Kisah ini sangat menakjubkan dan mengritik para tenaga pengajar yang kebanyakan melakukan generalisasi pada anak didik. Erin Gruwell telah melakukan pendidikan yang humanis, membebaskan, dan beralaskan kasih. Ini adalah kisah nyata tentang kelas 203, dimana Erin Gruwell melakukan pendidikan yang benar-benar menakjubkan. Gruwell telah mendobrak paradigma pendidikan dan memberi pandangan baru sebagai solusi.
Kelas 203. Ia masih lengang meskipun bel tanda masuk telah berdering. Meja para murid penuh coretan. Beberapa halaman buku pelajaran hilang bekas sobekan. Papan tulis penuh dengan kotoran debu. Penutup jendela kelas rusak. Kelas 203 lebih mirip sebuah bui daripada ruang pendidikan. Mayoritas guru melihat kelas itu sebagai ruang gelap tanpa harapan. Rapor akademik kelas itu merah. Kata “pendidikan” absen dari ruang itu. Yang ada cuma “pendisiplinan.” Satu per satu murid memasuki kelas karena digiring petugas piket sekolah. Mereka harus dipaksa belajar karena mereka tidak memiliki hasrat sedikit pun akan pendidikan. Para guru mengibarkan bendera putih. Para murid akan menghilang satu per satu dari ruang kelas untuk selamanya.
Kelas 203 kontras dengan kelas di seberangnya. Para guru sudah hadir di kelas sebelum jam tatap muka mulai. Ia sudah menuliskan materi pelajaran di papan tulis. Hanya guru dengan predikat teladan mendapatkan izin mengajar di kelas itu. Meja para murid tertata rapi dan bersih dari coretan. Tahun ajaran baru ditandai dengan buku pelajaran baru. Para murid bergegas memasuki kelas begitu bel masuk berbunyi. Ruang kelas itu hanya terbuka bagi para murid dengan rapor akademik istimewa. Mayoritas murid berkulit putih dengan perkecualian segelintir murid dari ras lain. Mereka tak pernah menginjakkan kaki mereka di kelas seberang karena terbentang sekat pemisah di antara keduanya.
Para murid kelas 203 melihat Erin Gruwell, guru baru mereka, dengan tatapan kebencian pada hari-hari pertama tahun ajaran. Mereka memandangnya sebagai sipir bui yang berdiri di depan kelas untuk mendisiplinkan para narapidana sekolah. Ia menjadi bagian dari struktur sekolah yang melihat para murid sebagai barang antik. Ia dianggap sama saja dengan para guru sebelumnya yang selalu mengeluarkan kartu merah untuk mendisiplinkan perilaku mereka. Ia terlibat dalam institusi pendidikan yang terperosok dalam dosa. Profesi guru telah lama hilang dari ruang kelas itu. Gruwell mencita-citakan sebuah rumah pendidikan bagi para muridnya. Rumah pendidikan di atas pondasi guru, murid, administrasi, dan dunia sekitarnya.
Gruwell tidak mulai dengan pelajaran tata bahasa, melainkan tata bangsa Amerika. Sekat pembatas antarmanusia itu tercipta antarruang kelas dan bahkan dalam satu ruang kelas. Para muridnya berasal dari latar belakang imigran, manusia perahu, korban penggusuran, pengedar obat terlarang, pernikahan dini, dan mereka yang terpinggirkan dari komunitasnya. Kelas didesain berdasar sekat-sekat pembatas. Menyeberang sekat menimbulkan ancaman kehidupan bagi penghuni sekat lain. Gruwell mencabut jerat-jerat penyekat itu dari ruang kelas. Ia mendesain ulang kelas itu menjadi jaring-jaring perjumpaan. Ia membuka mata terhadap konteks hidup para muridnya. Ia mendambakan kelas itu berubah dari penjara menjadi rumah. Jika Holocaust adalah nama sebuah sekat masa lalu dalam sejarah dunia, rasialisme adalah sekat modern dalam masyarakat Amerika. Pendidikan tak akan berlangsung selama rasialisme menjadi salah satu pilarnya.
Gruwell mengalami reorientasi atas profesinya sebagai pendidik saat ia membaca fragmen kehidupan para muridnya. Fragmen hidup dalam buku harian itu bergenang air mata. Ketulusan Gruwell dalam mendampingi mereka mengembalikan identitasnya sebagai guru. Drama pendidikan mencapai klimaks ketika Gruwell dan para murid membongkar model pendidikan lama yang deformatif dan mendesain model pendidikan baru yang transformatif. Para guru lain dan dewan sekolah mencecar Gruwell dengan tanggapan pedas, “Kelas 203 adalah kasus khusus yang sulit diterapkan di tingkat pendidikan yang setara. Metode pendidikanmu sangat tidak praktis.” “Saya ingin menyalakan lilin di ruang gelap pendidikan. Saya berani mengambil risiko menerapkan metode pendidikan yang didakwa tidak praktis ini, karena hidup para murid berharga di mata saya sebagai seorang guru,” demikian Gruwell menuliskan dalam buku hariannya.