulangnya ya… Aku yakin dengan ingatan fotografismu itu, kau tak akan lupa
jalan pulang!" seru Akame sambil melambaikan tangan dan tertawa pada
Megumi.
"Iya!
Kau juga hati-hati…"
Megumi
berjalan pelan menyusuri jalanan yang masih dihiasi oleh salju kecil yang
meleleh di tangan. Jalan ini lumayan sepi, tapi Megumi tak begitu khawatir.
Setelah berjalan beberapa lama, dia menoleh ke belakang. Berharap dia tak
berjalan sendirian, karena itu akan terasa membosankan. Mungkin saja dia bisa
bertemu siswa lain yang sebaya dan bisa diajak berteman.
Megumi
menoleh, dia melihat sesosok orang sedang berjalan santai di belakangnya. Jarak
antara dia dan orang itu sekitar 10 meter. Setelah Megumi mengamati sekilas
orang itu, dia yakin bahwa orang itu adalah Amakusa Ryuu. Dia tak akan lupa,
dengan wajah dan seragamnya. Seragam semua siswa memang sama, tapi dia bisa
tahu bahwa itu Ryuu tanpa menjelaskan dengan detail. Dia hanya tahu, itulah
masalahnya.
Handphone
Megumi bergetar, dia berhenti berjalan dan memeriksa. Tepat ketika dia membuka
handphone, Ryuu berjalan melewatinya. Megumi merasa ada aura yang aneh dari
Ryuu. Jadi sekilas dia lihat Ryuu, lalu kembali berfokus pada handphonenya.
Ternyata ada pesan dari Akame, tadi Megumi memang sudah memberi tahu nomor ponselnya
pada Akame.
'Ada
apa?' pikir Megumi sambil membuka pesan.
Megu,
kau bilang bibimu punya toko bunga… Bisa kirimkan satu bunga untukku?
Dari
Akame Honjou.
Megumi
tersenyum senang membaca pesan itu. Lalu dengan sigap dia membalas.
Tentu
saja!
Megumi
menutup handphonenya dan kembali berjalan. Setelah beberapa langkah, dia
tiba-tiba teringat dengan Ryuu. Sepertinya benar apa yang dibilang Akame bahwa
dia dingin, sebab ketika tadi Ryuu melewatinya, Ryuu seperti tak menyadari
kehadirannya. Ryuu hanya berjalan tanpa mengalihkan pandangannya.
'Di
awal musim dingin, bertemu orang seperti dia…' pikir Megumi.
.
.
Bagaimana
bunganya? Kau suka?
Megumi
mengirim pesan pada Akame untuk memastikan apakah Akame menyukai pemberian
darinya itu. Sekarang dia sedang membantu kakaknya di toko bunga. Kakaknya
sudah pulang dari kampus dan membantu sejak satu jam yang lalu. Megumi sangat
menyukai pekerjaan ini. Setiap hari dia bisa melihat berbagai bunga yang indah.
Pekerjaan yang sangat menyenangkan.
Aku
suka… Ini bunga Geranium kan? Kenapa mememberiku bunga ini?
Dari
Akame.
Megumi
tersenyum puas. Dengan cepat dia mengetik balasannya.
Bunga
Geranium mempunyai arti persahabatan… Aku harap kita bisa menjadi teman baik,
Akame…
Selang
beberapa menit, pesan balasan dari Akame datang.
Aku
kira jika persahabatan kau akan memberiku bunga mawar kuning, ternyata tidak…
Kau sudah tahu banyak tentang floriography ya? Tentu saja kita akan bersahabat…
Megumi
senang mengetahui reaksi dari Akame. Dia harus berterima kasih pada kakaknya
yang memilihkan bunga itu.
Aku
tahu itu dari kakakku…
Megumi
menutup handphonenya dan duduk di kursi kasir sambil memegang bunga Gloxinia.
Saat ini yang ada di toko hanya dia, bibi, dan kakaknya. Pegawai yang lain
sedang mengantarkan pesanan. Kakak Megumi yang sedang menata beberapa bunga
yang baru datang, membuka pembicaraan pada Megumi.
"Bagaimana
hari pertamamu? Baik atau buruk?" tanya kakaknya tanpa memandang Megumi.
"Eh,
baik kok… Aku menemukan teman yang baik di sana…"
"Oh
ya? Syukurlah… Siapa?"
"Honjou
Akame, anak pemilik restoran Ayagi… Dia pintar dan dewasa... Dia juga ramah dan
sederhana… Gadis yang menyenangkan…"
"Hee…
Begitu…" desah kakaknya.
"Apa
hanya dia yang kau temui hari ini?" tanya bibinya yang muncul dari ruangan
tempat menaruh pembungkus-pembungkus bunga. Dia keluar sambil membawa satu
pembungkus, mungkin dia akan merangkai bunga untuk pesanan.
"Sebenarnya
ada satu orang lagi…" kata Megumi sambil menggumam.
"Siapa?"
sambung bibinya.
"Amakusa
Ryuu…" sebut Megumi lirih.
"Seperti
apa orangnya?"
"Dia
dingin dan terkesan tak peduli… Tapi Akame bilang, dia anak yang pintar…"
jelas Megumi dengan ragu.
"Kau
bertemu di mana?"
"Di
perjalanan menuju rumah… Dia berjalan di belakangku… Tapi ketika aku berhenti,
dia melewatiku begitu saja… Sepertinya rumahnya ada di arah yang sama
denganku…"
"Mungkin
dia benar-benar orang yang dingin, Megu…" kata bibinya.
"Aku
rasa tidak… Mungkin karena aku siswa baru, makanya dia tak mengenaliku…"
balas Megumi. Dia tak ingin berperasangka buruk terhadap orang baru ditemuinya.
Bahkan Megumi belum mengenal sepenuhnya, dan belum pernah bicara langsung. Dia
rasa menilai orang tanpa mendalami karakter adalah hal yang salah.
"Itu
sebabnya, kau memegang bunga Gloxinia?" tanya kakaknya sedari tadi diam
mendengarkan percakapan Megumi dan bibinya.
"Eh?
Memangnya kenapa dengan bunga ini? Apa ada arti spesial?" Megumi yang tadi
asal mengambil bunga, tak mengetahui bahwa dia memegang bunga Gloxinia. Megumi
belum banyak tahu tentang bahasa bunga atau biasa disebut dengan floriography.
Tapi beda dengan kakaknya yang sudah mendalami bidang ini, entah untuk apa.
"Gloxinia
mempunyai arti cinta pada pandangan pertama… Apa kau merasa begitu pada Ryuu,
Megu?" goda kakaknya sambil tertawa.
"Tidak
kok… Aku hanya asal mengambil… Bukan berarti itu menggambarkan
perasaanku!" elak Megumi dengan wajah merah karena tersipu malu dan
melempar bunga tadi ke meja di depannya. Megumi berpikir, mulai sekarang dia
harus berhati-hati dalam mengambil bunga, karena arti dari bunga itu bisa
membahayakannya dari ancaman godaan kakaknya.
"Sudahlah,
aku hanya bercanda… Kalau dia benar-benar orang yang dingin, beri dia bunga
Agnus castus yang artinya dingin…" jelas kakaknya.
"Apa
iya aku harus memberinya kaktus?" Megumi ragu dengan pendapat kakaknya.
"Tidak juga… Kau bisa memberinya yang lain…"
balas kakaknya.
"Apa?"
"Cinta…"
"Eh?"
"Kalau kau memberikan cintamu padanya, dia mungkin
akan meleleh dan berubah menjadi lilin yang menghangatkan tubuh!" goda
kakaknya.
"Kakak…"
.
.
Megumi berjalan cepat menuju kelasnya. Kurang dari lima
menit, pelajaran akan dimulai. Dia bisa celaka jika sampai terlambat. Dia tak
mau, image'nya sebagai siswa baru rusak hanya karena dia terlambat. Ini semua
gara-gara dia kesiangan bangun. Dan sialnya, kakaknya pun juga begitu, jadi
antara mereka tak ada yang saling membangunkan.
Megumi kesiangan karena semalam dia tak bisa tidur, dia
memikirkan tentang Ryuu. Entah kenapa bisa begitu, tapi yang jelas Megumi
memang memikirkannya. Hal yang dikatakan kakaknya dan juga Akame turut mewarnai
jalan pikiran Megumi tentang Ryuu. Tentang Ryuu yang dingin tapi pintar, juga
tentang sikapnya yang misterius. Megumi merasa ada yang salah dengan Ryuu. Dan
sudah dia pikirkan semalaman pun, dia belum tahu kesalahan apa itu.
Sempat berpikir untuk dekat dengan Ryuu. Karena ada dua
sisi di pikiran dan hatinya, bahwa dia ingin berteman dan juga sedikit
penasaran. Aneh memang, mendekati seseoarng hanya untuk mengetahui kesalahan
dalam kehidupannya. Tapi bagaimana pun juga, ada sesuatu dalam diri Ryuu yang
harus dia pecahkan.
Terlalu banyak berpikir, tanpa sadar Megumi menabrak
seseorang di koridor menuju kelasnya. Keduanya sama-sama terjatuh kesakitan.
Megumi memegangi bahunya, sedangkan orang yang ditabrak memegangi punggungnya.
Megumi yang sadar segera berdiri dan berniat minta maaf. Di dalam hati dia
mengumpat, kenapa bisa seceroboh ini. Dia sempat khawatir bahwa orang yang
ditabraknya akan memarahinya habis-habisan dengan alasan umum 'jalan tidak
pakai mata'. Bisa-bisa jika hal itu terjadi, dia akan mendapatkan musuh pertama
di hari keduanya masuk sekolah.
"Ah, maaf… Aku tidak sengaja…" kata Megumi
dengan nada cemas sambil menunduk. Hatinya terus berdoa semoga orang ini tak
salah paham padanya. Tapi di satu sisi, dia juga agak bingung kenapa berlebihan
memikirkan Ryuu sampai-sampai dia akan mendapat masalah.
"Iya… Tidak apa-apa…" kata orang itu dingin.
Dari suaranya Megumi tahu bahwa orang ini laki-laki.
Dengan perasaan was-was, dia mendongakkan kepala. Maksud hati, ingin melihat
korban dari kecerobohannya. Siapa tahu, Megumi bisa menebus kesalahannya suatu
saat nanti. Saat kepalanya hampir sejajar dengan wajah si korban, sebab laki-laki
ini ternyata lebih tinggi darinya, Megumi membeku seketika. Orang yang
ditabraknya, tak lain adalah…
'Ryuu…'
Megumi tak berani menatap mata bahkan wajah orang yang di
hadapannya sekarang. Orang yang ditabraknya karena sedang asyik memikirkan
orang lain, ternyata adalah orang itu sendiri. Betapa terkejutnya Megumi sampai
dia hanya bisa diam dan tak lagi memikirkan tentang telatnya dia masuk kelas.
Matanya menatap lantai dengan pikiran yang tertuju dalam satu titik.
'Ryuu… Amakusa Ryuu di depanku sekarang…' hanya itu
satu-satunya kalimat yang muncul dalam pikiran dan hatinya. Dengan susah payah,
dia berkutat dengan kalimat itu. Tanpa tahu kalimat selanjutnya.
Ryuu menatap heran pada Megumi. Dia tahu bahwa Megumi
adalah murid pindahan yang baru datang kemarin dan sekelas dengannya. Dia juga
tahu, kalau Megumi adalah gadis yang pulang dengannya kemarin di bawah
salju-salju kecil yang turun dari awan biru. Megumi yang tak berani menatapnya,
membuat Ryuu enggan berlama-lama di sana. Sehingga dia putuskan pergi meninggalkan
Megumi yang masih sendirian tertunduk sambil berpikir.
Ryuu berlalu begitu saja di depan Megumi. Megumi hanya
bisa menatap hampa kepergian Ryuu. Dia tak tahu kenapa semuanya terasa aneh dan
semakin aneh. Matanya seakan tak mau lepas sampai Ryuu hilang karena masuk
kelas. Sampai saat itu, Megumi baru sadar bahwa dia tadi sedang bermasalah
dengan bel masuk kelas yang hampir berbunyi. Megumi berlari menuju kelasnya dan
sejenak melepaskan Ryuu dari pikirannya.
.
.
"Kenapa murung begitu? Ada yang salah?" tanya
Akame.
Ketika
masuk kelas tadi, raut wajah Megumi sedikit aneh. Megumi yang Akame kenal
kemarin adalah anak yang ceria dan murah senyum. Awalnya Akame berpikir bahwa
ada masalah dalam kehidupan Megumi. Tapi pada saat pelajaran dimulai, Megumi
terlihat biasa saja dan seperti tak punya beban berat. Megumi tetap aktif dan
tak berbeda. Hanya saja, ketika jam istirahat, Megumi kembali memunculkan raut
wajahnya itu. Oleh karenanya, Akame mengajak Megumi ke taman sekolah untuk
menanyakan keadaannya. Akame ingin membantu, apa bila Megumi sedang kesulitan.
"Tidak
ada…" jawab Megumi singkat.
"Kau
sakit? Atau lapar?"
"Tidak,
Akame…"
"Lantas
kau kenapa? Berbagilah denganku!" desak Akame. Sebenarnya Akame agak
canggung juga, karena memaksa teman barunya untuk bercerita. Tapi Akame
benar-benar ingin membantu. Dan jika Megumi tak mau bercerita, Akame mungkin
akan menurut.
"Tadi
aku bertemu dengan Ryuu…" kata Megumi sambil menatap wajah Akame. Dia
memutuskan untuk berbicara, setelah diam beberapa saat.
"Eh?"
"Waktu
aku hampir terlambat, kami bertabrakan di koridor kelas… Kemarin juga aku
bertemu dengannya waktu pulang sekolah…" Megumi mulai menjelaskan.
Akame
diam sambil menatap Megumi. Dalam hatinya, dia senang karena Megumi mau
berbagi. Tapi di sisi hatinya yang lain, berbeda.
"Lalu?"
hanya kalimat singkat, yang mampu keluar dari mulut Akame.
"Sebenarnya
sih, itu bukan masalah besar… Tapi entah kenapa aku terus memikirkan tentang
dia…" kata Megumi tersenyum canggung. Merasa dia begitu bodoh. Membesarkan
masalah sekecil itu.
"Kau
dapat apa dari analisismu?" tanya Akame.
"Aku
tidak tahu… Aku masih bingung… Anou Menurutmu, dia orangnya seperti apa?"
"Kan
kau sudah tanya itu, kemarin…"
"Oh,
benar juga ya…" Megumi menunduk. "Tapi aku merasa ada yang
salah…" gumamnya, pada dirinya sendiri.
"Tidak
ada yang salah, Megu…" Akame tersenyum.
"Eh?"
Megumi tak menyangka kalau Akame akan mendengarkan gumamannya tadi.
Karena
kata-kata Akame itu, dia kembali berpikir. Memecahkan misteri terbesarnya saat
ini. Tentang Ryuu. Semuanya tentang Amakusa Ryuu. Sempat terbesit untuk
mendekati Ryuu, tapi dia menolak. Dia takut Ryuu akan membencinya jika dia
bertindak kelewatan. Ditambah lagi, sudah dua kali bertemu, Ryuu tak pernah
mengenalinya. Tapi di sudut hatinya, dia ingin berteman dengan Ryuu. Sangat
ingin. Sampai-sampai dia merasa lebih ingin menjadi teman Ryuu dari pada
mendapat teman seluruh sekolah. Tapi itu konyol.
Setelah
berpikir, Megumi merasa kekonyolan tak selamanya akan merugikan. Mungkin tak
apa-apa, kalau dia menuruti keinginan hatinya. Itu bukan hal yang buruk. Dan
akhirnya Megumi putuskan untuk menjadi teman Ryuu.
.
.
Cuaca
yang sangat cerah. Salju kembali turun. Namun kali ini dengan volume yang lebih
banyak dari pada kemarin. Salju yang turun dari langit, menghiasi pinggiran
jalan. Warna putih mulai bercampur dengan warna-warna kota. Membuat kontras di
sana sini.
Angin
kecil berhembus pelan meniup batang-batang pohon yang daunnya tertutup salju
putih. Memberi kesan dingin yang menusuk tulang. Awan putih dilandasi langit
biru, masih terus dengan senang hati memuntahkan isi perutnya menjadi
butiran-butiran es kecil. Menjadikan suasana yang damai dalam awal musim
dingin.
Megumi
berjalan agak terburu-buru, sambil matanya terus melihat kanan kiri secara
bergantian. Retinanya berusaha mencari sesosok orang yang ingin ditemuinya
sekarang. Jika kemarin orang tersebut melewati jalan ini, seharusnya
kemungkinan akan bertemu hari ini masih ada. Kecuali jika kemarin, orang itu
berniat mampir ke suatu tempat dan bukannya pulang. Habislah sudah usaha Megumi
bila kenyataan kedua yang harus dia terima.
Napasnya
yang menggebu dan memunculkan asap putih dari dalam mulutnya, membuat Megumi
berhenti sebentar dari acaranya berlari. Keringat dingin bercampur suhu yang
nyaris minus, membuat tubuh Megumi menjadi sedikit aneh. Dia memutuskan untuk
berjalan dengan tenang sebelum dia pingsan di tengah kota karena kehabisan
napas di udara dingin.
Sambil
merapatkan jas seragamnya, matanya masih mencari sosok itu. Depan belakang
sudah dilihatnya. Tapi orang itu belum tampak juga. Megumi berdesah kecewa.
Niatnya untuk menemui Ryuu dan memulai hubungan yang baik, nampaknya harus
ditunda jika hari ini mereka tak bisa pulang bersama. Padahal seluruh hatinya
sudah menerima rencana baik itu. Hanya saja, belum terlaksana.
Di
bawah pohon ginko yang daunnya mulai habis, seorang laki-laki berdiri diam
mengawasi dengan mata menerawang. Rambutnya diterbangkan dengan lembut oleh
angin kecil yang berhembus. Matanya dengan sigap melihat seorang gadis yang
sedang kedinginan dan sepertinya mencari seseorang. Entah kenapa,
penglihatannya hanya terfokus pada objek itu. Objek yang sangat dikenalnya.
Yaitu gadis yang bertabrakan dengannya tadi pagi dikoridor kelas. Megumi.
Dengan
langkah bimbang, dia memutuskan untuk pergi dari tempat persembunyiannya.
Karena sebenarnya dia sudah pulang duluan dan sengaja menunggu di balik pohon
ginko untuk melihat gadis itu. Gadis yang entah kenapa selalu muncul dalam
pikirannya sejak pertama kali dia melihat. Gadis yang member sensasi aneh dalam
hatinya.
Perasaan
cemas menyelimutinya. Berharap gadis itu tak melihatnya saat dia berjalan di
depannya. Sambil memasukkan tangannya ke saku celana, dia berjalan lurus. Dalam
hati dia sempat ingin agar salju muncul dengan lebat sekarang agar sosoknya tak
dapat ditangkap oleh mata gadis itu. Tak peduli kedinginan karena dia hanya
memakai seragam sekolah.
Megumi
yang menyadari orang yang dicarinya muncul dari balik pohon dan berjalan lurus
didepannya, segera berjalan cepat agar bisa mengejar. Apa pun itu, dia harus menemui
orang itu sekarang. Hatinya sudah terlalu memaksanya. Dan dia tak bisa
menghindar lagi. Megumi mempercepat langkahnya, tinggal 5 meter lagi dia bisa
berjalan di samping orang itu. Tanpa ragu, dia berjalan di samping orang itu.
berdesah sebentar dan mulai mengajak bicara.
'Ini
dia, Ryuu…' pikirnya dalam hati.
Ryuu
yang sedikit kecewa karena harapannya tak terkabulkan, memutuskan untuk menatap
lurus ke arah depan tanpa mempedulikan keberadaan gadis di sampingnya.
"Amakusa-kun…
Kau Amakusa Ryuu-kun kan?" sapa Megumi lirih.
Ryuu
dengan ragu menoleh pada Megumi. Padahal niatnya adalah tak mempedulikan. Tapi
tubuhnya secara paksa menolak. Tapi tekat Ryuu untuk tak mempedulikan juga
besar. Jadi dia sedang bergelut dengan tubuh dan hatinya. Namun akhirnya dia hanya
menoleh sekilas dan memberi tatapan dingin. Sedingin salju yang sedang turun.
"Aku
Minami Megumi, siswa baru yang sekelas denganmu… Salam kenal…" Megumi
berusaha memberikan kesan terbaik pada Ryuu. Bagaimanapun juga, tujuannya
adalah ingin berteman. Teman yang baik.
Namun
Ryuu tetap diam saja. Tanpa ekspresi yang jelas. Entah Ryuu tak mendengar atau
tak mau mendengarkan Megumi. Megumi sebenarnya bingung juga, harus bagaimana
sekarang. Dia menatap Ryuu dengan tatapan senang. Entah kenapa dia merasa senang,
padahal dia sedang dicampakkan oleh Ryuu. Tapi dia senang karena bisa bertemu
dengan Ryuu dan berbicara walaupun sepihak, dan berada sedekat ini.
Tanpa
sadar Megumi sudah sampai ke rumahnya. Karena terlalu senang memandangi Ryuu
yang berjalan dia sampingnya, dia tak tahu kalau rumahnya sudah di depan mata.
Dia sendiri menjadi tahu bahwa jalan yang diambil Ryuu adalah jalan yang sama
dengannya. Meskipun Megumi sampai lebih dulu. Dia berpikir, dia pasti akan bisa
bertemu dengan Ryuu setiap hari. Dan pulang bersama. Dia merasakan kesenangan
yang berlipat ganda.
"Baiklah,
ini rumahku… Kita berpisah sampai di sini…" kata Megumi lembut sambil
menunjukkan pagar rumahnya. Dia tetap memberikan kesan ramah di saat-saat
akhir, dan memberi senyuman serta lambaian tangan Ryuu yang masih berdiri
mematung. Lalu dia masuk ke dalam rumah.
Ryuu
menghentikan langkahnya dan memandang Megumi yang sudah masuk ke dalam rumah. Dia
mengamati rumah itu dengan seksama. Lalu melangkah pergi dengan tatapan yang
dingin.
.
.
Tsuzukete
.
.