Di kedai sunyi, Nada masih menunggu Langit,
mamanya, sejak pulang sekolah sampai sore. Seragam putih merah masih melekat di
tubuh mungilnya. Matahari menyinari pelataran bumi dengan cahaya kuning. Bayangan kelam pohon
kersen meneduhkan si kecil. Lalu-lalang kendaraan yang mengepulkan asap pekat
bukan persoalan bagi Nada. Debu menderu terpingkal menerjang, bukan masalah
baginya untuk tetap setia menunggu. sampai mama pulang…
Hangat cuaca. Angin mendesir. Dedaunan kuning
kering jatuh ibarat salju berguguran di musim dingin. Orang-orang berhamburan
meramaikan pinggir jalan. Aroma parfum wangi-wangi beraneka. Ada karnaval di
alun-alun kota yang terletak di seberang jalan. Sebentar lagi parade
orang-orang dengan kostum warna-warni akan menyesakkan jalanan. Nada… sama
sekali tidak tertarik dengan semua itu, padahal anak-anak seusianya ramai
berduyun dituntun oleh orang tua mereka menyesaki alun-alun kota. Namun Nada
masih setia menanti , sampai mama pulang.
Setiap hari. segala sesuatu terus berjalan
sebagaimana biasanya. Nada menunggu mama, sampai jam menunjukkan pukul 16.00
atau lebih. kemudian sebuah angkutan umum berhenti di pinggir jalan di dekat
pohon kersen. Disusul dengan keluarnya seorang ibu muda dari dalam angkutan
umum. Mata teduh Nada menerjang lembut, ditumbuhi bulu mata lentik lebat.
Sekulum senyum menyeruak dari bibir mungilnya, ketika mamanya menjulurkan
tangan menantang Nada. Ia berlari tanpa pertimbangan, memburu tantangan
mamanya. Wajah mamanya begitu sumringah, gurat cantik namun lelah begitu nyata
terlukis kuat. Angin senja menggeraikan rambut panjangnya. stelan pakaiannya
sederhana, kemeja putih lengan panjang kolaborasi dengan celana panjang hitam .
Kulit wajah putih tersirami cahaya keemasan, menggurat senjakala dalam dirinya…
“Mama… datang….Mama datang….!” Teriak Nada
memburu Langit. Beberapa orang tersenyum menyaksikan adegan tersebut.
Langit memeluk erat tubuh anaknya. rajutan
kasih sayang yang begitu kokoh dari tangannya. Mengangkatnya. Menciumi pipinya.
” Mari kita pulang, sayang…”
” Nada mau menunggu papa dulu, Mama…” Ucapnya
tulus dan agung.
Mata Langit berkaca-kaca. Mungkin hatinya
tersayat..
” Nada… Papa masih bekerja, sayang… Kita
tunggu saja di rumah, yuk!”
Mata sayu anak kecil itu semakin teduh.
Antara mengerti dan tidak…
Hingga Langit memeluk Nada. memangkunya
pergi. pulang.
###
Malam hari.
Di luar rumah, cuaca cerah. Gemintang
bertaburan di langit tegas tanpa awan. Rumah-rumah berwarna keperakan, bermandikan
cahaya rembulan. Purnama menerjang. angin malam musim kemarau berhembus,
memeluk setiap pohonan, kering dan dingin. Pemukiman penduduk semi kumuh
tergambar jelas. Rumah-rumah sederhana gemebyar dengan cahaya lampu lima watt.
Irama-irama dangdut, lagu-lagu putus cinta, harapan yang kandas, patah hati,
remix, pop, dan rock larut dalam aroma bising, keluar dari rumah-rumah melalui
jendela setengah tertutup. Para lelaki duduk tercenung di teras rumah sambil
menikmati secangkir kopi pahit. mengisap rokok kretek lintingan sendiri. Aroma
tembakau murahan tercium meriah, menyengat apek. sering sekali bau tidak sedap
tercium, berasal dari selokan sebelah Barat. Kemarau telah menyulap selokan
menjadi ular berbisa yang menyimpan segala sesuatu di luar jangkauan nilai
estetis. Ah… masa bodoh dengan semua itu. Lagu dangdut, dan hisapan rokok
kretek murahan adalah nilai lebih bagi mereka. Malam harus diisi dengan suka
cita meskipun siang hari mereka isi dengan keluhan dan jibaku melawan ganasnya
gelora zaman.
Langit selalu merasakan semua itu. Sejak
pindah rumah ke tempat itu. Awalnya gerah, namun lama-lama juga menjadi
terbiasa. Dia selalu tahu, tengah malam nanti sampai menjelang subuh, suara
gitar berbaur dengan nada bariton para pemuda berdendang berkumandang. Disempurnakan
dengan bunyi ember yang ditalu-talu sebagai pelengkap indahnya alunan musik
murahan namun meriah.
Dia menatap wajah Nada yang tergolek di atas
pembaringan. Wajah polos anaknya begitu berarti di mata Langit. Bocah polos
yang selalu setia menunggu kepulangannya. Didekatinya Nada. Ditarik selimut,
menutupi sekujur tubuh anaknya. Diusap rambut ikal anaknya, lalu dikecup
keningnya.
“ Lihatlah Ton!” Gumam Langit. “ Anak kita
sudah sebesar ini… Kamu ke mana saja Ton ?” Ada air mata menitik. Berat.
Langit membuka-buka buku anaknya. Dalam
pikirnya, Nada sangat cerdas. Nilai-nilainya pasti akan membuat beberapa teman
se kelasnya iri kepadanya. Terutama di bidang pelajaran mengarang. Anaknya
selalu menulis karangan, temanya itu-itu juga, tentang Papanya.. Kartu SPP
diperiksa,” Sudah tiga bulan….” Ucapnya lirih. Beberapa surat tagihan dari
pihak sekolah. Ia membacanya. “ Mama pasti berjuang demi masa depanmu Nada…”
Dalam benaknya timbul pikiran. Tidak cukup
hanya mengandalkan bekerja di pabrik tekstil yang penguk dan kotor untuk
mencipta masa depan anaknya. Gajinya kecil hanya lima ratus ribu rupiah
perbulan, habis terkuras untuk bayar sewa kontrakan dan makan sehari-hari.
“ Aku harus kerja sampingan…”
###
Pada diri Langit tersimpan Ton. Seorang
lelaki pengecut yang menjanjikan harapan namun nyatanya gombal dan getir.
Segalanya kandas. Namun ia percaya, bahwa harapan masih terus bisa dicipta oleh
siapa pun, kapan pun dan dimana pun. Orang akan senantiasa bisa membuat surga,
kendatipun ia hanya seorang ibu muda lemah. Tidak selamanya setiap lelaki bisa
menjelma menjadi manusia sejati. Justru keperkasaan yang sesungguhnya selalu
tercipta dari diri seorang wanita…
“Sebaiknya dipikirkan dengan matang, Ris!”
Kata ibu sambil menatap wajah Langit ,” pernikahan beda keyakinan itu sangat
riskan…” Lanjut ibu setengah bergumam. Raut wajahnya tirus dan murung jelas.
Bapak duduk melongo, menatap udara, jauh dan
kosong. Baginya, keinginan anaknya teramat melampaui batas angan siapa pun..
“ Percayalah, Bu, Pak. Mas Ton itu orang
baik…”
“ Kami sebagai orangtua, hanya mewanti-wanti
saja, jangan sampai ada penyesalan pada akhirnya nanti, Ris.” Air mata mulai
menggelayut di kelopak mata Ibu.
“ Langit siap menanggung segala resikonya,
Bu..”
Ibu memeluk erat Bapak, air matanya menguyur
dada bapak, ketika bapak larut dalam dalam emosi yang hamper tak terkendali,
kesal, marah, dan menyesal. Namun tidak dapat dikeluarkan.
Dan pada akhirnya, Langit pergi bersama Ton,
menikah di tempat yang jauh dari kedua orang tuannya. Langit tahu, Ibu dan
Bapak sering duduk melongoi sambil menatap jalan tak berujung setelah
pernikahan dirinya dengan Ton. Air mata kerap bercucuran , keluar dari sudut
mata Ibunya.
Tapi dia tidak mau menemui kedua orang
tuanya. Langit melupakan semuanya.
Sampai pada suatu ketika, satu sore di musim
kemarau. Ketika debu-debu berterbangan dan dedaunan kering kerontang menggeliat
di bawah terik mentari ia menjumpai sebuah surat atergeletak di atas meja. Ton,
suaminya memberitakan pulang ke kampung halamannya, di daerah Timur, tanpa
menceritakannya terlebih dahulu. Bagi Langit, jelas keputusan itu adalah sebuah
tikaman. Telak menusuk dadanya. Dia hanya bias mengepal kepedihan, tanpa mau
bereaksi. Waktu itu usia Nada baru menginjak 4 bulan.
“ Ibu…” Bisik Langit, “ Bapak…”
Namun dia tidak mau menemui kedua
orangtuanya, mungkin malu…pada dirinya sendiri.
Langit menyimpan satu lembar uang sepuluh
ribu rupiah dan secarik kertas berisi pesan untuk Nada di atas meja. Ia
bergegas meninggalkan rumah menuju tempat kerja. Wangi melati semerbak membelah
udara dingin pagi di musim kemarau. Matahari juga belum menggeliat.
Sesaat setelah Langit pergi. Anak kecil yang
masih duduk di bangku SD kelas 3 keluar dari kamarnya. Menyibakkan tirai
penutup pintu. Ia mencari-cari. Wajahnya lesu tapi ada binar bahagia, mungkin
ia baru bermimpi bertemu dengan harapannya, dengan orang-orang yang selalu
dirindukannya selama ini. Langkahnya masih menandakkan bahwa dirinya masih
mengantuk, sempoyongan. “ Mama telah pergi…” Bisiknya.
Ia duduk mengambil secarik kertas di atas
meja., kemudian di ejanya, satu-satu. : “ Mama tidak ingin mengecewakan masa
depanmu, Nada. Mama akan kerja sampingan sampai malam. Nada tidak usah menunggu
mama di bawah pohon kersen itu…”
Anak kecil itu telah menjadi orang dewasa
sejati. Dalam dirinya telah tumbuh kemandirian alami. Mandi, ganti pakaian,
berdandan, membeli nasi kuning di Warung Iyem untuk sarapan. Dilakukan sendiri.
Orang-orang, bahkan seluruh isi dunia tahu akan hal ini..
###
Tapi sepulang sekolah sampai sore, Nada tetap
melakukannya juga. Ia begitu setia dan tulus menunggu kepulangan mamanya di
bawah pohon kersen. Kesabaran terlukis dalam dirinya. Matanya memancarkan kilau
keyakinan yang teguh bahwa suatu saat nanti orang-orang tercinta akan datang
kepadanya.
Hal ini terus berlangsung sejak Langit
mendapatkan pekerjaan tambahan. Mereka menjadi jarang bertemu. Langit hanya
bisa menatap wajah Nada ketika anaknya telah tergolek di atas pembaringan. Ia
tidak ingin membangunkannya, ia tidak ingin mengganggu mimpi indah anaknya.
Namun.. cita-cita masih tetap menggurat di garis asa diri Langit,” Dengan cara
apa pun aku harus menciptakan masa depan anakku!” keyakinannya begitu kuat.
###
Dioleskannya gincu di bibir tipisnya sebelum
ia keluar rumah. Uang SPP, uang Buku, dan tetek-bengek keuangan lainnya
diletakkan di atas meja, seperti biasanya. ia tidak bekerja di pabrik tekstil
lagi. Tuan Probo telah menunggu di depan rumahnya. Mobil mercy hitam mengkilap
padahal hari masih pagi dan alam masih terlelap dalam dingin. Langit bergegas
membuka pintu mobil, senyum hambar terkuak. Tuan Probo menyambut dengan seutas
senyum penuh kemenangan.
###
###
Nada masih setia menunggu kepulangan mamanya
di bawah pohon kersen. Matanya berkaca-kaca sering melelehkan air mata yang
menganak sungai di pipi mulusnya. Betapa di dalam dirinya ada harapan besar
yang terus tercipta.
Hari hampir maghrib. Kepak kelelawar telah
menggema. Lembayung menggurat di ufuk Barat. Nada masih mematung. Air matanya
bening, semakin berlinang.
Seseorang mendekati anak itu. Digendongnya,
sedangkan Nada memeluk erat pundaknya seakan telah menemukan harapannya yang ia
cari selama ini. Mereka bergegas menuju ke rumah orangtua Langit, tanpa banyak
bicara. Orang itu akan membawa Nada untuk menemui kedua eyangnya, kakek dan
neneknya yang masih terbaring dalam kepedihan. Tapi…air mata Nada menerjang
punggung orang itu. Hangat dan basah. Sampai… air mata menitik di sudut
matanya….