KPU sudah mengumumkan hasil pilpres 2014, 9 Juli, dan pasangan Jokowi-JK, menang dengan suara 53 persen, sementara Prabowo kalah dengan suara 46,85 persen. Silisih yang tipis. Namun, sebelum hasil pilpres ini menjadi keputusan Prabowo menyatakan mundur dari pilpres 2014 ini.
Dasar Prabowo mundur dari pilpres ini, karena Timses Prabowo memiliki data dan faka yang kuat, terjadinya kecurangan yang tersetruktur, sistematis, dan masif. Bahkan, menurut Ketua Timses Prabowo Junus Yosfiah, adanya keterlibatan hacker dari Cina dan Korea yang menggelembungkan suara GOLPUT, hingga 4 juta suara.
Di internal Timses Prabowo, mereka memiliki data yang akurat, berdasarkan CI, di mana Pbowo menang dengan suara 52 presen, sedangkan Jokowi memperoleh suara 48 persen. Tapi, kemudian angka dibalik, dan dimenangkan pasangan Jokowi-JK dengan angka, Jokowi-JK mendapatkan suara 53 persen, dan Prabowo mendapatkan suara 47,85 persen.
Sejatinya, kemenangan Jokowi dengan suara hanya 53 persen, dan sekarang menjadi polemik, tentang terjadinya kecurangan dasar legitimasi Jokowi-JK lemah. Bagaimana mau memimpin Indonesia, dan menjadi presiden dengan dasar legitimasi yang lemah? Sebuah pemerintahan yang menghadapi 'distrust' yang luas, tidak mungkin menjadi efektif.
Belum lagi, pemerintahan yang tidak mendapatkan dukungan legislatif, secara mayoritas, pasti tidak bisa berjalan dengan efektif dan optimal. Mayoritas parlemen dikuasai oleh pasangan Prabowo-Hatta Rajasa. Sehingga, pemerintahan Jokowi-JK, pasti akan mendapatkan kesulitan dalam pengelolaan pemerintahan di masa depan.
Pasangan Jokowi-JK hanya didukung oleh PDIP, PKB, Hanura, Nasdem, dan PKPI saja. Mungkin JK akan melakukan pendekatan dengan jalan menarik Golkar, melalui orang-orang Golkar yang sudah 'membelot' ke dalam kubunya, dan mempercepat Munas Golkar, melengeserkan Aburizal Bakri, dan memilih diantara orang Golkar yang dekat dengan JK, masuk koalisinya guna mendukung pemerintahan. Tapi, tidak semudah membalikan telapak tangan.
Memasukkan orang Golkar di dalam pemerintahan atau kabinet Jokowi, tidak mudah. Karena, para pendukung Jokowi yang mewakili berbagaki kepentingan sudah 'ngantri' ingin masuk kabinet. 'Tidak Ada Makan Siang Gratis Bung'. Pasti mereka semua minta upah.
Tapi, Jokowi-JK menghadapi 'distrust' yang hebat, dan tidak mudah memimpin negeri ini hanya dengan suara 53 persen. Jokowi-JK dengan legitimas yang lemah, tidak bakal efektif memimpin pemerintahan.
SBY yang mendapatkan dukungan 65 persen suara, dan dukungan 11 partai politik, yang tergabung dalam koalisi, terseok-seok. Apalagi Jokowi-JK yang hanya didukung 53 persen suara, dan adanya 'distrust' yang luas. Kemenangan Jokowi-JK terlalu dipaksakan.
Apalagi, nanti seandainya benar menang dan terpilih sesuai dengan keputusan KPU, kemudian dilantik di Gedung Parlemen, dan hanya dihadiri oleh partai pendukungnya. Sedih. Benar-benar menjadi sejarah, presiden tanpa legitimasi.