Manipulasi
sama dengan kelicikan, muslihat, tipu daya, dan akal bulus.
Bisa
diartikan sebagai penggelapan atau penyelewengan atau upaya seseorang atau
kelompok untuk memengaruhi perilaku, sikap dan pendapat orang/kelompok lain
tanpa orang itu menyadarinya.
Dalam
bisnis, ada istilah manipulasi permintaan atau manipulasi penawaran. Contoh
manipulasi permintaan adalah antrian di sebuah toko padahal yang mengantri
bukan pembeli alami, melainkan karyawan toko sendiri. Para pedagang kaki lima
juga sering meminta temannya bolak-balik membeli barangnya hanya untuk
menunjukkan ke orang lain bahwa dagangannya laris-manis!
Dalam
politik, kecenderungan manipulatif seakan menjadi jati diri kedua. Mulai dari
memanipulasi jumlah dukungan sampai manipulasi pasal 7 ayat 6 UU APBN-P 2012
seperti yang saya (dan juga Anda) tonton di sidang paripurna kenaikan harga
BBM, akhir minggu lalu. Dan para politikus yang melakukan korupsi, jelas-jelas
menggunakan beribu taktik manipulasi, pertama agar korupsinya berjalan sukses,
dan kedua agar tidak dijebloskan ke penjara. Tanpa manipulasi, tentu sulit mencuri
uang negara yang jumlahnya bermilyar-milyar tak terhingga!
Sampai
di sini, saya ingin mengatakan bahwa manipulasi ada di mana-mana, menjadi
bagian dari kecerdasan manusia dalam mengolah kata, fakta dan data.
Manipulator
Online
Sebelum
teknologi web 2.0 lahir dan sebelum era media sosial tiba, manipulasi di dunia
internet tidak bisa dilakukan secara terbuka apalagi berjamaah. Karena waktu
itu orang yang sedang online hanya bisa membaca, tanpa bisa menulis apa-apa.
Manipulasi hanya dilakukan oleh pemilik website dan pengelolanya yang memiliki
kekuasaan untuk menginput dan mengedit konten lewat papan panel pengelola
konten tersembunyi.
Di
era blog, media warga dan jejaring sosial saat ini, setiap pengguna internet
punya kesempatan yang sama untuk melakukan manipulasi karena, cukup dengan
satu-dua klik, konten bisa dikirim, diedit dan dihapus oleh setiap pengguna.
Maka
bermunculan lah konten sampah yang seakan membom ruang pribadi kita. Juga
banyak konten bohong atau hoax yang terlanjur dipercaya isinya. Sebuah
informasi bisa dibuat seolah-olah asli. Pembuatnya bisa berganti identitas
sesuka hati. Manipulasi berserakan di sana-sini.
Manipulasi
dilakukan dengan hanya bercerita, atau dengan memanipulasi identitas pengirim,
bahkan sampai manipulasi domisili. Satu orang dengan mudah dapat membuat banyak
sekali email (karena pembuatan akun mengacu pada alamat email sebagai identitas
pembuatnya). Bahkan cukup dengan satu email, Anda sudah bisa membuat banyak
akun.
Saya
berikan satu bocorannya. Bila Anda pengguna layanan Gmail, Anda tidak perlu
repot-repot membuat tiga email hanya untuk membuat tiga akun di Twitter. Cukup
dengan satu alamat email yang ada, misalnya inipunyasaya@gmail.com, Anda sudah
bisa membuat banyak sekali akun Twitter. Caranya dengan memasukkan tiga
kombinasi alamat email untuk tiga kali registrasi (inipunyasaya@gmail.com,
ini.punyasaya@gmail.com, dan ini.punya.saya@gmail.com). Gampang kan?
Artinya,
dengan adanya media sosial, orang-orang punya banyak sekali senjata untuk
melakukan aksi muslihat, baik sekedar untuk iseng atau yang merugikan orang
lain. Masih ingat kan dengan kasus pernikahan dua Facebooker di Bekasi yang
ternyata istrinya adalah seorang pria?
Manipulator
Kompasiana
Di
Kompasiana, manipulasi lebih banyak lagi ragam dan modusnya. Tidak hanya
manipulasi konten, tapi juga manipulasi atribut yang melekat pada konten.
Jumlah pembaca, jumlah komentar, jumlah peringkat dan banyak lainnya.
Jumlah
pembaca adalah kasus paling lawas. Karena Kompasiana dikelola sebagai sebuah
media warga, maka orang berusaha setengah mati agar tulisannya (seolah-olah)
dibaca oleh banyak orang. Awalnya jumlah pembaca bisa dikatrol hanya dengan
mengklik tombol F5 (refresh).
Tapi kemudian ini tidak lagi berlaku. Lalu otak kembali diputar, solusinya
adalah dengan memperbanyak akun, melancarkan serangan fajar dan memperbanyak
promosi.
Untuk
meredam masalah ini, Kompasiana mengganti fitur “Terfavorit” (kumpulan tulisan
paling banyak dibaca) menjadi “Terekomendasi” (tulisan pilihan berdasarkan
jumlah pembaca terbanyak dalam waktu tertentu). Selain untuk meredam munculnya
tulisan yang ‘asal-populer’, moderasi tulisan seperti ini juga memungkinkan
munculnya lebih banyak tulisan di kolom Terekomendasi dalam satu hari.
Lalu
belakangan muncul kasus manipulasi terhadap peringkat kualitatif tulisan
(Teraktual, Inspiratif, Bermanfaat, Menarik). Ada pengguna Kompasiana yang
berusaha agar tulisannya muncul dan berlama-lama di kolom tersebut. Karena
fitur peringkat tulisan menggunakan voting engine, alias satu
akun untuk bisa memberi satu nilai, maka dibuatlah banyak akun agar
tulisannya bisa diberi banyak nilai-sesuka hati.
Dengan
adanya ulah segelintir orang ini, Kompasianer lain yang tulus ikhlas berbagi
jadi terusik. Tulisan yang mendapat nilai alami hilang dari peredaran. Dan
tulisan yang benar-benar aktual maupun bermanfaat akhirnya dicurigai telah
dimanipulasi oleh penulisnya. Parahnya, ada orang yang sengaja memberi nilai
terhadap satu tulisan dengan akun-akun palsu yang dia miliki. Niatnya adalah
untuk menyebar fitnah agar seolah-olah si pemilik tulisan telah melakukan
rekayasa atas tulisannya sendiri agar muncul di kolom ‘ter-teran’.
Sebenarnya,
cara termudah untuk menanggulangi hal ini adalah dengan menghapus kolom untuk
tulisan-tulisan dengan peringkat tertinggi. Tapi apakah itu solusi yang harus
diambil setiap ada kasus manipulasi yang muncul? Apakah dengan menghapus kolom
tersebut menjamin tidak akan ada lagi manipulasi di Kompasiana?
Ada
cara lain. Yaitu dengan menggunakan kontrol Kompasiana seperti yang dilakukan
saat mengubah kolom Terfavorit menjadi kolom Terekomendasi. Tapi saya berpikir,
kalau semuanya dikendalikan, maka hilanglah dinamika alami yang menjadi
keniscayaan sebuah media sosial.
Kolom
peringkat tertinggi sejatinya dibuat agar untuk memberikan apresiasi lebih terhadap
sebuah konten. Untuk mengembalikan maksud dan tujuan dari kolom ini, Kompasiana
telah melakukan beberapa langkah agar tulisan-tulisan di kolom tersebut tidak
dimanipulasi sesuka hati.
Langkah
pertama yang telah dilakukan adalah memoderasi tulisan yang pencapaian
peringkatnya dianggap manipulatif. Untuk memperlancar moderasi, Kompasiana
mempersilakan teman-teman Kompasianer untuk melaporkan tulisan yang dianggap
manipulatif.
Selanjutnya,
Kompasiana akan melakukan pembatasan dan pembersihan yang tentu saja teknisnya
tidak akan dijabarkan secara terbuka. Nama-nama pemberi peringkat juga akan
ditampilkan di bawah tulisan, sehingga setiap orang bisa melacak ada tidaknya
aksi manipulasi di dalamnya.
Kolom-kolom
tersebut juga nantinya akan ditampilkan secara bergantian agar pengguna tidak
terlalu memaksakan diri memberi nilai ‘Aktual’ untuk tulisan yang sebenarnya
‘Bermanfaat’.
Sebenarnya,
langkah-langkah tersebut tidak perlu diambil kalau Kompasianer yang sering
melakukan manipulasi tahu diri dan punya sedikit rasa malu saat memanipulasi
tulisannya hanya untuk mengejar posisi di kolom Teraktual dan sejenisnya.
Tapi
inilah realitas media sosial. Di sini setiap orang punya kesempatan untuk
memanipulasi orang lain. Yang perlu dipahami, apapun niatnya, manipulasi
merupakan bentuk lain dari ketidakjujuran yang cenderung meresahkan (juga
merugikan) orang lain!