Seorang sahabat, Kang Hatta, sedang bertandang ke Bandung menjemput sang istri tercinta yang berdinas di kota itu. Saat beristirahat, ia sempatkan makan di suatu tempat favorit mereka. Sang istri memesan Bakso Mang Gojing, sedangkan Kang Hatta memesan 15 tusuk Sate Gendong.
Dengan kebaikan hatinya dia mengirimkan saya oleh-oleh walaupun hanya berupa gambarnya saja. Tapi bagi saya ini sudah lebih dari cukup. Kadang gambar itu menyiratkan ribuan makna. Terima kasih Kang, dan juga buat Teteh Ilma Nurweli atas sumbangan tulisannya.
Sate Gendong yang sedang dibakar |
Bakso Mang Gojing, ... mak nyuuuush |
Sate Gendong (oleh Ilma Nurweli)
HUJAN tak kunjung turun. Tanah makin kerontang dan berdebu. Keringnya hawa tak menyurutkan candanya. Yah, dia adalah seorang perempuan penjual sate gendong. Perempuan itu adalah Bu Hadi Welas (70). Acap orang memanggilnya Mbok Hadi atau Nek Hadi.
Siang adalah waktu yang tepat untuk berjualan. Untuk membunuh waktu, katanya. “Setiap siang saya hanya berteman bakul sate dan selendang”, ujarnya memperkenalkan penganan yang setia dia jajakan sejak 30 tahun silam.
Usianya sudah menaiki tangga dekade ketujuh. Sebagai perempuan, dia tak mau hanya bisa berpangku tangan. Apalagi dia tak bersuami. Di usianya yang tak muda lagi Mbok Hadi Welas masih semangat untuk bekerja. Dia isi hari-harinya untuk berkarya. Berkarya untuk dirinya dan keluarganya yang sangat dia cintai.
Mbok hadi memang sudah lama berprofesi sebagai penjual sate gendong. Setiap harinya dia selalu berada di sekitar jalan Tirtayasa atau di sekitar jalan-jalan kecil di belakang sekolah Alloysius Bandung dari jam 2 sampai jam 5 sore. Namun khusus hari Minggu dia berjualan di Lapangan Gazeboo, Bandung. Menurutnya, pada hari Minggu Gasibu memang tempat yang strategis untuk menjajakan sate gendongnya karena ramai pengunjung. “Kalo minggu di sini mah rame neng, jadi penghasilannya juga lumayan”, tuturnya ceria.
Mbok Hadi, begitulah dia disapa tak merasa malu karena hanya menjual sate gendong. Setiap harinya, ada saja pembelinya. Anak-anak sekolah, tukang becak, ibu-ibu rumah tangga, atau pemuda. Walau tak seberapa hasilnya, dia tetap riang mengisi harinya dengan berjualan sate gendong.
Realita hidup yang dialami Mbok Hadi Welas memang terbilang sangat sederhana. Di samping kesederhanaannya ternyata nenek penjual sate gendong ini mempunyai empat orang anak. Tiga orang laki-laki dan satu perempuan. Dan dengan sate gendong inilah dia berhasil menyekolahkan anak-anaknya sampai ke perguruan tinggi.
Mbok Hadi bercerita kalau Ari (35), anak pertamanya adalah lulusan Fakultas Peternakan Unpad. Dan kini telah berkeluarga dan bekerja di Dinas Peternakan. Anak bungsunyapun kini telah menikah dengan seorang pria yang aktif di Kantor Kelurahan. Dan menantunya inilah yang selalu setia untuk antar-jemput Nenek Welas dalam bekerja. Kebetualan menantunya ini telah memiliki kendaraan pribadi.
Nenek asli Klaten ini tak pernah ingin berhenti untuk berjualan sate gendong sampai ajal menjemputnya. Menurutnya, sate gendong adalah hidupnya. Karena melalui sate gendong ini dia bisa menikmati hidup yang lebih hidup. Melihat anak-anaknya yang telah meraih kesuksesan adalah suatu kebahagiaan yang tak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Dan semua ini adalah berkat kegigihannya dalam berjualan sate gendong.
Biasanya dalam sehari, Mbok Hadi menyiapkan 5 kg daging sapi dan ayam untuk dijadikan sate. Dan hasil dari penjualannnya biasanya untuk kebutuhan anak-anaknya, namun karena sekarang anak-anaknya telah meraih keberhasilannya masing-masing maka uangnya dia gunakan untuk memberi hadiah pada cucu-cucunya. Seperti mobil-mobilan dan boneka.
Dengan keringat yang masih menempel di mukanya, mbok Hadi mengaku sepulangnya berjualan sate gendong dari Gazibu dia akan langsung bermain dengan cucu-cunya di rumah, sambil menunggu kantuk menjelang sore.