"Jalur Gaza hanya memiliki panjang 35 kilometer atau sekitar dari tempat ini (kantor Kedubes Palestina di Menteng) hingga ke bandara (Soekarno-Hatta). Lalu lebarnya hanya 10 kilometer, kira-kira dari Menteng ke Blok M," ujar Mehdawi.
Dengan luas yang lebih kurang hanya separuh dari Jakarta dengan penduduk hampir dua juta jiwa membuat Jalur Gaza menjadi salah satu tempat paling padat di dunia.
"Jadi, tak heran jika di mana pun Israel menjatuhkan bomnya, maka pasti ada korban tewas atau luka. Kami tak punya tempat bersembunyi," papar Mehdawi.
Sejatinya Jalur Gaza bukanlah sebuah wilayah atau kawasan. Tempat itu merupakan kamp pengungsi warga Palestina yang terusir dari kota-kota mereka yang kini berada di dalam wilayah Israel.
"Mereka dulu berasal dari Haifa, Jaffa, dan kota-kota yang dicaplok Israel setelah perang 1948," kata Mehdawi.
Hidup di pengungsian merupakan kehidupan yang berat. Apalagi sejak 2005, Israel memblokade Jalur Gaza dari darat dan laut membuat kehidupan di Gaza semakin berat.
"Akibat kondisi yang berat ini maka timbullah kemarahan warga yang kemudian memicu bentrokan dengan Israel," kata Mehdawi.
Apa yang terjadi di Jalur Gaza saat ini adalah hasil dari beratnya kehidupan yang memicu kekerasan. Situasi seperti ini akan terus berulang jika tak dicapai penyelesaian.
"Dengan kondisi kami sekarang, kami tak mungkin mengalahkan militer Israel. Namun, Israel juga tidak mungkin mengusir atau membunuh kami semua," kata Mehdawi.
"Jadi kondisi seperti saat ini adalah sebuah kebuntuan dan tidak terselesaikan kecuali Israel menarik mundur pasukannya dan membiarkan kami mengelola Palestina dan kita bisa hidup bersama sebagai tetangga," tambah Mehdawi.