Menguak Kejanggalan dalam Film G30S/PKI
.
Lubang Buaya, 1 Oktober 1965, seorang wanita mengambil silet yang terselip pada dinding yang terbuat dari anyaman bambu. Lalu silet itu disayatkannya kepada wajah seorang yang tengah duduk terikat. “Penderitaan itu pedih jenderal. Sekarang rasakan sayatan silet ini. Pedih! Tapi tidak sepedih penderitaan rakyat,” ujar wanita itu dengan dingin.
.
Adegan selanjutnya tidak kalah sadis. Para jenderal dipukuli dan disiksa hingga tewas. Sementara penyiksanya tertawa-tawa bengis sambil menyanyikan lagu “Genjer-genjer”. “Teken jenderal,teken!”, teriak para tentara pro-komunis dan para aktivis pemuda rakyat dan Gerwani itu. (Merdeka.com, 2/09/2012).
.
Penggalan kisah di atas adalah kutipan dari adegan film G30S/PKI yang dibuat pada tahun 1982 oleh sutradara Arifin C Noer. Konon, adegan seram dalam film itu mengalahkan film horor Indonesia manapun. Musik latarnya yang pelan dan menyayat, yang digubah oleh Embi C Noor, sangat terasa mencekam dan berbanding selaras dengan narasi film tersebut yang sangat kaku dan dingin.
.
Belum lagi setting film tersebut yang berpindah-pindah. Dari mulai Istana Bogor, rumah panglima, TK Ade Irma Suryani, ruang-ruang sempit nan gelap yang digambarkan sebagai tempat rapat PKI yang remang-remang, dan tentu saja Lubang Buaya, turut menunjang suasana mencekam film besutan Arifin C Noer itu.
.
Kakak saya, ketika ditanya mengenai film G30S/PKI berujar bahwa bulu kuduknya merinding takkala mendengar dialog-dialog yang -menurutnya- terasa dingin dan penuh penekanan. Salah satu dialog dalam film G30S/PKI yang terekam baik di memori kakak ialah, “Darah itu merah jenderal seperti amarah”, dan “Bukan main wanginya minyak wangi jenderal. Begitu harum. Sehingga mengalahkan amis darah sendiri.”
.
Dari kakak pula saya mengetahui bahwa film ini sempat menjadi tontonan wajib bagi rakyat Indonesia dan para siswa selama rezim Orde Baru berkuasa. Namun sejak 1998, entah dengan alasan apa, film “wajib” Orde Baru itu tidak lagi ditayangkan seperti biasanya, yaitu pada malam 30 September.
.
Ada berbagai alasan yang mencuat di seputar penghentian film G30S/PKI. Salah satu yang sempat terdengar ialah adanya protes dari pihak Angkatan Udara (AU) yang merasa keberatan karena memberi kesan memojokkan AURI.
.
Tidak hanya protes dari AU, pasca tambangnya Orde Baru, film itu juga menuai banyak kritikan, karena dianggap tidak sesuai dengan fakta sejarah. Alasan inilah yang paling sering disebut-sebut sebagai lantaran dari penghentian film “wajib” Orde Baru yang mengisahkan kekejaman PKI.
.
Sejarawan Indonesia, Dr Asvi Warman Adam, dalam tulisannya “Film Sebagai Agen Sejarah” mengatakan, film G30S/PKI banyak mengandung kelemahan historis. Doktor sejarah lulusan Paris, Perancis, itu mencontohkan beberapa hal. Salah satunya adalah peta Indonesia yang berada pada ruang KOSTRAD yang memuat wilayah Timor-Timur. Faktanya, pada tahun 1965/1966 Timor-Timur belum berintegrasi ke pangkuan wilayah Ibu Pertiwi.
.
Tidak hanya soal peta, penggambaran berbagai tokoh pun dinilai berlawanan dengan fakta sejarah. Aidit, misalnya, digambarkan sebagai pria perokok berat. Dalam film itu nyata terlihat bagaimana Aidit berulangkali menghisap dalam-dalam rokoknya. Kesannya, Aidit tengah gelisah, tidak tenang. Faktanya, Aidit bukan sosok perokok berat.
Kejanggalan peristiwa G30S/PKI juga merambah pada hasil otopsi terhadap mayat para jenderal di Lubang Buaya. Pada film digambarkan bagaimana tubuh para jenderal habis terkena sayatan silet, bahkan dicungkil matanya. Hal ini berbanding lurus dengan berita-berita yang dirilis oleh berbagai harian di Indonesia pada waktu itu.
.
Harian Angkatan Bersenjata, edisi 6 Oktober 1965, menulis, “Matanya dicungkil.” Sementara itu, Berita Yudha, edisi 10 Oktober 1965, menulis, “Ada yang dipotong alat kelaminnya.”
.
Namun, apa yang digambarkan pada film dan yang ditulis pada berita-berita pada saat itu tampak janggal takkala dihadapkan pada hasil “visum et repertum”. Kala itu ada 5 ahli yang dilibatkan oleh Presiden Sukarno untuk mem-visum jenazah para jenderal, yaitu Dr. Arief Budianto (Lim Joey Thay), Dr. Brigjen Roebiono Kertopati, dr. Kolonel Frans Pattisiana, dr. Sutomo Tjokronegoro, dan dr. Liau Yang Siang, yang merupakan rekan dari dr. Arief Budianto di Ilmu Kedokteran Hakim FK-UI.
.
Hasil visum terhadap jenazah para jenderal itu kemudian direkam dengan baik oleh Ben Anderson dan dituangkan dalam artikelnya yang diberi tajuk “How Did The General Die”. Artikel itu dimuat pada Jurna Indonesia edisi April 1987. Artikel, yang kabarnya membuat Suharto berang, ini memuat hasil “visum et-repertum” yang menyatakan tidak diketemukannya adanya tanda-tanda pencukilan mata dan pemotongan alat kelamin. Dari tujuh Pahlawan Revolusi yang di-visum, enam di antaranya tewas akibat luka tembak, dan satu lagi, yakni Mayjen MT Haryono, tewas akibat luka tusukan.
.
Kini, seiring dengan berpulangnya satu-persatu saksi hidup G30S/PKI, dapat dipastikan bahwa kebenaran sejarah tentang peristiwa itu makin menguap entah Kemana. Dari siapa yang melatarbelakangi, motif hingga tokoh-tokoh mana saja yang terlibat dalam gerakan pada dini hari di penghujung September itu.
.
Satu yang pasti, bawah film mempunyai pengaruh besar dalam dan untuk membentuk opini masyarakat. Dr Asvi Warman Adam bahkan lebih dalam dengan menyebut “Film Sebagai Agen Sejarah”. Film turut menentukan arah jarum jam sejarah kemudian hari.
.
Mengenai G30S/PKI, saya yang terlahir belakangan, tidak pernah mengetahui sejarah yang sebenarnya. Jangankan soal film dan narasi sejarah, bahkan penulisan G30S-pun berubah-ubah sesuai dengan zaman dan kepentingan. Agaknya kita perlu sejarah yang ditulis ulang mengenai G30S. Rumitnya, siapa yang harus dan berhak menulis ulang? Kemudian, adakah keinginan dari bangsa ini untuk menulis sejarahnya?
.
.
.
.