.
.
.
.
.
Sebuah
keluarga besar sedang dilanda musibah, karena kakek Megu yang sangat dihormati
sedang sakit berat. Dokter mengatakan bahwa sakit kakek Megu adalah kanker
paru-paru yang hidupnya hanya tergantung bantuan alat napas oksigen.
Karena
sepertinya sudah mendekati ajal Paman Tercinta sebagai sesepuh keluarga segera
mengumpulkan semua keluarga besar untuk mengadakan doa bersama.
.
.
.
.
.
Saat
memimpin doa, tiba-tiba kakek Megu mukanya pucat membiru dan napasnya
tersengal-sengal seperti kehabisan napas. Dengan bahasa isyarat Kakek Megu
meniru orang menulis.
Paman
Tercinta langsung tanggap segera mengambil secarik kertas dan alat tulis. Dgn
nafas tersengal-sengal, kakek Megu menulis surat. Setelah itu kakek Megu memberikan
surat kepada Paman Tercinta.
.
.
.
.
.
Paman
Tercinta menyimpan surat di saku, “rasanya koq gak tepat kalau membaca surat
wasiat saat ini” pikir Paman Tercinta. Setelah menyimpan surat, pak Mudhin
meneruskan doanya. Tidak lama setelah itu Kakek Megu tidak tertolong dipanggil Yang
Maha Kuasa.
Banyak
orang merasa kehilangan karena kakek Megu adalah orang yang sabar, bicara lemah
lembut dan pelan. Pas acara 7 harinya jenat kakek Megu, Paman Tercinta diundang
lagi. Setelah mimpin doa, kemudian teringat bahwa ada surat titipan kakek Megu ketika
mendekati ajalnya.
.
.
.
.
.
“Waduh
untung aku masih ingat ada titipan surat kakek Megu”, pikir Paman Tercinta.
“Saudara-saudaraku
sekalian, mohon maaf saya baru teringat bahwa selama ini saya mengantongi surat
titipan Kakek Megu ketika beberapa detik sebelum meninggal. Karena ini amanat
saat belum pernah membaca dan membukanya”.
.
.
.
.
.
Melihat
kakeknya yang sangat bijaksana dan sangat kaya semasa hidupnya, semua keluarga
pasti menyangka isinya pasti warisan atau nasihat ke anak cucunya, sehingga Paman
Tercinta segera membacakannya dengan tak sabar. Kemudian Paman Tercinta
mengambil surat di saku dan membaca di depan semua anggota keluarga.
.
.
.
.
.
Ternyata
bunyinya:
“Paman
Tercinta, mohon maaf, bisakah Paman Tercinta pindahkan kakinya karena menginjak
selang oksigenku. Napasku tercekik, Paman Tercinta. Tolong Paman Tercinta”.
.
.
.
.