Bukan aku tak mencintaimu
bila mengaduh pada tumpukan resah.
Kalaupun kau tak suka,
kan kusarungkan kembali belati kecewaku
yang telanjur terhunus.
Kusimpan ia,
pada lipatan-lipatan kenangan
yang tak tuntas.
Memendamnya,
sambil berharap waktu berkenang
menghapusnya dengan maaf.
.
.
Sekedar untuk kau mengerti,
ketegaranku adalah
kumpulan-kumpulan kerapuhan
yang tidak berdaya memisahkan,
antara perasaan mencintai
dengan ketidaktahuan membenci.
.
.
Lalu, mengapa harus sangsi
pada ketulusan?
Haruskah kecemburuan
menjadi jawaban?
ataukah kepura-puraan
menjadi petunjuk atas ketidakmampuan kita
menafkahi rasa?
ataukah kita berdua
mesti kembali
saling membuka catatan,
untuk menyamakan paham
pada ejaan yang bersebrangan?
.
.
Kalaupun kau masih tak beranjak
dari pijakan ego,
dan aku yang terlanjur terjebak
pada pilihan diam.
Biarlah kita saling melangkah
dalam perbedaan,
bercumbu pada
ketidakpastian perasaan.
Sampai akhirnya,
kita berdua saling menemukan
hadirnya kalimat peneduh,
yang ejaannya
mungkin bisa
sama-sama kita mengerti.