Mungkin banyak di antara kita pernah melihat dan menikmati sebuah foto yang :
- indah, bermakna dan enak dinikmati
- indah, bermakna, tapi kurang enak dinikmati
- tak indah, bermakna, enak dinikmati
- tak indah, tak bermakna dan tak enak dinikmati.
Saat memandangi sebuah hasil karya foto lewat media apapun, seringkali muncul pertanyaan dalam diri kita, “Itu foto asli atau hasil olah digital, ya???” dan ini biasanya diikuti dengan tendensi yang bermacam-macam, misalnya :
- Kagum, senang dan cukup menikmati
- Sirik, tendensius negatif dan tak rela jikalau seseorang bisa memiliki foto seperti itu
- Biasa-biasa saja sih, karena memang tak tertarik dengan hasil karya seni foto (mungkin kesukanya seni beladiri, memasak, menari, main gitar, mancing, main kartu, catur, piano, menganyam, menjahit, game, internetan, camping, baca novel, melukis, diving, jalan-jalan, makan enak, nonton sinetron, isi TTS etc etc etc)
- Ingin tahu banyak bagaimana foto itu bisa dihasilkan.
Semua tendensi di atas adalah reaksi yang cukup manusiawi dan sangat lumrah adanya. Bahkan dalam forum-forum ilmiah fotografi pun, seringkali pertanyaan tersebut juga muncul, yang pada akhirnya sang penanya justru seringkali menjadi seorang pesakitan karena merasa terbantai dengan pertanyaannya sendiri.
Sebuah kata bijak yang sering dianut oleh para penikmat fotografi adalah “please make a picture not just take a picture”. Makna itu begitu dalam dan sangat sulit untuk dilakukan. Karena dalam sebuah karya foto terkandung dua parameter penilaian yaitu kaidah teknis dan kaidah selera.
Bila kita coba memasuki dunia komunitas para pencinta keindahan ruang dua dimensi ini, yang terpampang di berbagai komunitas maya, maka yang namanya selera sudah berkembang sedemikian dahsyatnya, bahkan di luar titik nalar fotografer sekalipun, apalagi seorang photoshoper seperti saya. Titik luar nalar yang dimaksudkan di sini adalah bukan sekedar menampilkan sebuah keindahan alam yang tak banyak orang bisa menjamahnya, karena keterbatasan daya jelajah ke seantero jagad dunia, namun sudah pada tingkat pemahaman sebuah aplikasi teknologi, sehingga menghasilkan foto-foto yang sudah mirip dengan di buku dan di majalah-majalah ternama.
Foto pada dasarnya mengandung sekumpulan data olahan digital /angka/nilai yang dikemas dalam sebuah fitur menu yang mampu disajikan dalam sebuah perangkat kamera. Semakin mahal harga sebuah kamera, biasanya makin memiliki fitur menu olahan digital yang semakin beragam, menarik dan akurat, terlepas dari bicara karakteristik merk sebuah kamera.
Fitur standar yang terdapat dalam sebuah kamera masa kini (baik analog, DSLR, maupun kamera HP) antara lain adalah mode pemotretan (night, closeup, panoramic, automatic, sport, dll) ; bukankah itu semua adalah produk teknologi olahan digital yang telah dilakukan oleh pabrikan.
Apabila kita memanfaatkan fitur-fitur tersebut maka pertanyaannya apakah foto-foto kita menjadi bermakna tidak asli? Coba bayangkan apabila kita akan melakukan foto malam hari, yang kaya akan pemandangan yang sedemikian indah, akan tetapi fasilitas yang dimiliki kamera kita sangat terbatas. Maka apakah yang akan kita lakukan?
Perkembangan teknologi perkameraan saat ini sangat fantastik, di beberapa merk terkenal mengklaim mampu mencapi grafik penjualan hingga mencapai 70% dalam kurun beberapa tahun terakhir. Mereka umumnya menawarkan beberapa fitur andalan mulai dari :
- kemampuan resolusi image
- touching before taken (white balance, focusing, kompensasi pencahayaan, tingkat kecepatan, temperature dll)
- touching after taken (HDR, IR, Fish Eye, Hue, Saturation, Contras, Sharpening, softening dll).
Terbayang bukan, bagaimana teknologi itu dimainkan dalam sebuah badan camera yang tak lain adalah “manipulated option for better quality”.
Dan terbayang juga mengapa harga sebuah kamera yang mampu mengakomodir keinginan kita menjadi begitu mahal ?
Dahulu, pra masa Digital SLR, proses manipulasi dibantu dengan menggunakan sebuah filter yang terpasang di muka lensa. Berbagai efek gambar dapat kita hasilkan dengan bermodalkan beberapa benda yang bernama filter lensa. Bukankah ini sebuah cara untuk memanipulasi perekaman obyek. Lalu apakah kita bisa menjustifikasi bahwa foto yang dihasilkan adalah tidak asli ? sementara di era DSLR fungsi-fungsi itu sebagian besar sudah terakomodasi dalam sebuah system software kamera.
Lalu apakah kita yang kurang beruntung untuk bisa memiliki kecanggihan teknologi itu hanya bisa berdiam tanpa karya. Wah jangan teman. Tuhan Maha Adil kok, Tuhan juga menciptakan manusia-manusia pandai yang mampu menghasilkan software cerdas olah digital foto melalui komputer (seperti misalnya photoshop, photo paint, paint dll). Silahkan cari di berbagai mall atau pengecer pinggir jalan. Pasti kita akan bisa menemukannya dengan mudah dengan bandrol hanya 15.000 perak (versi bajakannya sih, kalo mau yang original mungkin sekitar 650 ribu perak).
Dengan software ini maka hasil karya sang fotografer bisa diolah sesuai dengan kebutuhan saya sebagai orang yang hobi membuat layout buku, majalah atau buletin. Jadi foto yang ada, tak dipasang apa adanya, saya olah dan percantik agar enak dilihat oleh pembaca buku, majalah atau buletin tadi.
Lalu kalau begitu apa bedanya potret beneran dengan gak beneran kalo memang kondisinya adalah seperti itu, saya juga sempat lama merenung tentang itu, ternyata terjawab juga secara tidak sengaja pada saat teman saya mengikuti beberapa kompetisi foto. Urusannya terjawab dengan apa yang diistilahkan sebagai metadata, dia adalah semacam atribut data digital yang menyertai sebuah karya foto. Tidak akan pernah berubah atau hilang sepanjang foto itu tidak dimanipulasi melalui software komputer. Namun sebaliknya, manakala proses editing telah dilakukan di dalam komputer, maka metadata yang merupakan identitas keaslian dari foto itu akan hilang dengan sendirinya.
File Exif Metadata dapat dilihat dengan beberapa banyak software, dan software apapun akan menghasilkan informasi yang sama.
Manakala manipulasi sebuah gambar dilakukan dengan memanfaatkan software yang dikemas dalam fitur-fitur yang tersedia dalam sebuah kamera, maka identitas foto yang terkandung dalam sebuah File Metadata pasti tidak akan hilang dan tetap utuh. Oleh karena itu, setiap foto yang akan saya olah digital, file aslinya akan tetap tersimpan aman, hanya copy-nya saja yang saya edit ataupun retouching.
Namun demikian jangan lupa, bahwa sebuah karya indah dan bermakna tetap dihasilkan dari kemampuan kita memahami ilmu dasar memotret yang tidak mungkin bisa dimanipulasi seperti :
- bagaimana membuat komposisi gambar
- menentukan point of interest obyek
- menentukan ruang tajam
- menentukan pencahayaan dll
Tanpa penguasaan itu maka apapun olahan lanjutannya, hanya akan menghasilkan gambar-gambar yang hambar walaupun memiliki tone yang sangar.
Kembali pada diri kita masing-masing, kita ingin menghasilkan sebuah karya yang sarat akan pemanfaatan teknologi, pemanfaatan software komputer atau yang biasa-biasa saja. Semua berpulang pada kita.
Dan kalau saya perhatikan karya foto yang mendapat penghargaan terbaik dunia, kebanyakan adalah foto alami dengan tema yang inspiratif, menarik dan bermanfaat bagi dunia. Foto ini tanpa olah digital sama sekali.
Lalu bagaimana dengan foto di atas ini yang mendapat penghargaan foto terbaik oleh Reuter?? Saya sulit menilainya, karena saya hanya photoshoper amatiran, bukan fotografer profesional.
Sumber : Kelompok Fotografi GS.