Saturday, November 5, 2016
LONTE AMSTERDAM BIBIR ATAS BIBIR BAWAHNYA BAU ANYIR NANAH BUSUK
Mau tahu apa itu bangsa tempe?silahkan baca sendiri pada pidato mantan Presiden RI pertama - Soekarno. Pagi ini baca berita dari tanah air dan pemberitaan lokal dari negeri Belanda - Telegraaf serta news pada televisi, saya sebagai warga negara Indonesia yang tinggal jauh dari negeri tercinta, yang pergi mengemban tugas mengharumkan nama bangsa dan negeri Indonesia, terhenyak! Kecewa dan berang. baca ini Pertanyaan yang juga mewakili pemikiran banyak warga negara Indonesia baik yang tinggal di tanah air dan di seluruh pelosok dunia ini adalah; “ Berjuang agar negeri tetap Merdeka serta mempertahankannya ternyata harganya seperti tissue kertas yang melayang masuk bak sampah oleh pemakainya. Rusak dan musnah hanya dalam hitungan beberapa detik.’’ Sangat kecewa dan benar-benar sedih. Karena bukan ini yang kita harapkan. Andaikan jiwa-jiwa para pahlawan kita yang telah gugur di medan perang bangkit kembali, maka menangislah mereka. Sia-sialah perjuangan mereka melawan penjajahan dan mengusir paham kolonialisme dari negeri ini. Oleh karena anak negeri sebagai generasi penerus akhirnya mencabik-cabik nilai-nilai luhur para pahlawan. Generasi penerus Indonesia sebagai generasi yang memikul tanggung jawab berat agar perjuangan para leluhur pahlawan Indonesia itu tidak sia-sia, ternyata sangat retan dan tidak kuat memikul tonggak Pancasila sebagai pondasi pemahaman mengapa kita merdeka dan harus bersatu dalam perbedaan.Generasi penerus Indonesia sibuk melayani dirinya sendiri. Marak menghitung kekuasaannya sendiri dan berani menyangkal nama Tuhan dengan dalih kebenaran. Inilah kekecewaan bagi kita pengamat bangsa Indonesia. Demo tanggal 4 November 2016 hanyalah tameng dari wajah yang sebenarnya, bagaimana kepentingan parpol menyelinap, menghasut jiwa-jiwa iman yang lemah. Prihatin! Kecewa karena berteriak membawa nama Tuhan, dan diakhiri dengan perusakan, pemusnahan dan pencurian yang brutal. Prihatin! Mulut saya terkunci, mata saya merah panas dan hati saya sakit kecewa manakala bangsa asing lain mempertanyakan tentang isi berita Telegraaf. Pertanyaan-pertanyaan mereka yang tidak paham siapakah kita ini sebagai bangsa dengan ribuan kultur kebudayaan dan pemikiran serta keharmonisan hidup beragama dalam kebersamaan serta saling menghormati, tentunya eksak. Mereka orang asing tidak bisa menerima argumen bahwa agamaku adalah agamaku dan mereka yang berbeda agama dan keyakinan harus menghormati. Pondasi Pancasila sebagai kunci pemersatu perbedaan ini mereka anggap bull shit. Bagi mereka, mempertahankan negara adalah hak dan tanggung jawab setiap warga negara tanpa harus mengikut sertakan agama. Pisahkan agama dari urusan kenegaraan. Agama urusan umat dengan TuhanNya dan bukan umat dengan negaranya. Negara bukan tuhan. Pertanyaan ini tidak bisa saya jawab, kelu! Cara berpikir nasi bungkus mental bangsa tempe Stigma ini benar-benar menyayat hati. Dan tempe yang menurut mantan Presiden RI yang pertama - Soekarno adalah tingkah laku mengemis. So, tempe bukan makanan yang beliau maksudkan secara interprestasi. Ternyata terbukti setelah 71 tahun merdeka, bahwa kita memang ‘’ bangsa tempe!’’ Bangsa yang riskan suap dan siap membunuh saudaranya sendiri demi kepentingan pribadi dan golongan tertentu. Statistik yang membagi golongan penduduk Indonesia sesuai dengan pendidikannya menggelar tiga golongan; atas, menengah dan bawah. Dan golongan yang paling terbesar adalah golongan tingkat menengah dan bawah. Dua golongan terakhir ini adalah golongan yang oleh karena pendidikan yang rendah dan kehidupan yang pas-pas-an mereka berjuang dan sulit menolong situasi mereka sendiri untuk dapat menempatkan diri pada posisi golongan atas dengan kebutuhan hidup yang normal. kedua golongan terakhir ini termasuk golongan yang mudah terpengaruh dan menjadi titik fokus utama perhatian pemerintah di negeri ini. Lebih runyam lagi dua golongan terakhir acap terbentur tembok birokrasi. Mereka tidak bisa melangkah lebih jauh daripada harus puas menerima situasi mereka yang apa adanya, yaitu mudah kena hasut dan paling empuk dikendalikan melalui ‘’suap.’’ Situasi riskan ini dengan mudah dapat dibaca dan akhirnya dipakai oleh parpol sebagai alat mencapai kekuasaan. Buktinya, kita menyaksikan kerusuhan akhir dari demo 4 november; yaitu vandalisme. Inilah bukti bahwa masyarakat yang berdemo itu hadir bukan untuk menyampaikan aspirasi demokrasi, namun lebih kearah mencari nafkah untuk mencukupi kebutuhan primer mereka yaitu sandang pangan. Penertiban parpol dan ormas serta sanksi Sudah seharusnya dimulai, bahwa penertiban pra kampanye parpol dengan peraturan dan sanksi. Parpol yang terbukti melakukan intimidasi atribut politik dengan memakai cara-cara mengadu dombakan kebersamaan dan mengancam keamanan nasional patut segera ditindak dan dikenakan sanksi aktifitas sesuai peraturan hukum yang berlaku. Dan untuk Ormas menurut hemat saya, disamping UU No.17/2013 tentang ke ormasan, maka disamping Koalisi Kebebasan Berserikat (KKB), masih diperlukan pendamping lain yaitu badan Yudikatif dan Legislatif sebagai filter. Dengan cara ini aktifitas ormas yang menyimpang dari ART-nya dapat segera dibubarkan atau dicabut izin keormasannya. Terlihat rumitkah? Jawabannya tidak! Sebab saya melihat di Belanda ini ormas-ormas harus melewati dan mendapat izin dari badan Legislatif dan Yudikatif. Terjadi pelanggaran yang mengancam keamanan negara apalagi merugikan kehidupan orang banyak atau publik, maka ormas segera ditindak lanjutkan secara hukum dan dibubarkan secara resmi serta terlarang keras menjalankan aktifitas baik secara media sosial online atau dalam kehidupan bermasyarakat. Selayang pemikiran saya sebagai anak bangsa di negeri yang jauh.