Thursday, March 28, 2013

Meguerre Ryan Bakkaru IV

Saya datang sendiri dari arah Dolok Sanggul dengan kendaraan sepeda motor. Sementara itu, langit sore masih saja menggerimis. Saya menahan dingin karena sudah hampir lebih satu jam terguyur hujan sejak dari simpang Bandara Silangit. Pelan-pelan saya menarik gas karena jalanan yang basah dan becek di sana sini. Tak sampai beberapa menit, perjalanan mulai menurun dan gigi motor pun ikut diturunkan. Tanpa sadar rupanya tidak ada kendaraan lain di jalanan ini. Aroma kesunyian seketika menyelimuti. Saya menjadi was-was, beberapa pikiran negatif mulai berkecamuk melihat kondisi jalan yang kian rawan.
.
“Bagaimana kalau saya terjatuh ke jurang, apakah bakal ada yang melihat saya? Atau, kalau tiba-tiba tebing sebelah kanan ambruk dan saya terkurung?”
.
Dan banyak hal lainnya dalam pikiran saya.
.
Perlahan, jalanan yang dilalui terus menukik. Beberapa kelokan sudah dilewati. Namun tetap membuat saya tak nyaman. Rasanya ingin segera saja tancap gas dan melaju kencang meninggalkan tempat ini. Namun pikiran saya mencoba untuk menenangkan, agar lebih menguasai diri karena jalanan yang basah dan licin di depan. Tak lama, saya sampai pada tempat yang terbuka. Antara ingin melanjutkan perjalanan atau berhenti. Karena rasa penasaran, saya pun akhirnya memutuskan untuk menyandarkan sepeda motor di tepi jalan. Kebetulan hujan pun sudah mulai reda. Dan terlihatlah lembah nan indah dengan latar belakang Danau Toba.
.
Ya, itulah Bakara seperti yang pernah saya lihat sebelumnya melalui foto-foto. Rasa takjub dan kagum membuat saya bertanya bagaimana ada tempat seperti ini.
Dari sini, saya dapat melihat dua bukit berjajar yang mengapit Bakara hingga jatuh ke danau. Bukit-bukit yang botak itu tingginya bekisar 200 – 300 meter. Dengan hanya dirimbuni semak ilalang, beberapa pinus tumbuh jarang seperti tegakan pohon yang tumbuh sekenanya.
.
Dan ketika pandangan saya turun menyapu lembah, terlihatlah petakan-petakan sawah yang tertata di garisi oleh sungai dan jalan. Rumah-rumah dan gereja tampak seperti ornamen pengisi yang mempercantik lembah. Bahkan dua bukit yang menjorok itu tidak hanya sampai di ujung dataran, namun terus memanjang hingga melengkung seakan memeluk Bakara dari luasnya Danau Toba. Teluk yang kecil dan tenang itu menjadi satu kesatuan dari tanah Bakkara nan permai.
.
Saya tak jenak berdiri lama di tepi jalan dekat bibir jurang. Awan kelabu masih saja menggayut di langit. Sedangkan angin dingin yang diiringi kabut menyongsong perlahan kearah saya. Seandainya sore itu cerah, tentu saya bakal lebih berlama-lama lagi disana.
.
Setelah mengambil beberapat jepretan foto, kembali saya berkendaraan menuruni jalan hingga akhirnya menjumpai sebuah kedai tempat untuk memandang-mandang. Namun di bandingkan dari atas tempat saya tadi berdiri, di sini view-nya tidak terlalu luas. Karena pandangan menghadap ke arah bukit di seberang lembah. Namun begitu saya masih bisa menyaksikan Bakara dengan aliran sungai yang cukup lebar berwarna coklat dan berbuih.
.
Kelak saya jadi tahu bahwa sungai itu adalah Aek Silang yang merupakan urat nadi kehidupan yang mengairi banyak sawah  di Bakara.
Perjalanan kembali diteruskan hingga akhirnya berpapasan dengan Bang Manto (teman saya yang rumahnya  bakal  saya tinggali beberapa hari ini di Bakara). Kami tak bisa sama-sama ke Bakara karena Bang Manto mesti mengantar kakaknya ke Dolok Sanggul. Dan saya pun melanjutkan perjalanan hingga turun dan tiba di Bakara dekat sebuah pematang sawah.
.
Pada perjalanan kali ini, ada dua hal yang membuat saya tertarik mengunjungi Bakara. Pertama adalah tentang cerita Lembah Bakara yang sangat cantik bila di lihat dari pinggir jalan saat memasukinya dari Dolok sanggul. Yang kedua adalah keinginan untuk mengunjungi tempat tinggalnya Dinasti Sisingamangaraja, tempat lahirnya pahlawan nasional yang dikenal pantang menyerah itu, Sisingamangaraja XII.
Sekarang ini, Bakara terdiri dari enam desa yakni, Desa Si Unong-Unong Julu, Desa Simamora, Desa Sinambela, Desa Simangulampek, Marbun Toruan dan Marbun Dolok. Kesemua desa ini di tambah Desa Tipang yang berada di luar Lembah Bakara menjadi Kecamatan Bakti Raja (Bakara-Tipang-Hatuboan Niraja).
.
Awalnya nama Bakti Raja mengacu pada, Bakara, Tipang dan Janji Raja. Di mana ketiga nama tempat ini dilihat karena daerahnya yang berada di tepian Danau Toba. Namun Janji Raja memutuskan untuk bergabung dengan Kecamatan Palipi Kabupaten Samosir (Pulau Samosir). Sementara Bakara dan Tipang masuk dalam Kecamatan Muara, Kab. Tapanuli Utara. Tak lama, sekitar tahun 2001 Bakara dan Tipang membentuk kecamatan sendiri dan keluar dari Kecamatan Muara. Seiring pemekaran Kabupaten Tapanuli Utara, Bakti Raja kini masuk  di dalam Kabupaten Humbang Hasundutan (Humbahas).
.
Setelah Bang Manto pulang dari Dolok Sanggul saya pun bermalam di rumahnya. Keesokannya kami mendatangi tempat yang bernama Tombak (hutan) Sulusulu. Tempat ini konon dulunya adalah tempat bermainnya Sisingamangaraja yang pertama. Disamping itu juga bisa dibilang dari sinilah awal mulanya  Sisingamangaraja hadir. .
Pemkab setempat sepertinya sedang mencoba mengeliatkan potensi wisata di Bakara. Jalan yang kesini sebelumnya bebatuan sekarang sudah di aspal. Kemudian di buat juga tangga yang akan masuk kedalam hutan dengan ditambah bangunan beratap untuk beristirahat.
.
Membayangkan Tombak Sulusulu janganlah seperti melihat hutan luas nan lebat. Tombak Sulusulu yang berada di Desa Marbun Dolok ini tak ubahnya bukit kecil di tengah Lembah Bakara. Bukit yang seperti onggokan tanah tinggi itu mencuat dengan pepohonan yang rimbun. Sementara itu disekelilingnya sudah terhampar sesawahan. Ketika memasuki Tombak Sulusulu maka akan terasa udara sejuk menyergap.
.
Kami yang datang siang, dimana matahari bersinar terik langsung merasa lega. Pepohonan tua yang berdiri rapat memang tampak dijaga hingga terkesan rimba. Kami pelan-pelan menuruni bebatuan yang banyak di rambati oleh akar pepohonan. Tak jauh jalan, kami sudah sampai di depan celah bebatuan. Ada ruang yang agak sempit mungkin cukup untuk satu atau dua orang duduk di situ. Sementara di depannya ada batu datar semacam meja untuk sesajian.
.
Ada sebagian masyarakat yang memang masih mempercayai hal-hal gaib di tempat ini. Mereka yang datang ada yang sekedar berziarah atau berdoa disini. Namun ironisnya saya melihat beberapa sampah plastik yang berserakan. Kalaulah ini tempat sakral, tentu haruslah sesuai dengan sikap yang menjaga dan menghormatinya, paling tidak menjaga kebersihan di tempat ini. Dan saya melihat Bang Manto sudah berinisiatif mengutipi sampah-sampah tersebut. Padahal beberapa tong sampah sudah di sediakan dekat tangga saat hendak masuk.
.
Setelah menikmati kesejukan Tombak Sulusulu kini giliran mendatangi Kompleks Istana Sisingamangaraja di Lumban Raja, Desa Simamora.  Lagi, sang langit berbaik hati menjatuhkan hujannya yang rintik-rintik. Sepertinya tempat ini sedang memasuki puncaknya musim hujan. “Hampir setiap sore dan malam hujan turun” tutur Bang Manto pada saya. Namun begitu, kami tetap saja melanjutkan perjalanan dengan sepeda motor yang hanya beberapa menit itu. Setibanya dilokasi, hujan rupanya tidak jadi menderas.
.
Disaat kami datang, suasana kompleks cukup sunyi. Keberadaannya yang dipinggir jalan tidak tampak mencolok. Kesannya seperti bangunan biasa saja.Tidak ada tanda-tanda khusus. Kalau tidak ada pamplet yang menjelaskan bahwa disini Kompleks Sisingamangaraja tentu harus sedikit usaha untuk mencari-carinya.
.
Dari tepian jalan yang baru saja diaspal, tertanam pagar putih sebagai pembatas. Tingginya tak lebih dari satu setengah meter. Yang pertama terlihat disini adalah monumen Siraja Oloan di balik pagar. Monumen yang berupa bangunan terbuka dengan atapnya berbentuk perahu terbalik khas rumah adat batak tampak menonjol di depan.
.
Kalau melihat silsilah yang ada pada monumen tersebut, Siraja Oloan mempunyai enam keturunan. Dimana salah satunya adalah Toga Sinambela. Menurut buku, Sinambela inilah akar dari keturunan dari Sisingamangaraja I sampai XII. Karena kesemua Sisingamangaraja itu bermarga Sinambela.
.
Tidak jauh dari monumen Siraja Oloan ada sebuah batu yang di kenal dengan nama batu Siungkap-ungkapon. Batu ini dimasa Sisingamangaraja sering di gunakan untuk upacara pengorbanan. Dimana beberapa hewan kurban di persembahkan di atas batu tersebut. Konon pula batu tersebut memiliki lubang yang dalam tanpa batas. Kini batu itu sudah tidak pernah lagi di gunakan dalam upacara.
.
Beranjak dari tempat tersebut, kami lalu menaiki tangga yang berada di sisi belakang monumen Siraja Oloan. Tidak jauh  akan tampak sebuah bangunan persegi yang tidak besar dengan nama Bale Pasogit. Bangunan ini di buat sebagai tempat bersemedi Sisingamangaraja sebelum melakukan upacara. Kami pun terus menaiki tangga hingga tiba di ujung tangga (semacam gapura) yang beratapkan ijuk khas rumah batak. Dimana tertulis “Selamat Datang di Makam Raja Sisingamangaraja”.