Dear, diary....
Kesabaran dan ketabahanku bersuamikan seorang mantan gigolo akhirnya hancur juga. Awal-awal menikah hingga masuk tahun kedua aku sudah terbiasa dengan celoteh para mantan klien suamiku. Pindah kota sedikit menenangkan kehidupanku, pindah negara makin menentramkan jiwaku.
Warna dan bahan saputangan yang diselipkan di saku celananya menjadi perhatianku setiap waktu. Hingga suatu senja, suamiku hendak keluar rumah. Sapu tangan yang dipakai berbahan batik warna biru.
Batik? Biru?
Haruskah kutanyakan artinya? Belum pernah kulihat suamiku memakai yang ini. Maka kuputuskan untuk menguntitnya. Tapi tak jadi. Kuminta saja seorang PI, detektif partikelir untuk membuntutinya.
PI mengirimkan foto dan video suamiku sedang bersama seseorang di sebuah kamar hotel melati. Mereka begitu mesra dan bergelora bagai dirasuki nafsu birahi yang tertahan dua purnama lamanya. Dan yang membuatku murka adalah karena suamiku harus membayar untuk itu.
Aku menunggu saat yang tepat untuk membuat perhitungan. Harus terencana rapi.
..........
"Mbak Sum..... mbak Suuum!!....."
Suara panggilan Agam mengejutkan Sumi yang sedang membaca buku diary Surti, mamanya, yang meninggal 1000 hari yang lalu.
Sumi bergegas meninggalkan kamarnya yang terletak di bagian belakang bersisian dengan dapur.Buku diary sudah aman disimpan di ruang rahasia di bawah kasur. Ruang berukuran 60 cm x 60 cm setinggi 30 cm sepertinya dibuat oleh penghuni sebelumnya yang menempati apartemen di lantai 7 itu. Ditutup oleh permadani tebal, membuat ruang rahasia itu tak terlihat oleh siapapun.
"Iya, den... Den Agam ingin sarapan apa pagi ini?'
"Hmm...... roti panggang isi daging cincang dan jus jeruk enak ngga ya?"
"Cocok itu, den. Kebetulan stok daging masih ada. Lusa mungkin tersisa daging terakhir"
"Taruh saja di meja makan kalau sudah jadi, mbak. Aku mau sholat subuh dulu"
Sumipun menuju dapur sedang Agam melangkah menuju ke kamarnya.Sumi terus mengamati hingga Agam masuk ke kamarnya.
"Tak terlalu ganteng memang, badannya terawat tanpa lemak dengan otot yang begitu keras terutama di bagian perut, sixpack istilahnya, tapi Agam begitu alim, mungkin bisa mengalahkan kealimanpak ustadz yang biasa mengisi tauziah di musholla apartemen The Continent", batin Sumi sambil membayangkan musholla apartemen yang menghadap ke ITC Senayan.
Selesai sholat subuh, Agam ke ruang tengah dan menjatuhkan badannya dalam posisi terlentang, dua tangan di belakang kepala, lalu sit up 33 kali, tiap sit up dia ucapkan Subhanallah. Selesai sit up Agam push up 33 kali, tiap push up dia lafalkan Alhamdulillah. Dilanjutkan dengan sit jump 33 kali yang tiap sit jump dipekikkan Allahu Akbar. Mengakhiri olahraga paginya, Agam mengucapkan sholawat Nabi.
Masih berbalut peluh di sekujur tubuhnya, Agam menuju meja makan.
"Kamu sudah sarapan, mbak Sum? sini makan bareng-bareng"
"Sudah, den. Saya bikin nasi goreng tadi"
Pukul 6 lebih 10, Agam meninggalkan apartemen bernomor 715, sementara Sumi merapikan ruang-ruang di apartemen yang mereka tempati.
Sesekali Sumi pergi meninggalkan apartemen dengan berbagai tujuan dan keperluan, dan diusahakan sampai di apartemen sebelum Agam pulang. Selebihnya Sumi menghabiskan waktunya di depan laptop menyelesaikan beberapa pekerjaan dari kliennya.
Saat-saat Agam pulang ataupun ketika Agam bangun tidur adalah hal yang sangat mendebarkan bagi Sumi. Dia harus selalu siap dan menyimak apapun yang terlontar keluar dari mulut Agam.Seperti kejadian di suatu malam sehabis badai besar menerjang ibukota yang bahkan sampai merobohkan signage di lobi Senayan City. Sumi lelap tertidur di kamar belakang.
Kepulangan Agam tak disadari oleh Sumi walaupun ponselnya selalu standby memonitor keberadaan Agam.
"Mi..... mamiii...... bangun, mi....."
Suara dan belaian Agam mengejutkan Sumi yang sangat lelap tidurnya. Sumi dengan cepat berkonsentrasi untuk mengetahui situasi ini. Melihat pakaiannya yang tersibak, Sumi mulai sadar apa yang telah terjadi.
"Suka sekali sih mami tidur di kamar ini. Pindah yuk....."
Ajakan Agam tak perlu dibantah. Sumi bangun sambil merapikan pakaiannya yang berantakan. Agam pun beranjak keluar kamar. Samar-samar Sumi melihat siluet bayangan tubuh Agam tertimpa cahaya ruang makan. Sumi pun tersenyum, senyum berjuta makna dan rasa.
"Papi duluan saja....... Mau aku buatkan kopi, pi?"
"Boleh, mi. Cepetan ya, istriku yang seksi........"
Sumi pun membuat kopi kesukaan Agam lalu membawanya ke kamar utama yang lebih besar. Agam tampak sedang tiduran dengan posisi terlentang menunggu Sumi dengan sabar. Secangkir kopi yang masih mengepul tercium begitu harum memenuhi ruangan kamar. Menambah sensasi luar biasa bagi Agam.
"Mami taruh saja kopi itu di meja....... Naiklah ke sini......."
Sumi mengerti apa yang diinginkan Agam lalu meletakkan kopi itu di meja. Seperti yang sudah-sudah, kopi itu sudah mulai dingin saat Agam menghirupnya dengan penuh kenikmatan seperti kenikmatan yang telah diberikan Agam kepada Sumi sebelum meraih cangkir kopi itu.
Sesudahnya, Agam tertidur dengan lelap. Sumi pun merapikan kamar itu lalu menutup pintu kamar Agam. Sumi kembali ke kamar belakang. Dibukanya laptop dan menuliskan sesuatu beberapa halaman. Sumi pun tidur setelah menyimpan laptopnya.
..........
"Bi Sum..... Bibi Sumiii!!!"
Sumi tak kaget dengan suara Agam yang memanggilnya dari dalam kamar. Agam bangun kesiangan.
Sumi duduk di ruang tengah saat Agam keluar kamar. Tampaknya Agam sudah mandi dan berpakaian biasa saja pagi ini. Mengenakan t-shirt hitam dan bercelana jeans.
"Tolong buatkan nasi goreng cumi dong, bi Sumi. Dan siapkan juga aspirin ya, entah kenapa saat bangun tidur tadi, kepala ini bagai digodam palu Thorsi Pangeran Kegelapan"
"Iya, den Agam...... tunggu sebentar ya, tak lama kok"
Sumi pun pergi ke dapur menyiapkan nasi goreng pesanan Agam. Dan sementara itu Agam tampak sedang asyik dengan tabletnya. Dari minyak wangi dan kaos yang dikenakan Agam, Sumi mengerti apa yang akan dilakukan Agam hari ini.
Tak lama kemudian, Agam pun menikmati nasi goreng kesukaannya. Lahap sekali makannya, bagai habis mencangkul sawah satu depa. Selesai makan, dilontarkan satu pil aspirin ke mulutnya lalu meneguk air putih.
Sambil berjalan ke ruang tengah, Agam mengeluarkan sapu tangan di saku depan celana jeansnya. Sapu tangan berbahan batik berwarna merah itu dipakai menyeka mulutnya lalu diselipkan kembali ke saku belakang sebelah kanan celana jeansnya. Sapu tangan sedikit menyembul keluar membentuk lipatan segitiga.
Sebuah pesan WA masuk ke ponsel Sumi yang sedang duduk di bar dapur.
'Bagaimana perkembangan pasienmu, dr. Sumi?'
Sumi menghapus pesan itu segera, lalu membalas pesan dari boss Rumah Sakit tempat Sumi bertugas.
'Membaik. Semakin membaik'
Sumi melongok Agam yang kini sedang asyik menyedot rokoknya yang tinggal setengah. Dan tak lama menaruhnya di asbak lalu dimatikan dengan memutar-mutar rokok itu di dasar asbak.
"Aku pergi dulu, bi Sum......"
"Iya, den....... Hati-hati......"
Agam berdiri dan berjalan menuju pintu. Perhatian Sumi tertuju pada sapu tangan berwarna merahyang terselip di saku kanan celana jeans Agam.
Hah!!! Sapu tangan batik berwarna merah? Diselipkan di sebelah kanan? Siapa om-om hidung belang yang hendak dijumpai Agam. Kepala Sumi bekerja keras mengeluarkan memori dalam lipatan-lipatan otaknya.
Setelah menguasai emosinya, Sumi menarik napas dalam-dalam dan tersenyum kecil sesudahnya.
Setelah Agam pergi, Sumi pergi ke kamar belakang mengambil laptop lalu membawanya ke meja makan. Bagian akhir novelnya sepertinya sudah didapat Sumi..... dr. Sumimengganti judul novelnya menjadi : Sang Ustadz, Preman dan Gigolo..... by Sasumi.
...........
Gimana sodara-sodara, ada pertanyaan atas cerita di atas? klo bingung, ngga usah khawatir, gue aja bingung, apalagi loe-loe pade..... Udah dulu ye....... mau ke Korea...... eh Kroya ding......
Dan klo liat cowok pake sapu tangan batik warna merah, jangan asal tuduh mas broo..... bisa-bisa masuk UGD gara-gara dibogem tuh cowok.