.
"Kopi pun boleh, Bunda.
Asal tak merepotkan. Kue-kue sisa lebaran pun jadilah sebagai temannya"
"Kau duduk sajalahdulu,
biarkan paru-paru kecilmu terisi udara barang sejenak. Kasihlah kesempatan
jantungmu berdetak berirama, tak lagi bertabuhan berkejaran memburu senja.
Sebentar biar Bunda minta tolong ke mbak Sri untuk buatkan kopiuntuk kau,
Azwar"
"Sejak kapan Agam pergi,
Bunda?"
"Selepas bubaran
mengajiyasin malam tadi, Agam keluar rumah. Jenguk abah Jalal katanya. Hingga
matahari condong ke barat, tak jua Agam datang memberi salam"
Azwar meraih tangan Bunda yang
sengaja menginap di rumah Agam sepekan ini. Tangan keriput ini begitu halus dan
dingin. Walaupun Agam anak angkatnya, cintanya sebesar curahan kasih yang diterima
Azwar.
Kabar dari Bunda soal Agam yang
tak pulang sejak semalam, dan sulit dihubungi karena ponselnya dibiarkan
tergeletak di kamarnya, merisaukan hati Azwar, terlebih kegalauan hati Bunda.
Perilaku keseharian Agam hingga mereka sama-sama beranak beristri, tentulah
dipahami betul oleh Azwar. Terlebih saat duka yang teramat sangat yang kini
melanda Agam.
Setelah menghirup kopi yang kini
tinggal selapis dari ampasnya, Azwar menelepon seseorang.
"Bunda, Azwar pamit dulu.
Sepertinya aku tahu di mana Agam berada"
"Syukurlah. Kau jemput
baik-baiklah adikmu itu, Azwar"
"Iya, Bunda"
Azwar pun mencium tangan Bunda
lalu meninggalkan rumah Agam yang hanya selisih satu kampung dari tempat
tinggal Azwar.
Dipacunya motor bebek tua
pemberian Abah menuju ke tepi kampung. Azwar tahu hendak ke mana motor itu
dilarikan.Lepas Zuhur, di pertengahan Jl. Kebagusan, Azwar berhenti sambil
menatap surau seukuran rumah biasa di antara pohon-pohon rambutan yang rindang.
Azwar turun dari motornya, dan
menuntun hingga ke muka surau yang sunyi sepi saja, hanya terdengar lamat-lamat
suara seseorang mengaji Qur'an di dalamnya. Azwar teramat kenal dengan suara
syahdu itu, tak ada yang mengalahkan alunan ayat-ayat suci yang keluar dari
mulut Agam, siapapun akan dibuat terhanyut dan merinding sekujur tubuhnya dan
kadang disertai getaran otot-otot yang mengamini firmanNya.
"Assalamu'alaikum......",
pelan saja Azwar memberi salam sambil masuk lalu duduk bersila di sisi kiri
belakang surau itu. Dilihatnya Agam hanya menengok sedikit lalu melanjutkan 4
ayat yang terakhir.
Azwar membuka tasnya dan
mengambil satu buku Yasin. Tiga buku lain di dalam tas dibiarkan menunggu di
situ. Buku Yasin yang dibagikan tadi malam cukup menarik perhatian Azwar.
Covernyasederhana dan berwarna hitam dengan teks dicetak perak, isinya hanya
117 halaman. Halaman pertama berisi doa, kedua foto almarhumah istrinya Agam,
ketiga dan keempat......... dua halaman Persembahan Agam untuk Sumi, terakhir
berisi daftar keluarga yang ditinggalkan. Halaman selanjutnya berisi Yasin,
Tahlil dan doa-doa.
Tulisan Agam pada bagian
Persembahanlah yang mengantar Azwar ke surau ini. Selebihnya dan cukup banyak
hal tentang Agam ada di buku dalam tas Azwar tadi.
Agam tampaknya telah selesai
mengaji.
"Bang Azwar.... sudah
lamakah? Bunda baik-baik saja, kan?!", Agam menghampiri Azwar abangnya yang duduk bersila di bagian
belakang surau bercat hijau muda pupus.
"Abang kira Bunda mulai
membaik, dan begitulah harapannya padamu, Agam", dipeluknya Agam dengan
erat. Dari balasan pelukan yang kokoh, Azwar masih merasakan kehilangan Agam
atas kepergian Sumiistrinya 40 hari lalu. Jabat tangannya begitu kuat dan
keras, bagai tak mau dilepas. Selapis bening di mata Agam hanya menjadi setitik
air mata yang tak sempat jatuh ke karpet surau karena keburu diseka dengan
punggung telapak kanan tangan Agam.
Agam lalu berdiri dan berjalan
menuju jendela berdaun dua di sisi utara surau. Dipandanginya beberapa pohon
rambutan yang masih setia menaungi surau kecil itu. Surau yang dibangun oleh
Abah dan diwakafkan untuk jamaah kampung di situ. Lebih dari sepuluh batang
pohon rambutan kini sudah tiada lagi dan berganti menjadi beberapa petak rumah
di atasnya.
Azwar pun membaca pelan-pelan
goresan Agam di buku Yasin itu.
..........
Persembahan untuk Istriku Tercinta
Hingga detik ini, tak kuasa aku
menggali ingatanku tentang cintamu padaku, Sumi. Tapi yang pasti aku sangat
mencintaimu. Lalu..... kapankah terakhir kali kau ucapkan cintamu padaku, Sumi?
Kapan kali terakhir aku kecup bibirmu sambil aku ucapkan I LOVE YOU, SUMI?
Kapan??!!
Dan yang membuatku galau adalah
karena aku tak ingat kapan terakhir kali kita bercinta. Bercinta atas ijinNya,
bercinta sambil menyebut asmaNya, bercinta hanya karena Dia. Mi, kapan terakhir
kita bercinta? Bercinta dalam putaran tasbih di tangan-tangan mungil kita
sambil mengagungkan namaNya. Kapan, Mi?
Aku berharap, lewat buku kecil
ini aku bisa bercinta denganmu. Bercinta melalui ayat-ayatNya.
Mula pertama kita bercinta
adalah di surau milik kita. Aku menjadi imam dan kamu menjadi makmumnya. Handai
taulan kita pun hanya bisa pasrah menyerukan suara mereka dengan lantang....
SAAAH.....
Terimakasih sudah menemaniku di
saat aku tertidur panjang dan terbangun entah menjadi siapa. Terimakasih sudah
merawatku, menyembuhkanku, meluruskan jalanku. Itu semua karena kita bercinta
hanya untukNya.
Semoga Dia berikan kursi yang
indah untukmu, Sumi.
..........
Azwar berdiri dan menghampiri
Agam yang sedang bersandar di jendela. Ditepuknya bahu adiknya itu sambil
tersenyum.
"Di ujung sana, di bawah
pohon mangga, ada kedai gado-gado bu Barkah. Ingatkah engkau akan tempat itu,
Agam?"
"Pastilah kuingat itu.
Kedai mungil di mana Sumi kecil selalu membantu ibunya berjualan
gado-gado", ingatan Agam sepertinya pada hal yang lainnya.
"Agam..... Kalau kau tak
ingat kapan terakhir kali bercinta dengan Sumi, tapi untuk yang pertama kalinya
tentulah masih terpatri kuat di kepalamu. Iya kan, Agam? Di sana......",
Azwar menunjuk ke kedai reyot itu.
Agam mengernyitkan dahi dan rona
merah mulai menyelimuti wajahnya.
"Maksud kau itu apa, bang
Azwar?", selidik Agam.
"Setelah pesta
pernikahanmu, tengah malamnya aku melihat ada yang menyelinap ke kedai
itu......"
Tinju Agam pun mendarat ke perut
Azwar yang kini hanya tertawa-tawa saja. Mereka pun akhirnya tertawa bersama.
Dari jendela, Agam melihat helai
demi helai daun rambutan jatuh berguguran dihempas angin kering di bulan
September. Daun-daun yang menguning itu jatuh ke bumi hanya atas kuasaNya.
Beberapa helai daun jatuh di
atas mobil polisi yang sudah 10 menit yang lalu berhenti di tepi jalan tak jauh
dari surau.
"Kawanku sudah menunggu,
Agam. Aku pergi dulu. Dan ini tiga novel yang mungkin bisa berguna
untukmu...."
Agam mengamati tiga novel itu
dan satu yang mengejutkannya, berjudul 'Remember Me' oleh Sasumi. Novel dengan
cover bergambar surau di bawah pohon rambutan. Surau di mana dia berdiri
sekarang ada di cover novel itu. Sasumi? Sumi?
"Mi, kapankah terakhir kali
kita bercinta? Adakah kau tulis di novel ini, Sumi?"